Rakyat merasa jijik dan bosan, sekaligus dibuat tak berdaya. Melihat komposisi yang miliki di DPR pusat, mereka seperti di atas angin. Keputusan bahwa pilkada ditentukan oleh DPRD bisa diambil semaunya. Di sinilah lonceng kematian demokrasi seakan berdentang.
Apakah rakyat akan pasrah dan diam saja?
Melihat reaksi dalam pelbagai media online, melalui facebook,twitter, dan berita-berita online, sebagian besar rakyat mulai merasa terganggu. Meski masih dinilai terjadi kekurangan sana-sini, kita toh sudah berlangkah jauh dalam demokrasi paska reformasi. Buah-buah yang baik dari demokrasi langsung sudah kita petik dalam sepuluh tahun terakhir. Merasa dilibatkan dalam pemilihan, rakyat lalu sudah turut mengontrol roda pemerintahan.
Dinamika demokrasi langsung demikian sudah mendapat apresiasi di mata internasional. Mengikuti terpilihnya Jokowi, beberapa kali majalah Time menuliskan bahwa pesta demokrasi Indonesia memiliki masa depan yang cerah. Demokrasi di Indonesia sudah berbarengan dengan pembukaan kanal-kanal komunikasi antarwarga negara.
Apresiasi demikian sesungguhnya sudah tampak dalam kenyataan. Rakyat kian melek dalam berpolitik. Kalaupun tidak mengetahui teori-teori politik, sekurang-kurangnya rakyat sudah memahami hak-hak dan kewajibannya dalam berpolitik. Pencopotan bupati lembata dapat dijadikan contoh. Rakyat kian peka terhadap hak-hak politisnya dan mampu memberikan tekanan walaupun mobilisasi itu masih rentan dimanipulasi.
Kenyataan tersebut membuat politik tidak lagi dipahami sebagai representasi, tetapi artikulasi. Politik sudah bertransformasi menjadi diskursus dalam ruang publik. Opini-opini sudah dapat terbentuk di warung kopi di pinggir jalan, ruang kelas, ruang kuliah, organisasi politik, dan sebagainya yang kemudian diwadahi secara luas dan leluasa melalui media elektronik.
Ketika koalisi merah putih berkicau tentang pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh anggota DPRD, rakyat dipaksa untuk jatuh ke dalam lubang yang sama di masa lalu. Dibarengi alasan-alasan yang terkesan mulia, rakyat sebetulnya ingin dimanipulasi oleh kekerasan simbolik dari kepentingan kaum elite. Hegemoni kaum elite amat kental ketimbang keberpihakan kepada kepentingan rakyat. Mereka keliru kalau rakyat dianggap hanyalah kerbau yang gampang dicocok hidungnya.
Boleh dibilang, kita mengalami trauma dengan sistem pemilihan tidak langsung. Pemilihan tidak langsung sudah terbukti sarat dengan perang kepentingan. Politik tidak lebih dari suatu komoditas untuk diperjualbelikan dalam pasar dagang politik. Loyalitas total seorang anggota legislatif terhadap konstituen politiknya sudah terbukti tidak kredible.
Praktik demikian amat nyata di masa lalu. Keterpilihan pemimpin daerah bukanlah kehendak rakyat. Ada suatu keterputusan antara kehendak rakyat dengan kehendak wakil rakyat. Akar persoalannya adalah niat untuk melelangkan hak mengkonstitusikan keputusan oleh wakil rakyat. Menurut Machiavelli, ketika keputusan digadaikan dengan uang, kewibawaan dan martabat seorang politisi sudah hilang. Ruang politik yang bebas sudah terkooptasi. Dengan demikian, wakil rakyat yang dikultiskan oleh konstituen politiknya karena mewakili eksistensi mereka mencederai konsensus rasional dengan rakyat. Tentunya rakyat merasa tersakiti ketika loyalitas total seorang wakil rakyat dilanggar.
Terlihat berat sebelah jika kita tidak mengakui bahwa politik uang sebenarnya juga terjadi dalam sistem pemilihan langsung. Perilaku pejabat yang korup akhir-akhir ini bukan tidak mungkin konsekuensi dari sistem pemilihan langsung. Berkelindan satu sama lain antara biaya politik yang mahal dan maraknya korupsi menimbulkan suatu kejenuhan dalam berpolitik. Kita seolah terjebak dalam lingkaran setan demokrasi.
Akan tetapi, kemenangan Jokowi dan Ahok dalam pilgub di DKI Jakarta telah mengakhiri kejenuhan politik itu. Biaya politik yang mahal bukan satu-satunya jaminan keterpilihan seorang calon gubernur. Fauzi Bowo telah mengeluarkan anggaran yang jauh di atas pasangan Jokowi-Ahok. Berbagai atribut, iklan, dan bermacam pendekatan sudah dilakukan. Namun, ternyata rekam jejak dan kedekatan dengan konstituen politik masih menjadi modal politik yang lebih efektif dan efisien ketimbang uang.
Terpilihnya Jokowi-Ahok dalam pilgub di DKI Jakarta merupakan suatu harapan baru dalam demokrasi di Indonesia. Biaya politik tidak harus mahal kalau seorang petarung dalam ranah politik mempunyai rekam jejak yang berintegritas dalam berpolitik.
Lantas, masihkan pemilu langsung selalu memakan biaya mahal sebagaimana diisukan oleh koalisi Merah putih?
Selain keengganan untuk bertarung atas dasar integritas, tampaknya hegemoni elite lebih mendominasi dalam usaha pengesahan UU tersebut. Sebagaimana dalam sinetron-sinetron Indonesia bahwa dorongan konflik selalu berkutat soal harta warisan, motif kelompok antagonis ini memberikan kesan serupa. Kepentingan mereka terancam dalam percaturan politik. Lalu bermacam cara dilakukan untuk menumbangkan Jokowi.
Masyarakat tentunya sudah bosan dengan permainan politik yang kasar dan tampak mengada-ada itu. Nafsu kekuasaan sudah menutupi keberlangsungan akal sehat mereka. Membandingkan dengan kejadian artis yang memerankan tokoh antagonis dalam sinetron mendapat tamparan dari ibu-ibu di mall, maka para tokoh antagonis dalam politik ini sebaiknya bersiap mendapat hukuman sosial yang demikian. Partai Demokrat sudah mendapat tamparan itu berupa kemerosotan tajam jumlah kursi di DPR. Kenyataan itu dikarenakan kejengkelan dan kegusaran rakyat atas berita-berita mengenai para koruptor yang seolah sudah identik dengan partai berlambang mercy itu.
Kenyataan itu memperlihatkan bahwa rakyat sebagai subjek utama demokrasi pada dasarnya mempunyai “disposisi antagonis” terhadap berbagai malpraktik politik.
Sekarang koalisi Merah-Putih merasa di atas awan, tetapi rakyatlah tokoh antagonis yang sesungguhnya dalam sinetron politik ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar