Dini hari tadi. Pemilihan tak langsung sudah ditetapkan.
Rakyat
Berkabung. Rakyat langsung mati gaya. Haknya terenggut. Barangkali
artis-artis dangdut lebih berduka, galau tingkat tinggi. Panggung
bergoyang di masa depan semakin berkurang.
Satu-satunya
yang tertawa paling besar adalah Prabowo. Semenjak dikalahkan oleh
putusan MK, ia baru tertawa terbahak-bahak lagi. Barangkali ia
senyum-senyum sendiri sambil menyeruput kopi. Ia merasa menang.
Menang?
Ya, mungkin menang. Sejak mengikuti pemilu 2014, ia menyamakan
pertarungan pemilu seperti medan perang. Mundur berarti kalah. Apalagi
mengakui kekalahan.
"Kita berjuang harus habis-habisan.”
katanya. Sudah beberapa ia memang gagal dalam pemilu sebelumnya.
Ucapannya itu, kalau dalam dunia militer kira-kira begini,”berjuang
harus sampai titik (darah) penghabisan."
Karena dianggap
medan perang tak heran nada bicaranya kasar dan keras menggelegar bak
bunyi guntur. Ia benar-benar menyerupai pemimpin perang di medan tempur.
Berkoar sana-sini di hadapan pasukkannya.
Di hadapannya,
Tantowi Yahya, seorang anggota pasukan yang setia dan sering nongol di
TV sebagai juru bicara koalisi Merah Putih akhir-akhir ini, hanya
termangu-mangu mendengarnya. Taat buta. “Kecerdasannya” dulu sewaktu
menjadi host kuis milioner yang acapkali membuat hati pemirsa
ketar-ketir, kini dimanfaatkan lagi. Ia tersenyum santai. Bicaranya
tenang. Suaranya merdunya sebagai penyanyi lagu-lagu country yang
menyanyikan lagu, “hutan belantara banyak tersebar di nusantara, semua
harta yang yang tak terkira..nusantara..(kalau tidak salah)” kini
terdengar lebih merdu.
Ingat! Waktu itu ia hanya seorang
pembawa acara. Sudah pasti ia tak lebih pintar dari orang-orang yang
diujinya dalam kuis milioner. Dia hanya dibayar. Pasti mahal. Tapi
sekarang ia sudah merapat ke Senayan. Tidak mungkin kalau tidak ada
tawaran yang lebih mahal. Iya, kan? Kalau tidak percaya, tanya saja
teman senaungannya di bawah pohon beringin Setya Novanto yang dipilih
rakyat NTT. Di bawah pohon rindang itu, mereka bercakap-cakap dengan
investor tambang. Rayuan hingga akhirnya membawa investor tambang
sebanyak-banyaknya ke NTT. Pemberi ijin tambang di sana sudah senyum
lebar-lebar hingga jidat menyempit. Jemari tangan sudah gatal pertanda
siap terima uang banyak. Mungkin seperti di Tumbak, Manggarai Timur.
Intinya,
Tantowi kebagian jatah. Bisa jadi melampaui gaji bulanan sebagai DPR
atau tentunya jauh di atas penghasilan sewaktu jadi host. Semuanya itu
terasa mulus kalau bupati dipilih DPRD.
Eh, Tunggu. Ataukah ini kisah Cinta dari PRABOWO?
"Kamu PHP banget sih," kata putri tuan ORBA pasca kekalahan pemilu kemarin. Gagal rujuk.
"Tenang sayang. Nanti kita lihat saja."
"Pokoknya
aku tidak mau tahu. Sebelum menang, aku tidak mau dirujuk lagi." pinta
gadis yang dimanja sejak kecil ini. Prabowo hanya batuk kecil. Ia diam
Pada dini hari tadi, ketika Prabowo hendak tidur, ada telpon masuk.
"Kamu hebat! Kapan kita urus ......"
"Sstt...."
kata Prabowo memotong. "Jangan bicara soal itu ketika hari masih gelap.
Kita masih ada waktu hari esok. Kita sudah punya banyak waktu untuk
membahasnya hahaha..."
Ia tertawa lagi. Sebelum tidur, ia
menatap dirinya dalam cermin. Lima belas menitan. Perutnya sudah
membuncit. Muka sudah tampak keriput. Diraba-rabanya perlahan-lahan.
“Ah aku masih ganteng!” katanya menyakinkan diri. Lalu ia jatuh dalam tidur lelap dengan sebuah foto didekap di dadanya.
*****
Rakyat
bangun pagi-pagi. Terperanjat saat mendengar RUU pilkada tak langsung
disahkan. Saking kagetnya, biji-biji mata hampir saja melompat keluar,
menguling di lantai.
Rakyat merasa kehilangan pagi-pagi.
Pesta Demokrasi lenyap seperti seorang kekasih yang ditiduri
bertahun-tahun tiba-tiba menghilang tanpa jejak pada saat ayam belum
berkokok. Perasaan sakitnya ibarat hendak berangkat ke tempat kerja,
tiba-tiba kunci sepeda motor hilang yang bikin gusar dan stress.
Demikianlah apa yang dirasakan rakyat.
“Apa!!!! kok bisa??”
“Ini tidak mungkin.”
“DPR kampret.”
Walaupun sudah bangun dan matahari sudah meninggi, seorang teman FB menulis, “Ini mimpi buruk!”
Tak
tahu bagaimana jalan ceritanya, semua rakyat pagi-pagi sudah
bongkar-bangkir aplikasi facebook, twitter, youtube, dan lain-lain.
Menggerutu tak karuan. Dan ditemukanlah seorang bernama SBY dan
pasukannya.
SBY berasal dari dunia yang sama dengan
Prabowo. Dunia loreng-loreng. Kalau Prabowo terkenal sangar dan ‘konon’
tangannya berdarah-darah di Timor Leste dan reformasi tahun 1999, SBY
berada di balik meja. Jari telunjuknya sudah terbiasa “tunjuk-tunjuk’
peta atau papan strategi perang.
Tapi menurut cerita-cerita, SBY
pernah dipukul Prabowo. Itu artinya, ia barangkali tak ada apa-apanya di
mata Prabowo. Tapi sayangnya, Prabowo tak pandai bercitra. SBY-lah yang
jadi pemimpin. Wajahnya manis ditambah dengan senyuman lebarnya,
apalagi pandai bernyanyi ia sudah berhasil memikat hati rakyat selama
sepuluh tahun. Hatinya amat melankolis. Air matanya jatuh saat menonton
film “Ayat-Ayat Cinta.”
Tapi jangan salah sangka! seperti
pizza yang disimpan dalam bungkusan berbentuk kotak , dan ternyata
setelah dibuka berbentuk bulat, dan ketika dimakan harus dipotong
seperti segitiga, demikianlah manusia. Tampilan dan kelakuan bisa
berbanding terbalik dan beda-beda. Ingat Herodes! ia terpesona hanya
karena tarian seorang anak kecil, sekaligus ia kejam memenggal kepala
Yohanes demi sebuah permintaan gadis lugu itu.
Maka kali
ini Prabowo yang suka memelihara kuda dan menunggang kuda, menggunakan
SBY sebagai kuda tunggangannya, walaupun di markasnya sendiri SBY adalah
raja. Tentu “kuda” ini lebih mahal dari kuda tunggangan lainnya semasa
kampanye yang bernilai miliaran itu. Ia lebih pandai mengatur drama. Tak
seperti Prabowo yang sudah tak bisa memoles-moles lagi.
Sebagaimana
kuda dalam permainan catur yang harus melangkah tiga langkah lurus ke
depan dan tiba-tiba berbelok samping (kiri/kanan) satu langkah,
demikianlah karakter si Raja di markasnya. Ia membingungkan pasukannya.
Semalam anak buahnya walk out. Katanya disuruh sang Raja ini. Tapi
pagi-pagi si Raja tampak marah. Ia tak pernah memerintah anak buahnya.
Lalu
seorang pasukannya, Ruhut Sitompul yang berperan seperti peluncur ,
karena biasa berbicara blak-blakan, lurus-lurus, tiba-tiba berkata, “
Max Sopacua mendapat sms dari SBY untuk walk out.”
Mereka
kebingungan. Apalagi sang jubir, Beny Harman Kabur. Yang hanya berperan
sebagai pion. Berada paling depan tapi hanya bisa langkah satu-satu dan
tak bisa melangkah mundur. Biasanya pion dan pelucur dijadikan korban
duluan ketimbang benteng.
Benteng selalu dijaga mengampit raja
sampai akhir pertandingan. Itulah Amir Syamsuddin. Tak seperti anggota
lain dari F-PD yang berbondong-bondong seperti domba menuju jurang, ia
tetap berada di dalam.
“Saya kecewa RUU pilkada tak langsung dimuluskan.” kata SBY berapi-api.
Teringat
lagi kisah Raja Herodes. Menerima dengan ramah ketiga raja dari Timur
yang datang menyembah raja baru. Kemudian dalam senyuman lebar ia
berkata, “ setelah bertemu raja baru itu, singgahlah kemari. Aku juga
ingin mengetahui dan akan menyembahnya.” Ternyata ia berhasrat membunuh
raja yang baru lahir itu. Ketika tiga raja dari Timur tak pulang ke
istananya, Ia lantas memerintahkan pasukkannya membunuh seluruh
bayi-bayi yang baru lahir di Yerusalem.
Kali ini SBY
seperti disebut-sebut dalam FB adalah Presiden Pilkada tak langsung. Ia
pembunuh “bayi” demokrasi. Ranciere, seorang filsuf dari perancis memang
melihat demokrasi seperti bayi yang dimandikan dalam baskom yang berair
kotor. Demokrasi harus dirawat. Air yang kotor dibuang tapi jangan
bayinya. Tidaklah demikian si Be Ye. Bayi demokrasi sudah ia buang
dengan air-airnya demi kepentingan habitat politiknya yang hampir roboh.
Tapi ingat, ia hanyalah kuda tunggangan dari Prabowo.
*****
Pagi
tadi, saya juga coba membuka FB. Kecewaan seolah merenggut nafas segar
pagi-pagi. Namun untunglah sebuah tulisan teman menghiburku.
“Robohkan senayan. Dalam tiga hari Rakyat akan membangunkannya kembali.” tulisnya.
Dalam
tiga hari? Mungkinkah? Bisa jadi. Mungkin Demokrasi yang hari ini mati
saat kita tertidur lelap akan bangkit kembali dalam tiga hari ke depan.
Saya semakin yakin tatkala menengok status dari teman FB ku yang
kebetulan kukenal sebagai seorang sopir metromini 47.
“Siap
parkir bus depan senayan. “ tulisnya. Inikah strategi bertahan ala Jose
Mourinho. Meski tidak menarik, tapi seringkali ampuh.
Bus
itu pernah kuingat dikerumuni seperti cairan madu oleh semut ketika
beberapa kali kampanye di Jakarta. Meskipun mesinnya sudah berbunyi
serak, ia masih laku keras. Ah mungkin saja semua rakyat berbicara dari
kepentingannya dalam pesta demokrasi. Semua merasa kehilangan mulai dari
lautan massa yang senang bergoyang, penyanyi dangdut, pencetak baju,
banner, poster, pengusaha nasi kotak, dan lain sebagainya.
Jika
benar bahwa tiga hari ke depan, rakyat juga mempertahankan
kepentingannya dalam pesta demokrasi, saya hanya memperingatkan bahwa
lawan kita adalah pemimpin perang dan pengatur taktik perang.
“Raise-lah in peace!”
Salam vox populi vox dei!
Rahmat
-
Dua malaikat sedang melakukan perjalanan. Ketika malam tiba, mereka
berhenti dan bermaksud menginap di sebuah rumah milik keluarga kaya. Keluarga
itu s...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar