05/03/2014
Menjelang pemilihan legislatif 2009, dimana saat itu, saya berada di Makassar, cukup banyak umat Katolik memilih menjadi caleg.
“Saya akan maju sebagai salah satu calon agar kepentingan kita sebagai kelompok minoritas dapat disuarakan,” demikian kata seorang ibu kala itu yang memutuskan menjadi caleg.
Bagi para caleg saat itu, sosialisasi kepada para pemilih lebih mudah, berhubung ada kegiatan doa kelompok setiap Minggu di wilayah paroki, yakni setiap hari Kamis. Mereka pun menjadikan kesempatan itu untuk menyampaikan visi-misi. Jadi, tidak saja mengandalkan poster, baliho dan kartu nama.
Suatu malam, ibu itu hadir di kelompok doa lingkungan kami. Atas kesepakatan dengan tuan rumah, selesai kegiatan doa dan bertepatan dengan acara makan dan minum, ia boleh memperkenalkan visi dan misinya.
Namun, hal mengagetkan terjadi. Ketika dia sedang berbicara, tiba-tiba seorang pria, anggota lingkungan itu, menghentikannya.
“Ini bukan arena politik. Ini kegiatan doa lingkungan,” ujar bapak itu, yang kelihatannya sangat marah.
Suami dari ibu itu yang menemaninya pada malam itu tidak menerima perlakuan kasar tersebut. Terjadilah perdebatan panjang.
Penolakan seperti yang ditujukan bapak itu menjadi momok yang menghantui para caleg setiap menjelang pesta demokrasi.
Kerapkali juga, bukan saja pribadi mereka yang mendapat sindiran dari keluarga mereka bahkan juga ikut merasakan cibiran pahit.
“Anak-anak saya merasa malu ketika saya mencalonkan diri. Kata mereka, teman-teman selalu menggosipkan kalau kami meminjam uang sana-sini untuk berkampanye,” demikian pengakuan seorang bapak, kenalan saya.
Politik dianggap kotor
Persepsi buruk bagi para caleg tidak terlepas dari wajah dunia politik praktis kita yang kotor, kasar dan runyam. Korupsi, konspirasi dan kongkalikong antarelit merajalela bahkan menginfeksi unit terkecil dalam struktur pemerintahan.
“Lurah aja begini, apalagi kalau jadi camat atau bupati!” komentar seorang teman ketika menonton berita tentang penangkapan Lurah Ceger Fanda Fadly Lubis dan Bendahara Zaitul Akmam yang menyelewengkan APBD Rp 450 juta.
Kisah lain, beberapa waktu lalu, seorang teman memakai sebuah foto yang provokatif sebagai display picture pada aplikasi BBM-nya dan memajangnya pada sebuah grup.
Dalam foto itu terlihat seorang anggota DPR yang sedang tidur pulas di kursinya saat rapat berlangsung. Sementara di sampingnya diperlihatkan daftar gaji per bulan yang totalnya Rp 46 miliar lebih.
“Mau jadi apa negara ini dipimpin oleh orang-orang seperti ini?” salah seorang teman berkomentar tidak lama setelah foto itu diunggah.
Fenomena seperti ini tentu saja membuat kepercayaan masyarakat terhadap politik kian melemah. Politik dianggap ruang tercela. Akibatnya, siapa pun yang masuk dan menari dalam panggung politik langsung dilabeli sejumlah predikat buruk.
Kejenuhan sekaligus kekecewaan pada dunia politik sering berdampak pada rendahnya partisipasi dalam pemilihan umum.
Peneliti senior Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), R. Siti Zuhro misalnya mencium aroma itu dalam pelaksanaan pemilu presiden mendatang.
“Menurut saya angka golput tidak jauh-jauh beda. Tapi yang jelas tidak berada di bawah 30 persen. Masih berada di 30 persen ke atas. Itu rata-rata sekitar 35, 37 persen,” ungkapnya Rabu (5/2) di Jakarta sebagaimana diberitakan Tribunews.com.
Itu artinya, angka golput mengalami peningkatan. Pada pemilu presiden 2009, jumlah warga yang golput sebesar 49.677.776 atau 29 persen dari total pemilih 171.265.442 orang.
Di satu sisi itu memang sebuah hubungan sebab-akibat yang wajar. Bahwasannya partisipasi politik rakyat mengalami kejenuhan berbanding lurus dengan citra buruk kaum elite politik.
Butuh partisipasi
Namun, bapak tadi yang anaknya selalu mengeluh soal pencalonannya sebagai caleg menyajikan sebuah pertanyaan yang mesti kita dalami.
“Kalau semua orang menjadi takut dan menganggap politik sebagai ruang yang najis, lalu bagaimana keberlangsungan negara ini?” katanya.
Politik masih menjadi ruang yang suci baginya, karena keputusan-keputusan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara itu ada dalam ranah politik. Jika ditelantarkan tentu akan membawa malapetaka yang lebih besar.
“Apakah kita mau menghapus negara ini? Siapa yang bisa membayangkan hidup dalam suatu negara tanpa suatu kepemimpinan?”
Negara tanpa kepemimpinan, kata dia, ibarat sebuah mitos tentang ular berkepala enam belas dari Mongolia.
Terkait mitos ini, konon, ada seekor ular berkepala enam belas sedang melintas di sebuah jalan raya ketika tiba-tiba sebuah mobil hendak melewati jalan itu. Ular itu panik dan mau menghindarinya. Namun ada begitu banyak ide yang keluar dari enam belas kepala itu tentang jalur mana yang perlu dilewati. Kelamaan berdebat, akhirnya membuat ular itu mati digilas mobil.
Begitulah tragisnya nasib negara ini kalau diserahkan begitu saja pada pengaturan massa, tanpa ada yang memimpin.
Masyarakat kita memang cenderung tidak adil dalam menilai mereka yang masuk dalam dunia politik praktis, seperti para caleg. Persis sama dengan penonton dalam permainan sepak bola yang selalu menyalahkan pemain.
Hal ini tercermin dari gejala umum demikian: bila seorang caleg menang, akan dibilang, dia akan siap menutupi semua utang-utangnya. Tetapi kalau dia kalah, ada anggapan caleg tersebut akan masuk rumah sakit jiwa karena utang-utangnya.
Menyadari situasi tersebut, para caleg, sekurang-kurangnya selalu menyiapkan strategi tertentu.
Mereka mesti mulai berpikir soal, apa yang akan dilakukan bila menang dan apa juga yang dilakukan jika kalah. Berpikir dua arah demikian membuat para caleg tidak begitu stress dan frustrasi ketika tidak terpilih.
Pendapat serupa juga mengalir dari ibu yang hadir berdoa di kelompok kami. Baginya, keberaniannya untuk menjadi caleg banyak memberikan pengalaman berharga baginya ketika dia kalah dalam pemilihan itu.
“Saya tidak merasa gagal. Saya hanya merasa membutuhkan beberapa jalan untuk sampai ke sana. Ini jalan pertama. Dan tidak ada kata salah dalam mencoba. Kalau keinginan belum tercapai, sekurang-kurangnya kita bisa menjadi lebih bijak.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar