Pages

Ads 468x60px

Minggu, 31 Agustus 2014

Misteri Di Balik Kematian

Saya melangkah dengan ragu saat memasuki kuburan. Letaknya jauh dari kampung. Sepi dan senyap, kecuali suara gemerisik dari daun-daun bambu yang menjulur ke jalan setapak. Kuburan-kuburan semen itu tampak tak terawat dan menyeramkan. Berlumut dan ditudungi semak belukar yang tumbuh membosankan.

            Teman seperjalanan saya sore itu tiba-tiba mengejutkan saya. Melihat pemandangan di kuburan seperti itu, dia berkata, “Beginilah hidup kita. Seminggu atau sebulan pertama cairan lilin berseliweran di atas kuburan. Berbulan-bulan dan bertahun-tahun kemudian, semakin berkurang, bahkan mulai  terlupakan. Nanti kalau anak-cucu juga meninggal, kita bahkan mungkin tak pernah diingat apakah pernah hidup atau tidak dalam dunia ini.”



Hidup Tanpa Makna?

            Ucapan teman saya itu membuat saya terpuruk dan tertunduk lesuh. Sebagai seorang manusia, saya ingin dikenang. Nama saya tak terlupakan. Saya tidak ingin seperti awan: suatu waktu hadir bergulung-gulung di hadapan kita, lalu ditiup angin, menghilang tanpa meninggalkan jejak dan kembali lagi.
Seperti pepatah lama, “gajah mati meninggalkan gading dan manusia mati meninggalkan nama.” Begitulah saya. Ingin dikenang dan tak terlupakan.

            Kematian yang ia gambarkan lalu membuat saya takut. Tapi kali ini bukanlah ketakutan seperti ketika teman saya meninggal pada 10 November 2003. Walaupun teman akrab selama di kelas dan di asrama, saya takut berminggu-minggu kalau-kalau arwahnya bergentanyangan. Tempat tidur dirapatkan dengan teman-teman yang lain di asrama. Tidur tidak pernah nyaman tiap malam. Itu karena di kepala saya sudah terprogram sejak kecil, orang yang sudah meninggal disebut setan, terpisah dari dunia kita. Namun ketakutan yang saya alami sekarang berbeda dari itu.

            Ketakutan yang menggetarkan adalah kehampaan hidup, ketiadaan makna. Saya merasa inilah ketakutan saya yang sebenarnya daripada ketakutan pada arwah orang mati. Lebih daripada ketakutan pada perkuburan yang terletak di luar kampung.  Saya sadar bahwa ketakutan  kepada arwah orang mati atau semua yang terkait dengan mereka hanyalah proyeksi dari ketakutan saya terhadap ancaman ketakbermaknaan hidup.

            Lalu apa artinya yang saya lakukan sekarang? Di antara kelahiran dan kematian ada kehidupan. Inilah yang saya buat:  Bangun tiap pagi, tenggelam dalam rutinitas harian, kembali berjumpa dengan tempat tidur di kala malam menjemput. Duduk di bangku pendidikan selama bertahun-tahun. Belajar dengan tekun. Bekerja lebih giat. Seolah-olah semuanya hanya untuk "menanti" kematian menjemput.

            Tetapi kematian ibarat pencuri di malam hari. Tak tahu datangnya kapan. Seringkali di tengah perjalanan menuju kampus, saya tercengang dan tak bersemangat menyaksikan kecelakaan. Orang yang mengejar jam kantornya tiba-tiba terjadi tabrakan, lalu meninggal dengan tragis. Pun suatu saat seorang teman yang pernah bercita-cita ingin mengubah kondisi ekonomi keluarganya dengan belajar setekun mungkin, tiba-tiba meninggal karena sakit dua hari saja. Ia membuat saya tak bersemangat, kurang terlalu berharap, apalagi bermimpi yang besar. Lalu di TV menyaksikan berita-berita tragis seperti bencana alam yang merenggut nyawa banyak orang, peristiwa pembunuhan, perang, penyakit dan lain sebagainya.

            Sepertinya tak ada yang lebih otoriter daripada takdir kematian itu sendiri. Kita tidak pernah tahu bagaimana takdir dari setiap orang. Seandainya bisa memilih, kita sudah pasti memilih yang terbaik. Namun kita seolah tak punya pilihan. Hanya kepasrahan menantinya. Kapan dan bagaimana? Masih tanda tanya!

Berpikir dari Belakang

            Kunjungan ke suatu panti orang cacat suatu ketika membuat saya sadar bahwa ketakutan akan kematian membuat kita tidak pernah berani menghadapi kematian. Kita tidak sanggup berpikir melampaui ketakutan itu sendiri.

            Di sana, selain bertemu dengan anak-anak yang buta dan tuli, yang lumpuh dan duduk di  kursi roda, yang kaki dan tangannya buntung dan terkesan dengan sambutan mereka yang hangat meskipun dalam keterbatasan yang mereka miliki, saya bertemu dengan seorang pria yang mendampingi mereka.

            Ia begitu sabar dan dekat dengan anak-anak itu. Masih muda, penuh semangat, dan setia menemani mereka. Ia tak dibayar. Karena atas inisiatif pribadinya itu, ia harus membagi waktu antara jadwal kuliah dan pelayanannya di sana.

            “Saya selalu merasa menimba energi yang luar biasa kalau datang ke sini. Seolah tak ada yang perlu dicemaskan dan berpikir terlalu berlarut-larut saat melihat mereka tersenyum.” ujarnya seolah ia tak berkeberatan untuk datang ke sana.“Awalnya tidak mudah. Tapi inilah hasil permenungan saya tentang hidup ini.”

            Ia bercerita bahwa hidup harus dipikirkan dari belakang. Itulah cerita awal yang memotivasinya untuk semakin konsern dengan kegiatan sosial.  “Dulu seringkali sebelum tidur, saya membayangkan diri saya berada dalam peti. Ada empat orang yang mewakili keluarga, teman-teman, komunitas, dan lingkungan kerja memberikan kesan tentang saya. Saya membayangkan apa kesan yang terbaik  yang ingin saya dengar dari mereka.”

           Menurutnya,  Menata hidup bertolak dari titik kematian ibarat membangun rumah.  Ada dua peristiwa “penciptaan” di situ, yakni penciptaan mental dan penciptaan fisik.  Sebelum seseorang membangun rumah secara nyata, ia sudah mempunyai gambaran di kepalanya. Ia sudah menggambarnya di atas kertas. Begitulah juga kehidupan yang dipikirkan dari kematian.  Titik kematian membuat kita mempunyai gambaran keseluruhan tentang kehidupan yang kita akan lewati.

           Semenjak itu, ia berpikir tentang apa yang perlu ia lakukan yang bisa membuat ia dikenang oleh orang lain. Ia mulai terlibat dalam kegiatan sosial dan berelasi dengan orang lain sebanyak yang ia bisa kenal. Lalu ia mulai mengenal para pengamen, sopir angkutan umum, anak jalanan, pegiat sosial di kampus-kampus, dan kegiatan cinta lingkungan dan lain sebagainya.

          Ia merasa benar-benar senang dengan itu semua kegiatan tersebut. Baginya, kehidupan itu adalah penjelajahan. Bukan hanya soal bagaimana mencapai tujuan atau meraih cita-cita, tetapi menikmati dan memaknai waktu yang dilalui bersama orang lain. Saat itu ia seolah-olah menyesali dirinya yang dulu berpikir hanya soal kesuksesan, masa depan yang cerah, berprestasi, dan memiliki harta dan kekayaan.  Hal itulah yang kadang membuat ia jauh dari pergaulan sosial karena lebih akrab dengan buku, kadang terlihat cuek dengan pengemis di jalanan, dan mencari kenikmatan semata.

          “Bukan berarti itu semua tidak penting. Tapi kalau kita berpikir dari belakang yakni dari kematian, kamu akan merasa bahwa ada yang lebih penting daripada uang, kesuksesan, dan prestasi demi prestasi. Dan kamu akan bakalan tahu dimana posisi dari uang dan kesuksesan itu berada. Ia tidak berada di atas puncak yang membuatnya menjadi segala-galanya dalam hidup.”

           Pernyaataannya itu seolah diperteguh dengan kematian yang merenggut orang-orang yang terkenal dan kaya bahwasannya uang dan kesuksesan tidak menjamin kebahagiaan. Artis Hollywood seperti Robin Williams, misalnya, harus mengakhiri hidupnya dengan tragis,  bunuh diri. Masih begitu banyaknya orang kaya, hidupnya justru linglung, frustrasi, dan tidak bahagia.

           Mendengarnya, saya  juga mengoreksi logika yang kadang saya pelihara bahwa kekayaan bisa memperpanjang hidup. Kenyataannya, kematian berjalan menurut logikanya sendiri. Tak kenal kaya atau miskin. Orang miskin pun dapat hidup lebih lama.

            Saya kira ketakutan akan hidup yang tak bermakna menjadi konsern semua orang. Cepat atau lambat kita akan bertanya tentang makna kehidupan itu sendiri—darimanakah kita berasal dan kemanakah kita pergi? Barangkali bagi orang yang beragama, itu akan dijawab lebih mudah, karena jawabannya sudah tersedia dalam  Kitab Suci masing-masing agama. Namun para ateis akan berusaha lebih keras lagi.

            Teman saya tadi memberikan cara berpikirnya yang berguna bagi saya untuk memikirkan makna kehidupan ini.

            Pengalaman itu akhirnya membuat saya paham bahwa kematian—kalau tidak ditakutkan—sebenarnya menyimpan nilai-nilai kehidupan yang kita cari dalam kehidupan di dunia ini. Kuburan yang tampaknya menyeramkan hanyalah undangan untuk berpikir dan bertindak melampuinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text