Saya melangkah dengan ragu saat memasuki kuburan. Letaknya jauh dari
kampung. Sepi dan senyap, kecuali suara gemerisik dari daun-daun bambu
yang menjulur ke jalan setapak. Kuburan-kuburan semen itu tampak tak
terawat dan menyeramkan. Berlumut dan ditudungi semak belukar yang
tumbuh membosankan.
Teman seperjalanan saya
sore itu tiba-tiba mengejutkan saya. Melihat pemandangan di kuburan
seperti itu, dia berkata, “Beginilah hidup kita. Seminggu atau sebulan
pertama cairan lilin berseliweran di atas kuburan. Berbulan-bulan dan
bertahun-tahun kemudian, semakin berkurang, bahkan mulai terlupakan.
Nanti kalau anak-cucu juga meninggal, kita bahkan mungkin tak pernah
diingat apakah pernah hidup atau tidak dalam dunia ini.”
Hidup Tanpa Makna?
Ucapan teman saya itu membuat saya terpuruk dan tertunduk lesuh.
Sebagai seorang manusia, saya ingin dikenang. Nama saya tak terlupakan.
Saya tidak ingin seperti awan: suatu waktu hadir bergulung-gulung di
hadapan kita, lalu ditiup angin, menghilang tanpa meninggalkan jejak dan
kembali lagi.
Seperti pepatah lama, “gajah mati meninggalkan
gading dan manusia mati meninggalkan nama.” Begitulah saya. Ingin
dikenang dan tak terlupakan.
Kematian yang ia
gambarkan lalu membuat saya takut. Tapi kali ini bukanlah ketakutan
seperti ketika teman saya meninggal pada 10 November 2003. Walaupun
teman akrab selama di kelas dan di asrama, saya takut berminggu-minggu
kalau-kalau arwahnya bergentanyangan. Tempat tidur dirapatkan dengan
teman-teman yang lain di asrama. Tidur tidak pernah nyaman tiap malam.
Itu karena di kepala saya sudah terprogram sejak kecil, orang yang sudah
meninggal disebut setan, terpisah dari dunia kita. Namun ketakutan yang
saya alami sekarang berbeda dari itu.
Ketakutan yang menggetarkan adalah kehampaan hidup, ketiadaan makna.
Saya merasa inilah ketakutan saya yang sebenarnya daripada ketakutan
pada arwah orang mati. Lebih daripada ketakutan pada perkuburan yang
terletak di luar kampung. Saya sadar bahwa ketakutan kepada arwah
orang mati atau semua yang terkait dengan mereka hanyalah proyeksi dari
ketakutan saya terhadap ancaman ketakbermaknaan hidup.
Lalu apa artinya yang saya lakukan sekarang? Di antara kelahiran dan
kematian ada kehidupan. Inilah yang saya buat: Bangun tiap pagi,
tenggelam dalam rutinitas harian, kembali berjumpa dengan tempat tidur
di kala malam menjemput. Duduk di bangku pendidikan selama
bertahun-tahun. Belajar dengan tekun. Bekerja lebih giat. Seolah-olah
semuanya hanya untuk "menanti" kematian menjemput.
Tetapi kematian ibarat pencuri di malam hari. Tak tahu datangnya kapan.
Seringkali di tengah perjalanan menuju kampus, saya tercengang dan tak
bersemangat menyaksikan kecelakaan. Orang yang mengejar jam kantornya
tiba-tiba terjadi tabrakan, lalu meninggal dengan tragis. Pun suatu saat
seorang teman yang pernah bercita-cita ingin mengubah kondisi ekonomi
keluarganya dengan belajar setekun mungkin, tiba-tiba meninggal karena
sakit dua hari saja. Ia membuat saya tak bersemangat, kurang terlalu
berharap, apalagi bermimpi yang besar. Lalu di TV menyaksikan
berita-berita tragis seperti bencana alam yang merenggut nyawa banyak
orang, peristiwa pembunuhan, perang, penyakit dan lain sebagainya.
Sepertinya tak ada yang lebih otoriter daripada takdir kematian itu
sendiri. Kita tidak pernah tahu bagaimana takdir dari setiap orang.
Seandainya bisa memilih, kita sudah pasti memilih yang terbaik. Namun
kita seolah tak punya pilihan. Hanya kepasrahan menantinya. Kapan dan
bagaimana? Masih tanda tanya!
Berpikir dari Belakang
Kunjungan
ke suatu panti orang cacat suatu ketika membuat saya sadar bahwa
ketakutan akan kematian membuat kita tidak pernah berani menghadapi
kematian. Kita tidak sanggup berpikir melampaui ketakutan itu sendiri.
Di sana, selain bertemu dengan anak-anak yang buta dan tuli, yang
lumpuh dan duduk di kursi roda, yang kaki dan tangannya buntung dan
terkesan dengan sambutan mereka yang hangat meskipun dalam keterbatasan
yang mereka miliki, saya bertemu dengan seorang pria yang mendampingi
mereka.
Ia begitu sabar dan dekat dengan
anak-anak itu. Masih muda, penuh semangat, dan setia menemani mereka. Ia
tak dibayar. Karena atas inisiatif pribadinya itu, ia harus membagi
waktu antara jadwal kuliah dan pelayanannya di sana.
“Saya selalu merasa menimba energi yang luar biasa kalau datang
ke sini. Seolah tak ada yang perlu dicemaskan dan berpikir terlalu
berlarut-larut saat melihat mereka tersenyum.” ujarnya seolah ia tak
berkeberatan untuk datang ke sana.“Awalnya tidak mudah. Tapi inilah
hasil permenungan saya tentang hidup ini.”
Ia
bercerita bahwa hidup harus dipikirkan dari belakang. Itulah cerita awal
yang memotivasinya untuk semakin konsern dengan kegiatan sosial. “Dulu
seringkali sebelum tidur, saya membayangkan diri saya berada dalam
peti. Ada empat orang yang mewakili keluarga, teman-teman, komunitas,
dan lingkungan kerja memberikan kesan tentang saya. Saya membayangkan
apa kesan yang terbaik yang ingin saya dengar dari mereka.”
Menurutnya, Menata hidup bertolak dari titik kematian ibarat membangun
rumah. Ada dua peristiwa “penciptaan” di situ, yakni penciptaan mental
dan penciptaan fisik. Sebelum seseorang membangun rumah secara nyata,
ia sudah mempunyai gambaran di kepalanya. Ia sudah menggambarnya di atas
kertas. Begitulah juga kehidupan yang dipikirkan dari kematian. Titik
kematian membuat kita mempunyai gambaran keseluruhan tentang kehidupan
yang kita akan lewati.
Semenjak itu, ia
berpikir tentang apa yang perlu ia lakukan yang bisa membuat ia dikenang
oleh orang lain. Ia mulai terlibat dalam kegiatan sosial dan berelasi
dengan orang lain sebanyak yang ia bisa kenal. Lalu ia mulai mengenal
para pengamen, sopir angkutan umum, anak jalanan, pegiat sosial di
kampus-kampus, dan kegiatan cinta lingkungan dan lain sebagainya.
Ia merasa benar-benar senang dengan itu semua kegiatan tersebut.
Baginya, kehidupan itu adalah penjelajahan. Bukan hanya soal bagaimana
mencapai tujuan atau meraih cita-cita, tetapi menikmati dan memaknai
waktu yang dilalui bersama orang lain. Saat itu ia seolah-olah menyesali
dirinya yang dulu berpikir hanya soal kesuksesan, masa depan yang
cerah, berprestasi, dan memiliki harta dan kekayaan. Hal itulah yang
kadang membuat ia jauh dari pergaulan sosial karena lebih akrab dengan
buku, kadang terlihat cuek dengan pengemis di jalanan, dan mencari
kenikmatan semata.
“Bukan berarti itu semua
tidak penting. Tapi kalau kita berpikir dari belakang yakni dari
kematian, kamu akan merasa bahwa ada yang lebih penting daripada uang,
kesuksesan, dan prestasi demi prestasi. Dan kamu akan bakalan tahu
dimana posisi dari uang dan kesuksesan itu berada. Ia tidak berada di
atas puncak yang membuatnya menjadi segala-galanya dalam hidup.”
Pernyaataannya itu seolah diperteguh dengan kematian yang merenggut
orang-orang yang terkenal dan kaya bahwasannya uang dan kesuksesan tidak
menjamin kebahagiaan. Artis Hollywood seperti Robin Williams, misalnya,
harus mengakhiri hidupnya dengan tragis, bunuh diri. Masih begitu
banyaknya orang kaya, hidupnya justru linglung, frustrasi, dan tidak
bahagia.
Mendengarnya, saya juga mengoreksi
logika yang kadang saya pelihara bahwa kekayaan bisa memperpanjang
hidup. Kenyataannya, kematian berjalan menurut logikanya sendiri. Tak
kenal kaya atau miskin. Orang miskin pun dapat hidup lebih lama.
Saya kira ketakutan akan hidup yang tak bermakna menjadi konsern semua
orang. Cepat atau lambat kita akan bertanya tentang makna kehidupan itu
sendiri—darimanakah kita berasal dan kemanakah kita pergi? Barangkali
bagi orang yang beragama, itu akan dijawab lebih mudah, karena
jawabannya sudah tersedia dalam Kitab Suci masing-masing agama. Namun
para ateis akan berusaha lebih keras lagi.
Teman saya tadi memberikan cara berpikirnya yang berguna bagi saya untuk memikirkan makna kehidupan ini.
Pengalaman itu akhirnya membuat saya paham bahwa
kematian—kalau tidak ditakutkan—sebenarnya menyimpan nilai-nilai
kehidupan yang kita cari dalam kehidupan di dunia ini. Kuburan yang
tampaknya menyeramkan hanyalah undangan untuk berpikir dan bertindak
melampuinya.
Rahmat
-
Dua malaikat sedang melakukan perjalanan. Ketika malam tiba, mereka
berhenti dan bermaksud menginap di sebuah rumah milik keluarga kaya. Keluarga
itu s...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar