Pages

Ads 468x60px

Jumat, 15 Agustus 2014

Di Pasar Orang-Orang Cacat

Pasar di kota kecil itu adalah tempat berkumpulnya orang-orang cacat fisik. Di belakang tumpukan bayam, kangkung, sawi putih, bunga kol, rebung, dan wortel duduk seorang lelaki yang tersenyum walaupun kedua tangannya buntung.   Di belakang baskom-baskom ikan,  beberapa wanita tua yang  bisu dan buta duduk menanti pembeli. Seorang yang menumpu berat badannya hanya pada satu kaki masih  sibuk menumpuk lombok, tomat, bawang di atas meja jualannya. Sejauh mata memandang, memang tak seorang pun yang normal secara fisik di pasar itu.


“Kenapa bisa begini? Kapan ini mulai terjadi?” begitu saya bertanya-tanya dalam hati sebagai seorang pendatang baru di kota itu. Pasar dipenuhi orang-orang cacat adalah pemandangan yang tidak biasa bagi saya. Bukankah itu mungkin-mungkin saja? Tapi, bagi saya semua yang diluar kebiasaan memang harus dipertanyakan. 

Setelah sedikit lebih lama berada dalam pasar itu, para penjual tersebut bukan satu-satunya yang membuat pasar itu kelihatan baru. Pasar ini benar-benar berbeda dari pasar-pasar umum lainnya. Tak ada yang berteriak meminta, merengek-rengek, memelas agar jualannya dibelikan. Tak ada yang menggunakan trik-trik kotor agar ikannya masih terlihat segar dengan insan  yang terlihat merah merekah. Dijamin tak ada yang menggunakan formalin atau suntikan agar daging-daging terlihat berisi. Sebaliknya pasar ini terlihat tenang. Para penjual hanya menyunggingkan senyum dan menyambut dengan kata-kata ramah, “selamat datang Pak!” 

Para pembeli menjadi banyak dan ingin berlama-lama sehingga harus berdesak-desakkan di antara meja-meja jualan yang lebarnya kurang dari serentangan tangan. Bukan karena tawar-menawar yang berlangsung alot. Bukan karena kehati-hatian dalam memilih ikan yang segar dan sehat. Mereka dan saya hanya tercengang dan terpukau dengan para penjual yang cacat itu. Selain  tawar menawar barang jualan, pembeli ingin bercakap-cakap lebih lama dan mendengar hiburan musik dari panggung di salah satu sudut pasar itu.Beberapa orang cacat dikhususkan untuk menghibur pembeli.

Lagipula bukan hanya merasa nyaman, kami merasa aman di sana. Tak ada pria-pria bertato, menatap tajam yang dibuat-buat, dan mata yang memerah seperti di pasar-pasar umum. Dompet dapat dibuka tanpa harus menoleh kanan-kiri seolah-olah memastikan ada yang dicurigai atau tidak di sekitar. Ah barangkali ini juga daya tarik pasar ini, sehingga selalu saja ada pengunjung berwajah asing seperti saya yang ingin berlama-lama.

Menjelang tengah hari, para pengunjung dikejutkan dengan kedatangan beberapa mobil pick up. Berkarung-karung sayur tersusun menumpuk di bak belakang. Juga tong-tong besar untuk menyimpan ikan. Beberapa menit kemudian, beberapa orang berbadan kekar dengan wajah tampak berminyak karena keringat turun dari mobil. Dengan sigap mereka memikul karung-karung itu dan memindahkan tong-tong tersebut menuju ke sebuah gudang besar di ujung pasar. Lalu dari gudang itu, beberapa orang tuli mendistribusikan ke beberapa meja-meja jualan. Semua terjadi begitu cepat, terorganisir, dan rapi. Baru saja saya ingin mendekati mereka untuk bertanya-tanya, mereka sudah lenyap dari pandangan bersamaan dengan perginya mobil-mobil berbak terbuka tersebut. Mereka menghilang di  belokan keluar dari gerbang pasar.

Keramaian terjadi lagi saat seseorang memasuki pasar. Ia berjalan sendirian, hanya mengenakan baju kemeja kotak-kotak dan celana panjang kain. Saat muncul di pasar ia langsung disambut dengan tepuk tangan meriah dari para penjual. Sedangkan beberapa orang yang bertangan buntung terpaksa hanya mampu bersiul-siul yang membuat pasar bertambah gemuruh dan ribut. Ia melambaikan tangan ke sana- kemari dan mulai berjalan mengelilingi meja-meja jualan layaknya seorang pembeli.“Selamat pagi Pak!”  sapa penjual.  Orang-orang buta  turut menegur karena menyadari kehadirannya di dekat mereka. Kali ini mereka lebih ramah dan lebih antusias walaupun orang itu tampaknya tidak cukup nyaman diperlakukan begitu. Tiap kali ia melintasi meja-meja jualan, para penjual di pasar tampak menunduk disertai sedikit anggukan kecil. 

Saya memperhatikannya dengan takzim tatkala penampilan orang itu tak sebanding dengan penghargaan yang diberikan para penjual. Lalu saya pun hanya turut menundukkan kepala saat ia melintasi celah sempit depanku. Ia membalas dengan senyum ramah bahkan dengan sedikit membungkuk badannya.  Lalu ia pergi dari pasar itu. Sekali lagi diiringi tepukan meriah dari para penghuni pasar walaupun bahasa tubuhnya seolah tak menghendaki disorak-sorai semeriah itu. 

“Siapa dia?”  tanya saya.

“Dia yang pemimpin terpilih di sini baru-baru ini.”  

“Dia yang memulai pasar ini?”  Saya ingin mengurangi rasa penasaran yang menyesakku.

“Iya Mas. Aku masih ingat dulu saat pembukaan pasar ini, dia bilang penjara pikiran itu lebih serem dari penjara fisik hahahaha.....” ujar seorang buta, penjual tempe dengan enteng. Terdengar seperti hinaan daripada sebuah jawaban yang memuaskan. 

Kemudian ia bercerita tentang  kehidupannya sebelum duduk tenang di pasar. Hari-hari ia hanya jalan luntang-lantung sepanjang pertokoan kota, lorong-lorong gelap dan jorok, dan tempat-tempat ramai. Menengadah tangan kepada tiap orang lewat dalam pakaiannya yang dekil dan compang-camping. Namun rejeki tak selalu mengalir seperti air. 

“Sudah banyak yang pura-pura buta juga sekarang Mas. Ngemis pun punya banyak pesaing.“

Namun di bawah sengatan mentari yang seperti tusukan jarum pada suatu pagi, ia terkejut dengan teguran seseorang. “Selamat pagi! Nama kamu siapa?” suara pria itu terdengar di antara langkah kaki orang-orang yang di pinggiran sebuah jalan. Dipikirnya, barangkali suara itu datang dari percakapan di antara orang-orang yang terburu-buru ke kantor, kampus, sekolah pagi itu yang biasanya berpenampilan neces, sepatu mengkilat, rambut basah, wajah bersinar cerah. Meskipun orang-orang di kota ini tidak bisa menyembunyikan kecemasan mereka akan kemacetan, karir, pekerjaan kantor yang menumpuk, dan masa depan yang cerah. Suara itu terdengar samar di antara kegaduhan suara kendaraan bermotor yang berdesak-desakkan tiap pagi untuk merebut tiap ruang kosong demi menjadi yang terdahulu.

Ia pura-pura mengabaikannya. Kerutan dahinya saat itumenandakan ia tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Sedangkan senyum cengirnya seolah mengejek dirinya yang sedang bermimpi pagi-pagi. “Kamu sudah bosan jadi pengemis?” Diingatnya lagi pertanyaan itu. Ia lekas tertawa lepas mendengar pertanyaan konyol itu sekaligus menyembunyikan kegeramannya yang sudah bosan menjadi pengemis. Singkat cerita, kejadian pagi itulah yang membawa ia ke pasar itu. Sekarang  ia tak lagi mengemis di jalanan tiap pagi. Ia hanya datang ke pasar. Lalu ia tak memikirkan uang makan. Semuanya sudah disediakan. Menjelang sore ia pulang ke asrama yang sudah disediakan.

 “Meskipun aku tidak bisa melihat, aku merasa berharga sudah dapat  berbuat sesuatu saat ini. Aku bisa memberikan dari kekuranganku” ujarnya. Setelah beberapa minggu di pasar, ia mulai  paham bahwa seluruh penjual di sana adalah orang-orang yang senasib dengan dirinya. Duduk bersama di pasar sebagai penjual adalah penghargaan tertinggi yang diraih oleh mereka. Sekarang  mereka bisa tersenyum bahagia saat melayani pembeli. Bukan senyum strategis demi penaklukan para pembeli.  

Sebelumnya penghuni-penghuni pasar adalah orang-orang yang berbadan kekar, bertato, anak-anak jalanan, perempuan-perempuan yang punya naluri berbisnis yang tinggi dan menguasai teknik-teknik mencari untung dari yang paling jujur sampai yang terburuk. Namun pasar acapkali sepi dengan pembeli. Mereka lalu berjudi untuk membunuh rasa gusar dalam menunggu. Pasar makin sepi ketika  setelah kalah berjudi tingkah mereka lebih menyerupai preman ketimbang penjual yang ramah. Tingkah buruk penghuni pasar itu akhirnya tersebar cepat dari mulut ke mulut.

Lalu suatu hari datanglah  laki-laki itu. Sudah seharusnya ia bisa menjebloskan mereka ke penjara, ia tidak melakukannya. Ia datang bercakap-cakap dalam sebuah acara makan bersama. “Kami berjudi karena menanti pembeli datang. Menunggu adalah pekerjaan membosankan.” keluh mereka kepadanya. Lalu ia menawarkan solusi baru kepada mereka. Semenjak itu, mereka tidak lagi tinggal di pasar. Tenaga-tenaga mereka yang masih produktif  mulai menggarap tanah yang disediakan pemerintah. Mereka mulai berkebun, menanam sayur-sayuran, dan beternak. Selanjutnya, hasil panenannya dijual di pasar oleh orang-orang cacat. Pendapatan mereka bertambah. Sebab mereka tidak hanya mendapat dari selisih pembelian dan penjualan lagi, tetapi mereka sendiri adalah produsennya. Beberapa persen dari pendapatan diberikan untuk mengakomodasikan kehidupan orang-orang cacat. Begitulah kerja sama baru itu berlangsung.

****

Matahari mulai berwarna jingga di ufuk barat di langit yang tak tertutup awan sore itu. Waktu buka pasar hampir selesai. Hanya beberapa pembeli sedang mondar-mandir. Beberapa menit kemudian saya terkejut dengan kedatangan sekelompok orang. Menghambur ke beberapa sudut pasar. Dengan sigap mereka membersihkan sampah dan menyapu lantai dalam pasar. Dalam balutan baju kemeja yang berjurai panjang hingga ke lutut, mereka tampak asing. Tidak mungkin mereka petugas kebersihan.

Rasa ingin tahu mendorongku untuk melirik tulisan di belakang jaket mereka. Saya hampir terperanjat. “TAHANAN KPK” , dicetak dalam ukuran  besar hingga tak perlu melebarkan mata untuk membacanya dari kejauhan di sore yang agak redup itu. Raut wajah saya yang terkejut menjadi undangan bagi reaksi dari para penjual di situ. Mereka tertawa berderai panjang  seolah mengatakan  bahwa para koruptor itu juga orang cacat yang lebih baik membersihkan sampah, daripada menghabiskan masa tahanannya di penjara. Suara tertawa itu pun terus bergelombang dan bergema berkali-kali dalam pikiranku. Saya merasa semua orang di pasar melihat ke arah saya. Mereka mentertawakan saya dengan riangnya seolah-olah mengatakan bahwa semua orang dalam pasar adalah cacat, termasuk saya. Saya tersadar, “ide cerita ini memang ganjil.” 









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text