Tiap kali membaca berita elite pemerintah yang korupsi di media online,
saya tersulut amarah dan tergoda untuk melontarkan komentar pedas.
Setelah menengok komentar-komentar sebelumnya, saya menemukan reaksi
serupa. Caci-maki, dan umpatan sudah tertulis di sana.
Saya membayangkan, seorang pejabat publik, keluarga, atau koleganya
yang membaca komentar-komentar tersebut barangkali akan merasa sangat
terkejut. Mereka bisa sakit hati. Jika tak kuat batin, anak dari seorang
pejabat bisa mengurung diri dari pergaulan sosialnya. Apalagi kalau
dari segi hukum belum terbukti, semua komentar itu rasanya menyakitkan
dan berlebihan.
Tetapi itulah media
sosial. Media sosial telah menjadi sarana alternatif ketika lembaga
hukum telah tumpul berhadapan dengan kekuasaan dan uang.
Siapa yang tidak merasa jengkel ketika melihat seorang pejabat yang
diberitakan telah menggelapkan dana miliaran, masih dapat tersenyum
lebar dan terbebas begitu saja dari jeratan hukum?
Di sini media sosial adalah sarana “gosip-gosipan” yang bisa memberi
efek sosial dan rasa malu kepada para pejabat tersebut. Bebas dari
jeratan hukum tidak berarti ia bebas dari hukuman sosial. Reputasinya
dijelekkan, dicaci maki, dan diumpat. Ia barangkali tak dipenjara atau
dikurung, tetapi cercaan, bagaimanapun, akan berefek secara psikis dan
sosial.
Kadang saya berpikir: bukankah kemarahan
seperti itu berlebihan dan tidak berdasar? Saya lalu teringat seorang
ucapan seorang warga kampung di pedalaman suatu ketika. “Seandainya saya
pilih orang lain, jembatan yang menghubungkan kampung ini barangkali
sudah selesai dibangun,” katanya menyesali pilihannya selama pemilu
lantaran pemimpin yang terpilih tak menepati janjinya.
Korupsi anggaran pembangungan jembatan yang ia maksudkan telah membuat
mereka tak bisa membawa hasil perkebunannya ke kota dengan lancar.
Seandainya lancar, mungkin saja pendapatan mereka bertambah. Mereka
dapat membiayai pendidikan anak-anak hingga perguruan tinggi, membangun
rumah yang layak dihuni dan sehat, dan akses dunia-kehidupan yang
"modern" lebih mudah.
Atas dasar itu, hukuman
bagi seorang koruptor dan pemimpin yang melanggar janji sebenarnya
merupakan suatu kompensasi. Seorang koruptor dihukum bukan saja karena
jumlah uang yang digelapkannya, tetapi juga atas kerugian sosial yang
terjadi. Potensi perbaikan nasib banyak orang lenyap begitu saja.
Sedangkan seorang pemimpin yang membual dan mengabaikan janji dihukum
sebagai kompensasi atas pengabaian “kepercayaan” yang diberikan. Sebab,
andaikata selama pemilihan, masyarakat pemilih telah memenangkan orang
lain, barangkali ceritanya sudah berbeda. Itu diperhitungkan sebagai
kerugian yang harus ditanggung oleh pemimpin yang membual.
Akan tetapi, dalam negara demokrasi, rakyat tidak dapat bertindak
semena-mena. Institusi hukum adalah lembaga yang legitim untuk mengadili
para koruptor. Koruptor harusnya dijerat hukum, dipenjarakan, dan
didenda atas kerugian yang dilakukan.
Sayangnya lembaga hukum tak bisa ditaruhkan harapan semulia itu. Para
aparatur hukum amat loyo dan rapuh di hadapan uang dan kekuasaan. Sudah
jamak kita menyaksikan kongkalingkong antara pejabat dan aktor hukum.
Miris rasanya ketika saya menyaksikan persidangan para koruptor. Seorang
hakim dengan raut wajah serius dan menyeramkan di depan seorang
koruptor yang duduk lunglai dan lesuh seolah penuh dengan penyesalan
tiba-tiba mengetukpalu di atas meja persidangan hanya untuk hukuman
beberapa tahun. Benar-benar sebuah drama dengan akhir yang buruk.
Beberapa tahun kemudian koruptor terbebas lebih cepat. Remisi masa
tahanan dari pemerintah membuat keluar dari penjara lebih awal.
Kemunculan media sosial yang semakin popular saat ini seolah menjadi
jalan untuk melampiaskan rasa jengkel terhadap rasa keadilan yang tidak
pernah terpuaskan itu. Gosip dan makian di ruang nyata yang terbatas
telah mencuat ke dunia maya. Semakin banyak orang terlibat. Jangkauan
semakin meluas.
Tak ada yang bisa mengerem
diskusi publik di media sosial seperti itu. Berbeda dengan ranah hukum
dikenal sangat prosedural, ruang media sosial tidaklah demikian. Cirinya
spontan. Begitu melihat postingan judul berita, “diduga korupsi” saja,
reaksi cepat seperti marah, caci-maki, dan tidak senang muncul di kolom
komentar. Mengubah nama akunnya terlebih dahulu membuat orang
melampiaskan begitu saja amarahnya tanpa harus dimintai
pertanggungjawaban dan memperhatikan perasaan si korban dan keluarganya.
Semua itu menjadi isyarat bahwa pejabat publik yang terlibat korupsi
tidak boleh bangga ketika bebas dari jeratan hukum. Bebas dari
serangkaian tuduhan yang digadaikan dengan uang tidak berarti bebas dari
hukuman. Tekanan di media sosial adalah bentuk hukuman secara sosial.
Akan tetapi cirinya yang terlampau spontan, dunia media sosial akhirnya
mudah dimanipulasi. Inilah yang tidak disadari banyak pihak pengguna media sosial.
Saya selalu teringat reaksi spontan dari seluruh penumpang dalam bus
metromini ketika mendengar salah seorang penumpang berteriak
“pencopet!”. Semua menyerbu dengan amarah yang menyala-nyala, menghardik
sekuat tenaga, dan hampir menghabisinya. Kemudian menyesal dan meminta
maaf ketika pencopet yang sebenarnya sudah pergi menjauh. Inilah:
“maling teriak maling.”
Dunia media sosial pun
demikian. Anda dan saya tidak pernah tahu intensi dari setiap penulis
berita. Kita tidak selalu cukup mampu untuk menilainya secara kritis.
Saya kadang sulit membaca apa yang “tak tertulis.” Emosi seringkali
terpancing oleh apa yang tertulis tanpa mau menimbangnya secara
mendalam.
Tipu daya media bisa membuat emosi kita
dieksploitasi secara gampang. Kita bisa diprovokasi dan diadudomba.
Marah, benci, jengkel tanpa alasan yang tepat. Tawaran nilai dan gagasan
terlampau banyak di media sosial. Jadilah kita manusia yang tak
berprinsip seperti kerbau dicocok hidung.
Saya
kadang berpikir agar lebih was-was dan etis dalam memberi penilaian di
media sosial. Tidak begitu vulgar dan berlebihan. Jangan sampai apa yang
terjadi pada seorang anak di Amerika yang bunuh diri karena di-bully di
media sosial terulang. Tapi toh inilah realitas. Semua orang tidak
bisa diharapkan berperilaku etis, santun, dan rasional.
Hanya ada satu jalan yang mungkin. Saya selalu percaya peribahasa lama
ini: “mencegah lebih baik daripada mengobati.” Kalau mau dibahasakan
secara positif, kehadiran media sosial seharusnya mendorong pejabat
publik untuk semakin berintegritas.
Walapun
kompensasi hukuman dapat ditempuh melalui uang dan kekuasaan, reputasi
buruk sulit dicegah persebarannya di media sosial. pencegahannya hanya
dengan menjaga integritas.
Bukan tidak mungkin,
melihat tuduhan sosial bahwa orangtuanya adalah pencuri, perampok uang
negara, dan penjahat, seorang anak akan marah, sakit hati, dan
frustrasi.
Rahmat
-
Dua malaikat sedang melakukan perjalanan. Ketika malam tiba, mereka
berhenti dan bermaksud menginap di sebuah rumah milik keluarga kaya. Keluarga
itu s...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar