Bagaimana mencapai ketenangan batin atau kebebasan hati?
Ini pertanyaan yang paling saya butuhkan jawabannya dan “menganggu” saya sekian lama. Kebutuhan itu tentu saja datang setelah saya merasa kian rentan terhadap rasa marah, jengkel, frustrasi, murung dan kurang bersemangat.
Bertolak dari suatu pengalaman, saya lalu merasa perlu untuk menciptakan suatu tatanan emosi dalam diri saya. Hal itu diperlukan agar emosi kita lebih efektif, efisien, dan tepat guna.
Kerapian emosi itu ibarat lemari pakaian. Item-item emosi perlu dilipat dengan rapi, dibedakan mana bagian untuk pakaian seragam, pakaian kerja, celana panjang, celana olahraga, dan seterusnya. Hanya dengan tertata rapi, dalam keadaan sedarurat apapun pada waktu tengah malam seorang tentara bisa memakai seragamnya dengan tepat. Karena ia mengenali letak-letak pakaiannya. Begitulah juga emosi kita. Ditata rapi agar di-pakai secara baik.
Pembedaan Emosi
Pengalaman itu terjadi beberapa tahun silam, ketika saya bekerja sebagai buruh kasar di suatu perusahaan kontruksi di salah satu wilayah di Jakarta. Hari pertama saya tidak bisa makan karena tempat itu sangat jorok dan bau. Juga di dekat situ ada sebuah WC darurat, hanya dilapisi tripleks setinggi 30 cm dari tanah. Waktu mau makan, kami masih melihat seseorang duduk jongkok, tengah membuang hajatnya. Saya berhenti makan. Herannya, yang lain tetap makan dengan lahapnya seolah tak mempedulikan suasana itu. Saya menjadi marah dan merasa tidak nyaman. Ingin rasanya mengakhiri pekerjaan di situ. Namun salah seorang menegur saya, “Indera itu menipu. Nanti kamu akan terbiasa juga.” Ternyata ucapannya betul. Setelah seminggu berada di sana, saya bisa menyesuaikan diri. Saya bisa makan, bahkan dengan lahap sebagaimana pekerja yang lain, walaupun bau, kotor, dan ada yang lagi buang hajat.
Dari pengalaman itu saya sadar bahwa hasil pencerapan indera manusia adalah pemberi stimulus untuk membentuk selera dan kebiasaan. Hal itu kemudian berpengaruh terhadap penilaian.
Ada banyak contoh yang bisa diberikan. Saya yang terbiasa makan masakan pedas di Indonesia menyesuaikan secara susah dengan masakan yang terasa asam di Filipina. Terbiasa melihat sungai yang bersih di kampung, saya terkejut melihat sungai-sungai di Jakarta yang hitam, tak mengalir, dan kotor. Atau terbiasa mendengar lagu pop, ketika mengunjungi seorang teman di rumahnya, saya tak nyaman mendengar lagu-lagu rock n roll dengan volume besar. Namun seiring berjalannya waktu, saya bisa menyesuaikan diri. Saya suka dengan makanan Filipina. Air yang kotor tidak lagi menjadi masalah. Begitu pun selera musik dari teman.
Contoh pengalaman seorang imam bermisi di Afrika juga memberikan suatu kejelasan pemahaman bahwa penilaian indera dapat berubah-ubah. Setiba di Afrika ia merasa tak seorang pun wanita di Afrika yang cantik. Lambat laun, setelah beberapa tahun, ia sudah mulai mengenali ide kecantikan orang Afrika. Wanita yang berpantat besar adalah wanita yang cantik. Dan ia pun sudah mulai membedakan mana yang cantik dan mana yang tidak. Ketika kembali ke Filipina untuk liburan, ia harus menyesuaikan pemahamannya. Semula ia tak menemukan yang cantik di Filipina. Tidak ada yang berbokong besar seperti wanita-wanita di Afrika.
Memberikan penilaian demikian sebetulnya aktualisasi dari kodrat dasar manusia sebagai makluk berakal budi. Namun, persoalannya adalah pada penilaian yang diberikan. Apakah pantas memberikan penilaian baik-buruk –yang biasa diberikan pada penilaian moral—pada sesuatu yang hanya menunggu waktu saja untuk menjadi terbiasa?
Saya merasa bahwa kita perlu membedakan penilaian hasil tangkapan indera dan penilaian moral. Persoalan kerapkali muncul karena kita tidak mengenali batas-batasnya. Kita acapkali mencampuradukkan keduanya. Emosi dieksploitasi habis-habisan dan berantakan: marah disaat sebetulnya bisa bersabar. Itulah sumber dari kegersangan hati manusia.
Penilaian Moral
Penilaian baik-buruk adalah penilaian moral. Penilaian inilah yang seharusnya merangsang emosi kita. Sebab keterarahan dasar hati nurani kita: mendekati yang baik dan menjauhi yang jahat. Emosi-emosi negatif seperti marah, jengkel, frustrasi selalu terarah kepada yang jahat. Emosi itulah yang menggerakkan kita untuk memperbaiki, menghalangi, dan mencegah yang jahat.
Contoh tindakan yang disebut secara moral salah adalah pencurian (korupsi, dll). Kita semua tak ingin harta atau barang kita hilang karena dicuri, dirampas, dan digelapkan oleh orang lain. Kemana saja kita pergi di belahan dunia ini, semua orang mempunyai pendapat yang sama. Atas dasar itu, dimana-mana selalu ada lembaga hukum yang mengatur dan menjunjung nilai-nilai keadilan (kebaikan). Para pencuri ditahan, dididik, dan setelah menjadi baik, mereka akan dikembalikan ke dalam masyarakat.
Pencurian pada hakikatnya adalah negatif. Dalam tindakan pencurian, ada suatu pengurangan nilai kebaikan. Pertimbangan hati nurani kita mengatakan hal yang sama, bahwa pencurian harus dijauhkan. Kita jengkel, marah, dan benci pada peristiwa pencurian karena itulah keterarahan dasar hati nurani kita. Emosi-emosi negatif itulah yang melahirkan lembaga hukum yang seharusnya memberikan ancaman kepada manusia agar mempergunakan kebebasannya untuk melakukan hal-hal yang baik.
Batas-Batas dan Bias yang Terjadi
Munculnya persoalan adalah ketika kita tidak menyadari batasan-batasannya. Kita mencampuradukkan keduanya.
Penilaian baik-buruk dalam pertimbangan moral, kita pakai dalam penilaian inderawi kita yang sifatnya berubah-ubah. Saya mengatakan bahwa makanan di Filipina itu jelek atau buruk. Begitu dikatakan jelek, secara otomatis emosi negatif saya teraktifkan. Saya marah, jengkel, dan merasa frustrasi. Menilai bahwa musik rock n roll itu jelek atau buruk, saya lalu merasa jengkel. Ingat bahwa kejengkelan itu dapat membias. Artinya bukan saja kepada musik rock, tetapi kepada semua penyuka musik rock, semua atribut yang berkaitan dengan musik rock and roll.
Pertanyaannya: Apakah memang masakan Filipina atau musik roll n roll itu jelek? Kalau buruk, mengapa ada orang yang menghasratinya? Ataukan itu hanya perbedaan selera?
Mulai menyukai makanan Filipina setelah tinggal di sini selama dua bulan, saya paham bahwa perbedaan selera atau kebiasaan yang terbentuk dari stimulus inderawi kita tidak menentukan soal baik atau buruk, tetapi menentukan terbiasa atau tidaknya. Artinya kita hanya menunggu waktu saja untuk menyesuaikan selera. Perbedaan adalah persoalan waktu saja untuk memahaminya.
Tidak mengenali tatanan emosilah, makanya kita bertindak secara serampangan. Kita menjadi jengkel di saat kita seharusnya bersabar hanya untuk menghargai perbedaan dan butuh waktu untuk menyesuaikan diri.
Bayangkan apa yang terjadi dengan kehidupan kita jika kita memakai selera dan kebiasaan kita sebagai sumber penilaian moral? Barangkali tiap saat kita tidak akan pernah tenang. Kita marah dan jengkel dengan orang yang penampilannya seperti anak punk, yang berbicara kasar dan meledak-ledak, dan yang hobbinya berbeda dengan kita.
Emosi kita sungguh dieksploitasi. Kita sebetulnya menderita ketika misalnya marah karena makanan yang tidak sesuai dengan selera kita hampir sama bobotnya dengan marah ketika barang kita dicuri. Aneh, kan? Lebih parah lagi, kita marah karena orang berbeda agama, keyakinan, prinsip, adat-istiadat dan kebiasaan, sedangkan kepada tindakan-tindakan yang esensinya jahat kita tidak “marah” dalam artian bertindak secara rasional untuk mencegahnya.
Kalau sudah pada kategori ini, kita sebetulnya adalah manusia ideologis, yakni memakai diri sendiri (kebiasaan, selera, dan hobby) sebagai standar untuk penilaian baik-buruk. Barangkali Front Pembela Islam (FPI) ada pada kategori ini: Membenci perbedaan dan membiarkan korupsi. Kita bisa cari contoh yang lain dalam kehidupan pribadi kita.
Refleksi Kehidupan
Kita sampai pada pemahaman bahwa kita perlu mengenali tatanan emosi kita agar kita dapat memanfaatkannya secara bijak. Kita dapat memetakan peran pencerapan inderawi dalam kehidupan manusia yang terus bertransenden dan berkontemplasi mendekati sang kesempurnaan, yakni Allah sendiri.
Penilaian inderawi bukan berarti tidak penting. Kita membutuhkannya. Yang keliru adalah memutlakan penilaian inderawi. Kita bergantung padanya dan tidak bisa memisahkan diri dari pencerapan inderawi.
Pencerapan inderawi hanyalah alat untuk mengumpulkan informasi untuk membangun suatu pengertian tertentu tentang kehidupan. Lalu mindset itulah yang kemudian menjadi warna dasar dalam melihat realitas lagi. Rumusnya : realitas-refleksi-realitas. Kehidupan yang direfleksikan itu amat penting agar kita mempunyai keterarahan dalam tindakan. Aristoteles mengatakan, “ an unexamined life is not worth living.”
Dengan kata lain, informasi dari pencerapan inderawi membuat kita berefleksi tentang kehidupan. Refleksi bukanlah rangkuman dari berbagai hasil pencerapan inderawi, tetapi sesuatu yang melampaui (transenden) atas pengalaman inderawi itu sendiri. Artinya, serentak di saat kita memakai indera kita, kita juga bisa membebaskan diri dari “ketergantungan” pada inderawi kita dan melampauinya.
Tidak bisa membebaskan diri dari ketergantungan pada inderawi membuat kita hidup dalam ekspektasi semu. Mengagungkan apa yang kita lihat indah, kita dengar menarik, kita rasa nikmat, kita hirupi segar, dan kita sentuh terasa lembut. Tindakan, selera, dan kebiasaan kita terbentuk darinya. Jika kita mengalami yang sebaliknya, kita menjadi melankolis. Melankolis, menurut Sigmund Freud, adalah simptom atau patologis yang bisa berakhir tragis yakni bunuh diri. Melankolis adalah berubahnya perasaan cinta kepada objek, sementara objeknya masih ada.
Nah, ketika memutlakan pengamatan indera, kita memaksa hal-hal di luar kita agar sesuai dengan kehendak kita atau kriteria kita, namun keadaan di luar kita tidak bisa dipaksakan. Itulah sumber kegersangan kita. Maka kita harus berhati-hati dengan segala ilusi yang diciptakan oleh pengamatan indera kita.Ilusi pikiran akan membatasi dan memenjarakan kita. Kita melihat manusia, bukan lagi sebagai manusia, tetapi apakah kaya atau miskin, pejabat atau rakyat biasa, berbakat atau tidak. Kita melihat wanita bukan lagi sebagai wanita, tetapi apakah cantik atau tidak. Kita tidak melihat laki sebagai laki-laki, tetapi apakah ganteng, kaya, atau tidak.
Saya menyadari bahwa ketenangan batin adalah keterarahan emosi kita secara tepat yang lahir dari refleksi yang dalam. Kita tidak bertindak gegabah dan tidak berada dalam ekspektasi yang berlebihan. Kita menghargai perbedaan dan berjuang untuk nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Hal itu hanya mungkin tercapai ketika Anda dan saya mampu membuat tatanan emosi kita.
Ucapan Boethius dan Mother theresa dapat merangkum tentang topik ini.Kebahagiaan, menurut Boethius, tergantung pada kualitas pikiran. Keberanian kita untuk membangun suatu sistematika dalam pikiran dapat membantu kita dalam berinteraksi dengan diri sendiri dan dunia. Sedangkan Mother Theresa mengungkapkan dengan sederhana, “Ketika mengadili orang lain, kita tidak mempunyai kesempatan berbuat kasih.” Mengadili di sini adalah kategori-kategori ilusi yang kita ciptakan dari pencerapan inderawi kita.
Ini pertanyaan yang paling saya butuhkan jawabannya dan “menganggu” saya sekian lama. Kebutuhan itu tentu saja datang setelah saya merasa kian rentan terhadap rasa marah, jengkel, frustrasi, murung dan kurang bersemangat.
Bertolak dari suatu pengalaman, saya lalu merasa perlu untuk menciptakan suatu tatanan emosi dalam diri saya. Hal itu diperlukan agar emosi kita lebih efektif, efisien, dan tepat guna.
Kerapian emosi itu ibarat lemari pakaian. Item-item emosi perlu dilipat dengan rapi, dibedakan mana bagian untuk pakaian seragam, pakaian kerja, celana panjang, celana olahraga, dan seterusnya. Hanya dengan tertata rapi, dalam keadaan sedarurat apapun pada waktu tengah malam seorang tentara bisa memakai seragamnya dengan tepat. Karena ia mengenali letak-letak pakaiannya. Begitulah juga emosi kita. Ditata rapi agar di-pakai secara baik.
Pembedaan Emosi
Pengalaman itu terjadi beberapa tahun silam, ketika saya bekerja sebagai buruh kasar di suatu perusahaan kontruksi di salah satu wilayah di Jakarta. Hari pertama saya tidak bisa makan karena tempat itu sangat jorok dan bau. Juga di dekat situ ada sebuah WC darurat, hanya dilapisi tripleks setinggi 30 cm dari tanah. Waktu mau makan, kami masih melihat seseorang duduk jongkok, tengah membuang hajatnya. Saya berhenti makan. Herannya, yang lain tetap makan dengan lahapnya seolah tak mempedulikan suasana itu. Saya menjadi marah dan merasa tidak nyaman. Ingin rasanya mengakhiri pekerjaan di situ. Namun salah seorang menegur saya, “Indera itu menipu. Nanti kamu akan terbiasa juga.” Ternyata ucapannya betul. Setelah seminggu berada di sana, saya bisa menyesuaikan diri. Saya bisa makan, bahkan dengan lahap sebagaimana pekerja yang lain, walaupun bau, kotor, dan ada yang lagi buang hajat.
Dari pengalaman itu saya sadar bahwa hasil pencerapan indera manusia adalah pemberi stimulus untuk membentuk selera dan kebiasaan. Hal itu kemudian berpengaruh terhadap penilaian.
Ada banyak contoh yang bisa diberikan. Saya yang terbiasa makan masakan pedas di Indonesia menyesuaikan secara susah dengan masakan yang terasa asam di Filipina. Terbiasa melihat sungai yang bersih di kampung, saya terkejut melihat sungai-sungai di Jakarta yang hitam, tak mengalir, dan kotor. Atau terbiasa mendengar lagu pop, ketika mengunjungi seorang teman di rumahnya, saya tak nyaman mendengar lagu-lagu rock n roll dengan volume besar. Namun seiring berjalannya waktu, saya bisa menyesuaikan diri. Saya suka dengan makanan Filipina. Air yang kotor tidak lagi menjadi masalah. Begitu pun selera musik dari teman.
Contoh pengalaman seorang imam bermisi di Afrika juga memberikan suatu kejelasan pemahaman bahwa penilaian indera dapat berubah-ubah. Setiba di Afrika ia merasa tak seorang pun wanita di Afrika yang cantik. Lambat laun, setelah beberapa tahun, ia sudah mulai mengenali ide kecantikan orang Afrika. Wanita yang berpantat besar adalah wanita yang cantik. Dan ia pun sudah mulai membedakan mana yang cantik dan mana yang tidak. Ketika kembali ke Filipina untuk liburan, ia harus menyesuaikan pemahamannya. Semula ia tak menemukan yang cantik di Filipina. Tidak ada yang berbokong besar seperti wanita-wanita di Afrika.
Memberikan penilaian demikian sebetulnya aktualisasi dari kodrat dasar manusia sebagai makluk berakal budi. Namun, persoalannya adalah pada penilaian yang diberikan. Apakah pantas memberikan penilaian baik-buruk –yang biasa diberikan pada penilaian moral—pada sesuatu yang hanya menunggu waktu saja untuk menjadi terbiasa?
Saya merasa bahwa kita perlu membedakan penilaian hasil tangkapan indera dan penilaian moral. Persoalan kerapkali muncul karena kita tidak mengenali batas-batasnya. Kita acapkali mencampuradukkan keduanya. Emosi dieksploitasi habis-habisan dan berantakan: marah disaat sebetulnya bisa bersabar. Itulah sumber dari kegersangan hati manusia.
Penilaian Moral
Penilaian baik-buruk adalah penilaian moral. Penilaian inilah yang seharusnya merangsang emosi kita. Sebab keterarahan dasar hati nurani kita: mendekati yang baik dan menjauhi yang jahat. Emosi-emosi negatif seperti marah, jengkel, frustrasi selalu terarah kepada yang jahat. Emosi itulah yang menggerakkan kita untuk memperbaiki, menghalangi, dan mencegah yang jahat.
Contoh tindakan yang disebut secara moral salah adalah pencurian (korupsi, dll). Kita semua tak ingin harta atau barang kita hilang karena dicuri, dirampas, dan digelapkan oleh orang lain. Kemana saja kita pergi di belahan dunia ini, semua orang mempunyai pendapat yang sama. Atas dasar itu, dimana-mana selalu ada lembaga hukum yang mengatur dan menjunjung nilai-nilai keadilan (kebaikan). Para pencuri ditahan, dididik, dan setelah menjadi baik, mereka akan dikembalikan ke dalam masyarakat.
Pencurian pada hakikatnya adalah negatif. Dalam tindakan pencurian, ada suatu pengurangan nilai kebaikan. Pertimbangan hati nurani kita mengatakan hal yang sama, bahwa pencurian harus dijauhkan. Kita jengkel, marah, dan benci pada peristiwa pencurian karena itulah keterarahan dasar hati nurani kita. Emosi-emosi negatif itulah yang melahirkan lembaga hukum yang seharusnya memberikan ancaman kepada manusia agar mempergunakan kebebasannya untuk melakukan hal-hal yang baik.
Batas-Batas dan Bias yang Terjadi
Munculnya persoalan adalah ketika kita tidak menyadari batasan-batasannya. Kita mencampuradukkan keduanya.
Penilaian baik-buruk dalam pertimbangan moral, kita pakai dalam penilaian inderawi kita yang sifatnya berubah-ubah. Saya mengatakan bahwa makanan di Filipina itu jelek atau buruk. Begitu dikatakan jelek, secara otomatis emosi negatif saya teraktifkan. Saya marah, jengkel, dan merasa frustrasi. Menilai bahwa musik rock n roll itu jelek atau buruk, saya lalu merasa jengkel. Ingat bahwa kejengkelan itu dapat membias. Artinya bukan saja kepada musik rock, tetapi kepada semua penyuka musik rock, semua atribut yang berkaitan dengan musik rock and roll.
Pertanyaannya: Apakah memang masakan Filipina atau musik roll n roll itu jelek? Kalau buruk, mengapa ada orang yang menghasratinya? Ataukan itu hanya perbedaan selera?
Mulai menyukai makanan Filipina setelah tinggal di sini selama dua bulan, saya paham bahwa perbedaan selera atau kebiasaan yang terbentuk dari stimulus inderawi kita tidak menentukan soal baik atau buruk, tetapi menentukan terbiasa atau tidaknya. Artinya kita hanya menunggu waktu saja untuk menyesuaikan selera. Perbedaan adalah persoalan waktu saja untuk memahaminya.
Tidak mengenali tatanan emosilah, makanya kita bertindak secara serampangan. Kita menjadi jengkel di saat kita seharusnya bersabar hanya untuk menghargai perbedaan dan butuh waktu untuk menyesuaikan diri.
Bayangkan apa yang terjadi dengan kehidupan kita jika kita memakai selera dan kebiasaan kita sebagai sumber penilaian moral? Barangkali tiap saat kita tidak akan pernah tenang. Kita marah dan jengkel dengan orang yang penampilannya seperti anak punk, yang berbicara kasar dan meledak-ledak, dan yang hobbinya berbeda dengan kita.
Emosi kita sungguh dieksploitasi. Kita sebetulnya menderita ketika misalnya marah karena makanan yang tidak sesuai dengan selera kita hampir sama bobotnya dengan marah ketika barang kita dicuri. Aneh, kan? Lebih parah lagi, kita marah karena orang berbeda agama, keyakinan, prinsip, adat-istiadat dan kebiasaan, sedangkan kepada tindakan-tindakan yang esensinya jahat kita tidak “marah” dalam artian bertindak secara rasional untuk mencegahnya.
Kalau sudah pada kategori ini, kita sebetulnya adalah manusia ideologis, yakni memakai diri sendiri (kebiasaan, selera, dan hobby) sebagai standar untuk penilaian baik-buruk. Barangkali Front Pembela Islam (FPI) ada pada kategori ini: Membenci perbedaan dan membiarkan korupsi. Kita bisa cari contoh yang lain dalam kehidupan pribadi kita.
Refleksi Kehidupan
Kita sampai pada pemahaman bahwa kita perlu mengenali tatanan emosi kita agar kita dapat memanfaatkannya secara bijak. Kita dapat memetakan peran pencerapan inderawi dalam kehidupan manusia yang terus bertransenden dan berkontemplasi mendekati sang kesempurnaan, yakni Allah sendiri.
Penilaian inderawi bukan berarti tidak penting. Kita membutuhkannya. Yang keliru adalah memutlakan penilaian inderawi. Kita bergantung padanya dan tidak bisa memisahkan diri dari pencerapan inderawi.
Pencerapan inderawi hanyalah alat untuk mengumpulkan informasi untuk membangun suatu pengertian tertentu tentang kehidupan. Lalu mindset itulah yang kemudian menjadi warna dasar dalam melihat realitas lagi. Rumusnya : realitas-refleksi-realitas. Kehidupan yang direfleksikan itu amat penting agar kita mempunyai keterarahan dalam tindakan. Aristoteles mengatakan, “ an unexamined life is not worth living.”
Dengan kata lain, informasi dari pencerapan inderawi membuat kita berefleksi tentang kehidupan. Refleksi bukanlah rangkuman dari berbagai hasil pencerapan inderawi, tetapi sesuatu yang melampaui (transenden) atas pengalaman inderawi itu sendiri. Artinya, serentak di saat kita memakai indera kita, kita juga bisa membebaskan diri dari “ketergantungan” pada inderawi kita dan melampauinya.
Tidak bisa membebaskan diri dari ketergantungan pada inderawi membuat kita hidup dalam ekspektasi semu. Mengagungkan apa yang kita lihat indah, kita dengar menarik, kita rasa nikmat, kita hirupi segar, dan kita sentuh terasa lembut. Tindakan, selera, dan kebiasaan kita terbentuk darinya. Jika kita mengalami yang sebaliknya, kita menjadi melankolis. Melankolis, menurut Sigmund Freud, adalah simptom atau patologis yang bisa berakhir tragis yakni bunuh diri. Melankolis adalah berubahnya perasaan cinta kepada objek, sementara objeknya masih ada.
Nah, ketika memutlakan pengamatan indera, kita memaksa hal-hal di luar kita agar sesuai dengan kehendak kita atau kriteria kita, namun keadaan di luar kita tidak bisa dipaksakan. Itulah sumber kegersangan kita. Maka kita harus berhati-hati dengan segala ilusi yang diciptakan oleh pengamatan indera kita.Ilusi pikiran akan membatasi dan memenjarakan kita. Kita melihat manusia, bukan lagi sebagai manusia, tetapi apakah kaya atau miskin, pejabat atau rakyat biasa, berbakat atau tidak. Kita melihat wanita bukan lagi sebagai wanita, tetapi apakah cantik atau tidak. Kita tidak melihat laki sebagai laki-laki, tetapi apakah ganteng, kaya, atau tidak.
Saya menyadari bahwa ketenangan batin adalah keterarahan emosi kita secara tepat yang lahir dari refleksi yang dalam. Kita tidak bertindak gegabah dan tidak berada dalam ekspektasi yang berlebihan. Kita menghargai perbedaan dan berjuang untuk nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Hal itu hanya mungkin tercapai ketika Anda dan saya mampu membuat tatanan emosi kita.
Ucapan Boethius dan Mother theresa dapat merangkum tentang topik ini.Kebahagiaan, menurut Boethius, tergantung pada kualitas pikiran. Keberanian kita untuk membangun suatu sistematika dalam pikiran dapat membantu kita dalam berinteraksi dengan diri sendiri dan dunia. Sedangkan Mother Theresa mengungkapkan dengan sederhana, “Ketika mengadili orang lain, kita tidak mempunyai kesempatan berbuat kasih.” Mengadili di sini adalah kategori-kategori ilusi yang kita ciptakan dari pencerapan inderawi kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar