Siapa yang tak mengenal kelompok Front Pembela Islam (FPI)?
Belakangan
ini saya merasa semakin mudah mendefinisikan identitas kelompok garis
keras yang masih eksis ini di tengah sikap pemerintah yang permisif di
zaman reformasi dan antipati masyarakat yang terus meningkat.
FPI
muncul ke permukaan pasca kejatuhan Soeharto. Seiring dibukanya pintu
kebebasan berpendapat dan berorganisasi di era reformasi, organisasi
dengan apapun visinya tumbuh bak jamur. Akibat kanal-kanal komunikasi di
ruang publik yang dibuka seluas-luasnya itu, kita sebetulnya tidak bisa
menyalahkan FPI karena ideologi-ideologi yang radikal. Kelompok radikal
seperti ini memang sudah mendapat wadahnya dalam demokrasi.
Namun
sungguh disayangkan kalau FPI terlampau memanfaatkan iklim kebebasan
dalam demokrasi. Demokrasi tidak sekadar ruang kebebasan tanpa batas.
Kebebasan tersebut tidak tampak chaos belaka, tetapi ada nilai-nilai dasar yang mengarahkan kepada suatu tatanan.
Demokrasi
di zaman reformasi ibarat kesepakatan harga di pasar bebas. Semua
pelaku tindakan sosial di pasar bertransaksi untuk mencapai suatu
kesepakatan harga. Ciri dari pasar bebas adalah kekuatan permintaan dan
penawaran dengan meminimalisir intervensi pemerintah. Walaupun ada
situasi kebebasan, tapi ada nilai-nilai yang hadir secara terselubung
mengomandoi tindakan para pelaku di dalamnya.
Lantas,
bagaimanakah masyarakat menilai kekuatan penawaran FPI di antara para
pelaku tindakan sosial lain di tengah absennya pemerintah?
Sebagaimana
dikatakan Jacques Ranciere, filsuf kontemporer Perancis, meskipun ada
potensi anarki dalam keleluasaan demokrasi seperti yang ditakutkan oleh
Platon demokrasi itu tetap harus dirawat dengan setia. Sebab
kesemrawutan tersebut akan berjalan menuju suatu tatanan yang kita
impikan.
Terlepas dari apa intensi pemerintah membiarkan
kelompok garis keras ini tetap eksis, masyarakat sendiri berkat pelbagai
diskursus di media massa dan sosial sudah mulai berjalan menuju suatu
kematangan berpikir dan mampu memperjuangkan nilai-nilai penting dalam
demokrasi seperti kesetaraan dan keadilan.
Dengan
demikian, FPI dipandang tidak lebih dari kekuatan yang justru menajamkan
pengertian kita tentang hidup dalam alam demokrasi. Kelompok ini adalah
anti-tesis yang mentransendensi kesadaran kita kepada pemahaman baru
tentang keindonesiaan. Dikotomi mayoritas-minoritas tidak lagi berlaku.
Hak-hak sebagai warga negara lebih diperhitungkan dan dikedepankan. Maka
tak heran jika FPI mendapat penolakan dimana-mana yang dimobilisasi
oleh kekuatan masyarakat sendiri.
Posisi Tawar yang Lemah
Penolakan
terhadap FPI menunjukkan bahwa daya tawar ideologisnya lemah sehingga
tak diminati. Menggunakan atribut agama Islam di negara bermayoritas
penduduk muslim ini tak menjamin mereka diterima.
Kesewenang-wenangan
penafsiran tentang agama Islam adalah alasan pertama atas penolakan
tersebut. Ada kecurigaan bahwa lambang-lambang keagamaan ditafsir secara
intrumentalis demi kepentingan ekonomi, politik, dan sosial dari
kelompok ini. Masyarakat kian kritis untuk melihat arah dinamika
tersebut.
Selain itu, FPI dapat diartikan sebagai
sekelompok manusia ideologis yang melihat segala sesuatu dari kaca mata
agama. Mereka sungguh keliru. Agama Islam di Indonesia seperti
agama-agama lain bertumbuh bersamaan dengan budaya, adat istiadat, dan
dinamika kehidupan masyarakat dan suku-suku setempat sedemikian sehingga
mempunyai karakteristik yang khas. Islam di Indonesia dalam pengertian
tertentu sudah berbeda dari Islam yang berkembang di Timur Tengah.
Apalagi
pengaruh budaya di Indonesia tidak bisa ditundukkan dengan mudah oleh
pengaruh agama. Pengaruh budaya masih sangat kental. Dengan kata lain
cara melihat dari perseptif keagamaan hanyalah salah satu dari sekian
banyak kaca mata yang kita pakai dalam relasi sosial.
Pengalaman
saya di Flores dimana kerukunan beragama selalu terjaga dengan baik
adalah contohnya. Hal itu dikarenakan setiap kali ada acara budaya, kami
tidak melihat keluarga muslim karena agamanya, tetapi lebih dilihat
sebagai orang Manggarai yang berbudaya sama. Dengan berkelindan erat
satu sama lain antara ikatan budaya dan agama membuat kami sulit
diprovokasi oleh simbol-simbol keagamaan saja. Saya kira hal ini juga
terjadi di tempat lain.
Tanda bahwa isu agama tidak mudah
dipolitisasi adalah reaksi masyarakat terhadap protes FPI untuk
pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI yang mengatasnamakan agama.
Semakin banyak yang justru berbalik menyerang FPI. Hujatan dan kritikan
terhadap FPI memenuhi ruang-ruang diskusi di dunia maya. Itu pertanda
bahwa masyarakat menjadi kian rasional untuk menilai dinamika demokrasi.
Meski
tak terorganisir secara nyata, masyarakat pada umumnya di Indonesia
perlahan-lahan membentuk “Front Pembela Indonesia.” Bukan membela soal
mayoritas atau minoritas lagi, melainkan hak-hak sebagai sesama warga
negara dalam bingkai keindonesiaan.
Rahmat
-
Dua malaikat sedang melakukan perjalanan. Ketika malam tiba, mereka
berhenti dan bermaksud menginap di sebuah rumah milik keluarga kaya. Keluarga
itu s...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar