Kisah pernikahan ini memang tak semahal resepsi pernikahan Brad Pitt dan Angeline Jolie yang memakan biaya miliaran, tak semegah dan seelite kisah pernikahan anak SBY di mana para hadirin beradu neces, dan tak seromantis dan seagung kisah pernikahan pangeran William dan Kate Midelton, namun kisah ini tetap sama-sama layak dikenang dan tak terlupakan.
“Kamu tak akan pernah melihat lagi kerbau seperti itu.” kata pria itu setiap kali bercerita tentang pernikahannya. “Kerbau putih dengan belang-belang hitam di seputaran perutnya. Tanduknya sebesar tangan saya dan melengkung seperti gading gajah.”Tiap kali mendengar kisah kerbau itu, rasanya bola mata saya hampir melompat keluar. Atau kali lain saya melihat ke langit-langit rumah dengan mulut menganga lebar dan bola mata hitam lenyap, menyisahkan bagian yang “putih” saja. Jadi terlihat seperti orang yang kerasukan atau pingsan. Pertanda sudah berpikir dan berimajinasi melampaui batas-batas netra.Lebay kan? hahaha
"Itulah kerbau yang saya bawa sebagai belis untuk menikahi dia.” katanya lagi sambil melirik ke wanita yang sedang menjahit, duduk tidak jauh dari kami berdua. Wanita itu hanya tersenyum namun seolah menahan tertawa ketika melihat kelopak matanya yang tiba-tiba tampak mengkilap karena digenangi air mata. Anggukan kecilnya menentramkan keyakinan saya.
“Terus?” tanya saya penasaran sambil menggaruk-garuk kening.
“Kemah hampir seluas lapangan kampung. Waktu itu hujan. Lebat sekali. Tapi kemah tetap penuh dengan tamu undangan. Musik terdengar hampir beberapa kilo jauhnya. Pokoknya ramai sekali.”
Kali ini saya terpaksa menopang dagu. Rasanya kepala bertambah berat karena berpikir keras. Meskipun masih kecil, kerutan di dahi saya seolah sudah bergulung-gulung seperti gelombang laut di Pantai Reo yang lagi pasang di siang hari.
Kampung itu letaknya di atas gunung. Tak ada jalan raya untuk kendaraan bermotor ke sana. Hanya melewati jalan setapak di tengah hutan. Tanjakan yang tajam membuat nafas harus ngos-ngosan untuk tiba di sana. Belum lagi menyebrangi Wae Pesi, sungai yang dikenal lebar, dalam, dan dihuni buaya-buaya—dalam cerita semasa kecil—yang kalau musim hujan, arusnya menjadi deras.
Tapi toh akhirnya saya masih bisa percaya. Sudah beberapa kali saya menyaksikan waktu kecil, bahkan sampai sekarang, orang berani menyebrangi Wae Pesi demi menghadiri pesta di kampung di seberang sungai yang sudah termasuk wilayah Lamba Leda. Gadis-gadis bermata bulat, berkulit hitam manis yang datang dari berbagai kampung tetangga ditemani “nara-nara” mereka yang biasa memakai jaket “anti peluru”—jaket berwarna hitam dan tebal—celana panjang lewis berwarna biru dan baju kemeja berlengan panjang yang kedua ujung bawahnya diikat satu sama lain mempunyai banyak trik untuk menyebrangi Wae Pesi.
Semangat mereka kalau mau dilukiskan seperti kisah yang saya sering dengar ketika duduk di bangku SD. Konon, diceritakan seorang pemimpin perang yang mendarat di suatu pulau kecil merasa bingung melihat pasukannya takut melawan para penduduk setempat yang terlihat ganas dan beringas. Lalu malamnya, ketika para tentara sedang tidur, ia membakar semua kapal. Mereka tidak ada pilihan untuk pulang. Satu-satunya pilihan: maju dan pantang mundur. Begitu jugalah semangat mereka. Hujan dan banjir, barangkali juga guruh gemuruh guntur yang menderu-deru dan kilatan kilat yang sambar menyambar sekalipun tak membuat mereka gentar dan mundur. kenapa ya?? haha
“Kebanyakan yang datang pesta adalah teman-teman. Dulu ketika masih sebagai guru bujang, saya pergi pesta ke mana-mana. Giliran saya menikah, semua teman-teman datang. Hujan kala itu tak mengurung niat mereka untuk datang. “
“Tapi kemahnya tidak sebesar lapangan kan?” ujarku dengan nada bicara yang seolah tidak percaya. Lapangan itu sesungguhnya sulit diterima kalau disebut lapangan sepak bola. Tapi dua gawang yang terbuat dari bambu yang ukurannya mengikuti standar international ada di kedua sisi lapangan. Hanya saja, kedua penjaga gawang tiap kali pertandingan hampir tidak bisa melihat satu sama lain. Coba tebak, gimana bentuk lapangannya?
“hahahaha iya. tidak juga sebesar lapangan. Kemahnya di atas bagian yang rata. tapi kualitas musik sulit dilawan.” jawabnya seolah mengalihkan pembicaraan.
Kembali saya bermenung, mengernyitkan dahi. Tapi ah, saya salah kalau harus membandingkan dengan zaman sekarang. Barangkali ia bercerita dari perspektif zaman itu dan membandingkanya dengan zaman itu pula.Tahun 1977, listrik belum ada di sana. Sampai sekarang, tahun 2014, 2015, 2016, .... Jadi dalam kepanitian pesta, ada seksi “lampu gas.” Operator musik adalah pemilik accumulator (aki). Posisi ini tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh direbut oleh siapa pun. Seorang anak muda yang baru mekar dalam masa pubernya, berdiri di samping operator musik. Ia sibuk mencucukkan jari kelingkingnya ke dalam roda kaset pita. Alhasil, lagu “By the rivers of Babylon” bisa diputar sesering mungkin. Itu berkat jasanya.
Mendengar lagu itu, semua pria-pria idaman saat itu pun bergoyang ria dengan celana komprang tapi agak ketat di bagian lutut yang seolah mencengkik lutut. Lidah baju kemeja yang tebal seperti dilapisi kardus di dalamnya, dan rambut gondrong sepanjang bahu yang merupakan gaya ngetrend saat itu. Begitupun gadis-gadis pemikat hati pria-pria idaman tersebut. Dalam balutan rok panjang sepanjang mata kaki yang jika sedang bergoyang akan mengembang seperti bunga yang sedang mekar atau seperti lambaian lembut rok artis dalam film-film bollywood yang menari di antara pepohonan atau di tengah taman. Mereka tampak begitu menarik apalagi dengan lemparan poni yang menyamarkan sebagian wajah mereka. Rasa penasaran kaum Laki-laki bertambah. Mereka makin berjingkrak-jingkrak seperti terkena sengatan listrik.
Begitulah suasana pesta zaman itu.
****
Kisah tentang pernikahan itu selalu saya dengar semenjak kecil. Waktu SD, beberapa kali saya mendengar cerita tersebut sebelum tidur. Juga Selama SMP dan SMA, beberapa kali saya mendengarnya. Sewaktu kuliah, saya yang bertanya tentang kisah itu. Saya mulai sadar bahwa saya tak ingin kisah itu lenyap. Didengar berulang-ulang membuatnya tersimpan dalam alam bawah sadar dan diingat di luar kepala. Barangkali suatu waktu saya adalah penceritanya.
Satu hal yang pasti: cerita itu tidak pernah berubah. Masih tentang kerbau belang-belang dengan dominasi warna putih dan tanduk yang melengkung seperti gading gajah, kemah hampir seluas lapangan, dan musik yang cetar membahana seolah-olah dipantulkan kembali oleh bukit-bukit yang mengelilingi kampung itu.
Hanya nada suara dan alur cerita saja yang sudah berubah. Sewaktu masih SD, pria itu bercerita dengan alur yang teratur, mengalir, dan suaranya terang benderang. Seiring berjalannya waktu, kadang ia lupa sana-sini, yang harus dibantu dengan pertanyaan agar diingatnya kembali detail-detailnya. Selingan cerita ditandai batuk-batuk kecil.
Cerita tentang pernikahan itu begitu penting bagi saya. Terutama, bagi mereka berdua yakni orangtua saya Karena ceritalah yang satu-satunya yang tertinggal dari pesta itu.
“Mana foto pesta nikah?” tanya saya waktu kali pertama mendengar kisah itu. Saat itu saya belum duduk di bangku SD.Keduanya serentak tertawa terbahak-bahak. ibu saya tertawa mengocok perut sambil mengosok-gosok air matanya.
“Kenapa?”
“Semuanya karena dia.” jawab ayah saya, setengah menuduh, tapi seolah tak tega menyalahkan istrinya sama sekali.
Dengan energi yang tersisa selepas tertawa yang menguras tenaga, wanita itu mulai bercerita.
“Beberapa hari setelah menikah, saya mencuci pakaian. Celana putihnya saya rendam. Maklum sehabis pesta, celana kotor karena lumpur di tempat pesta.”
“Celana putih?” potong saya.
“Iya. Dulu dia mengenakan jas putih dan celana panjang putih.”
“Dasi kupu-kupu juga.” sambar pria itu dengan penekanan setiap suku katanya. Kami tertawa sebentar.
“Setelah direndam,” lanjut ibu,” dia memberitahukan saya. Roll film dari tustel ternyata disimpan dalam saku celananya. Saya kaget. Kami periksa. Semua roll film pernikahan sudah rusak. hahaha”
“Padahal saat itu, kami menunggu kesempatan ke ruteng agar foto-fotonya bisa dicetak.”
Begitulah akhir dari kisah pesta nikah itu. Tak tertinggal dalam selembar foto sekalipun pun. Yang tertinggal hanyalah cerita. Ceritalah yang membuatnya tak terlupakan.
Happy Wedding anniversary to my Dad and mom!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar