Pages

Ads 468x60px

Minggu, 28 September 2014

Cerita Rakyat: RIP Demokrasi?

Dini hari tadi. Pemilihan tak langsung sudah ditetapkan.

Rakyat Berkabung. Rakyat langsung mati gaya. Haknya terenggut. Barangkali artis-artis dangdut lebih berduka, galau tingkat tinggi. Panggung bergoyang di masa depan semakin berkurang.

Satu-satunya yang tertawa paling besar adalah Prabowo. Semenjak dikalahkan oleh putusan MK, ia baru tertawa terbahak-bahak lagi. Barangkali ia senyum-senyum sendiri sambil menyeruput kopi. Ia merasa menang.



Menang? Ya, mungkin menang. Sejak mengikuti pemilu 2014, ia menyamakan pertarungan pemilu seperti medan perang. Mundur berarti kalah. Apalagi mengakui kekalahan.

"Kita berjuang harus habis-habisan.” katanya. Sudah beberapa ia memang gagal dalam pemilu sebelumnya. Ucapannya itu, kalau dalam dunia militer kira-kira begini,”berjuang harus sampai titik (darah) penghabisan."

Karena dianggap medan perang tak heran nada bicaranya kasar dan keras menggelegar bak bunyi guntur. Ia benar-benar menyerupai pemimpin perang di medan tempur. Berkoar sana-sini di hadapan pasukkannya.

Di hadapannya, Tantowi Yahya, seorang anggota pasukan yang setia dan sering nongol di TV sebagai juru bicara koalisi Merah Putih akhir-akhir ini, hanya termangu-mangu mendengarnya. Taat buta. “Kecerdasannya” dulu sewaktu menjadi host kuis milioner yang acapkali membuat hati pemirsa ketar-ketir, kini dimanfaatkan lagi. Ia tersenyum santai. Bicaranya tenang. Suaranya merdunya sebagai penyanyi lagu-lagu country yang menyanyikan lagu, “hutan belantara banyak tersebar di nusantara, semua harta yang yang tak terkira..nusantara..(kalau tidak salah)” kini terdengar lebih merdu.

Ingat! Waktu itu ia hanya seorang pembawa acara. Sudah pasti ia tak lebih pintar dari orang-orang yang diujinya dalam kuis milioner. Dia hanya dibayar. Pasti mahal. Tapi sekarang ia sudah merapat ke Senayan. Tidak mungkin kalau tidak ada tawaran yang lebih mahal. Iya, kan? Kalau tidak percaya, tanya saja teman senaungannya di bawah pohon beringin Setya Novanto yang dipilih rakyat NTT. Di bawah pohon rindang itu, mereka bercakap-cakap dengan investor tambang. Rayuan hingga akhirnya membawa investor tambang sebanyak-banyaknya ke NTT. Pemberi ijin tambang di sana sudah senyum lebar-lebar hingga jidat menyempit. Jemari tangan sudah gatal pertanda siap terima uang banyak. Mungkin seperti di Tumbak, Manggarai Timur.

Intinya, Tantowi kebagian jatah. Bisa jadi melampaui gaji bulanan sebagai DPR atau tentunya jauh di atas penghasilan sewaktu jadi host. Semuanya itu terasa mulus kalau bupati dipilih DPRD.

Eh, Tunggu. Ataukah ini kisah Cinta dari PRABOWO?

"Kamu PHP banget sih," kata putri tuan ORBA pasca kekalahan pemilu kemarin. Gagal rujuk.

"Tenang sayang. Nanti kita lihat saja."

"Pokoknya aku tidak mau tahu. Sebelum menang, aku tidak mau dirujuk lagi." pinta gadis yang dimanja sejak kecil ini. Prabowo hanya batuk kecil. Ia diam

Pada dini hari tadi, ketika Prabowo hendak tidur, ada telpon masuk.

"Kamu hebat! Kapan kita urus ......"

"Sstt...." kata Prabowo memotong. "Jangan bicara soal itu ketika hari masih gelap. Kita masih ada waktu hari esok. Kita sudah punya banyak waktu untuk membahasnya hahaha..."

Ia tertawa lagi. Sebelum tidur, ia menatap dirinya dalam cermin. Lima belas menitan. Perutnya sudah membuncit. Muka sudah tampak keriput. Diraba-rabanya perlahan-lahan.

“Ah aku masih ganteng!” katanya menyakinkan diri. Lalu ia jatuh dalam tidur lelap dengan sebuah foto didekap di dadanya.

*****

Rakyat bangun pagi-pagi. Terperanjat saat mendengar RUU pilkada tak langsung disahkan. Saking kagetnya, biji-biji mata hampir saja melompat keluar, menguling di lantai.

Rakyat merasa kehilangan pagi-pagi. Pesta Demokrasi lenyap seperti seorang kekasih yang ditiduri bertahun-tahun tiba-tiba menghilang tanpa jejak pada saat ayam belum berkokok. Perasaan sakitnya ibarat hendak berangkat ke tempat kerja, tiba-tiba kunci sepeda motor hilang yang bikin gusar dan stress. Demikianlah apa yang dirasakan rakyat.

“Apa!!!! kok bisa??”

“Ini tidak mungkin.”

“DPR kampret.”

Walaupun sudah bangun dan matahari sudah meninggi, seorang teman FB menulis, “Ini mimpi buruk!”

Tak tahu bagaimana jalan ceritanya, semua rakyat pagi-pagi sudah bongkar-bangkir aplikasi facebook, twitter, youtube, dan lain-lain. Menggerutu tak karuan. Dan ditemukanlah seorang bernama SBY dan pasukannya.

SBY berasal dari dunia yang sama dengan Prabowo. Dunia loreng-loreng. Kalau Prabowo terkenal sangar dan ‘konon’ tangannya berdarah-darah di Timor Leste dan reformasi tahun 1999, SBY berada di balik meja. Jari telunjuknya sudah terbiasa “tunjuk-tunjuk’ peta atau papan strategi perang.
Tapi menurut cerita-cerita, SBY pernah dipukul Prabowo. Itu artinya, ia barangkali tak ada apa-apanya di mata Prabowo. Tapi sayangnya, Prabowo tak pandai bercitra. SBY-lah yang jadi pemimpin. Wajahnya manis ditambah dengan senyuman lebarnya, apalagi pandai bernyanyi ia sudah berhasil memikat hati rakyat selama sepuluh tahun. Hatinya amat melankolis. Air matanya jatuh saat menonton film “Ayat-Ayat Cinta.”

Tapi jangan salah sangka! seperti pizza yang disimpan dalam bungkusan berbentuk kotak , dan ternyata setelah dibuka berbentuk bulat, dan ketika dimakan harus dipotong seperti segitiga, demikianlah manusia. Tampilan dan kelakuan bisa berbanding terbalik dan beda-beda. Ingat Herodes! ia terpesona hanya karena tarian seorang anak kecil, sekaligus ia kejam memenggal kepala Yohanes demi sebuah permintaan gadis lugu itu.

Maka kali ini Prabowo yang suka memelihara kuda dan menunggang kuda, menggunakan SBY sebagai kuda tunggangannya, walaupun di markasnya sendiri SBY adalah raja. Tentu “kuda” ini lebih mahal dari kuda tunggangan lainnya semasa kampanye yang bernilai miliaran itu. Ia lebih pandai mengatur drama. Tak seperti Prabowo yang sudah tak bisa memoles-moles lagi.

Sebagaimana kuda dalam permainan catur yang harus melangkah tiga langkah lurus ke depan dan tiba-tiba berbelok samping (kiri/kanan) satu langkah, demikianlah karakter si Raja di markasnya. Ia membingungkan pasukannya. Semalam anak buahnya walk out. Katanya disuruh sang Raja ini. Tapi pagi-pagi si Raja tampak marah. Ia tak pernah memerintah anak buahnya.

Lalu seorang pasukannya, Ruhut Sitompul yang berperan seperti peluncur , karena biasa berbicara blak-blakan, lurus-lurus, tiba-tiba berkata, “ Max Sopacua mendapat sms dari SBY untuk walk out.”

Mereka kebingungan. Apalagi sang jubir, Beny Harman Kabur. Yang hanya berperan sebagai pion. Berada paling depan tapi hanya bisa langkah satu-satu dan tak bisa melangkah mundur. Biasanya pion dan pelucur dijadikan korban duluan ketimbang benteng.
Benteng selalu dijaga mengampit raja sampai akhir pertandingan. Itulah Amir Syamsuddin. Tak seperti anggota lain dari F-PD yang berbondong-bondong seperti domba menuju jurang, ia tetap berada di dalam.

“Saya kecewa RUU pilkada tak langsung dimuluskan.” kata SBY berapi-api.

Teringat lagi kisah Raja Herodes. Menerima dengan ramah ketiga raja dari Timur yang datang menyembah raja baru. Kemudian dalam senyuman lebar ia berkata, “ setelah bertemu raja baru itu, singgahlah kemari. Aku juga ingin mengetahui dan akan menyembahnya.” Ternyata ia berhasrat membunuh raja yang baru lahir itu. Ketika tiga raja dari Timur tak pulang ke istananya, Ia lantas memerintahkan pasukkannya membunuh seluruh bayi-bayi yang baru lahir di Yerusalem.

Kali ini SBY seperti disebut-sebut dalam FB adalah Presiden Pilkada tak langsung. Ia pembunuh “bayi” demokrasi. Ranciere, seorang filsuf dari perancis memang melihat demokrasi seperti bayi yang dimandikan dalam baskom yang berair kotor. Demokrasi harus dirawat. Air yang kotor dibuang tapi jangan bayinya. Tidaklah demikian si Be Ye. Bayi demokrasi sudah ia buang dengan air-airnya demi kepentingan habitat politiknya yang hampir roboh.
Tapi ingat, ia hanyalah kuda tunggangan dari Prabowo.

*****

Pagi tadi, saya juga coba membuka FB. Kecewaan seolah merenggut nafas segar pagi-pagi. Namun untunglah sebuah tulisan teman menghiburku.
“Robohkan senayan. Dalam tiga hari Rakyat akan membangunkannya kembali.” tulisnya.

Dalam tiga hari? Mungkinkah? Bisa jadi. Mungkin Demokrasi yang hari ini mati saat kita tertidur lelap akan bangkit kembali dalam tiga hari ke depan. Saya semakin yakin tatkala menengok status dari teman FB ku yang kebetulan kukenal sebagai seorang sopir metromini 47.

“Siap parkir bus depan senayan. “ tulisnya. Inikah strategi bertahan ala Jose Mourinho. Meski tidak menarik, tapi seringkali ampuh.

Bus itu pernah kuingat dikerumuni seperti cairan madu oleh semut ketika beberapa kali kampanye di Jakarta. Meskipun mesinnya sudah berbunyi serak, ia masih laku keras. Ah mungkin saja semua rakyat berbicara dari kepentingannya dalam pesta demokrasi. Semua merasa kehilangan mulai dari lautan massa yang senang bergoyang, penyanyi dangdut, pencetak baju, banner, poster, pengusaha nasi kotak, dan lain sebagainya.

Jika benar bahwa tiga hari ke depan, rakyat juga mempertahankan kepentingannya dalam pesta demokrasi, saya hanya memperingatkan bahwa lawan kita adalah pemimpin perang dan pengatur taktik perang.

“Raise-lah in peace!”

Salam vox populi vox dei!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text