Sebuah petisi tentang “skandal” uskup Ruteng, Mgr. Hubert Leteng, Pr
baru-baru ini cukup mengagetkan. Pihak keuskupan mengklarifikasi bahwa
informasi itu tidak benar adanya. Lantas apakah persoalan sudah
selesai?
Saya sendiri tetap menangkap suatu
kejanggalan tatkala reaksi beberapa orang menjadi tak wajar. Dikatakan
tidak wajar apabila hanya sekadar fokus pada soal klarifikasi fakta dan
merasa terganggu kalau isu ini terus dibahas karena seolah-olah dapat
mengancam iman umat beriman.
Peristiwa
demikian justru menjadi momen terbaik merefleksikan iman kalau kita mau
bertanya, apakah adanya peristiwa demikian mengganggu iman kita kepada
Kristus melalui Gereja seandainya apa yang diutarakan dalam petisi
tersebut “benar-benar” terjadi atau akan terjadi dengan pemeran yang
berbeda pada masa mendatang?
Pertanyaan Dasar
Beberapa kasus sebelumnya yang melibatkan para klerus membuat pikiran
saya terbuka. Pelanggaran nilai-nilai moral oleh kaum klerus tidak lagi
begitu mengejutkan, apalagi harus ditutup-tutupi.
Pada tahun lalu di Maumere, kasus pembunuhan bayi dan ibu oleh seorang
mantan pastor bernama Herman Jumat terungkap. Hal itu memberikan kesan
bahwa tindak kejahatan moral bukan lagi sesuatu yang mustahil dilakukan
kaum rohaniwan. Apalagi soal skandal seks yang sudah semacam bayangan
yang selalu mengikuti kehidupan kaum selibat.
Apabila menengok berita-berita dari belahan dunia lain, kita tak
seharusnya kaget. Mantan uskup, Fernando Lugo yang menjadi presiden
Paraguay pada 2008 tersandera oleh skandal. Semasih menjadi uskup ia
mempunyai istri dan anak. Kasus pedofilia juga marak terjadi di Amerika
serikat dan Eropa. Apalagi kalau menengok lebih jauh kebelakang, pada
abad pertengahan, perilaku kaum religius termasuk Paus membuat kita
risih membacanya.
Sebetulnya semua skandal itu
adalah masalah yang harus ditanggapi dan direfleksikan. Akan tetapi
keengganan kita untuk berbicara terang-terangan karena beranggapan itu
sebagai sebuah ancaman iman adalah juga sebuah persoalan serius.
Salah satu jawaban yang mungkin dari keengganan kita itu adalah kita
belum menyentuh pertanyaan dasar dalam kehidupan beriman, “mengapa kita
perlu beriman kepada Allah?”
Mengapa Harus Beriman?
Beriman
berbeda dari beragama. Beriman adalah hasrat dasar manusia. Beragama
adalah cara-cara untuk menjawabi hasrat itu. Beriman berada pada level
metafisis dan kegiatan keagamaan adalah praktikal.
Beriman kepada Allah merupakan suatu jawaban dari kerinduan dasariah
manusia akan makna hidup. Hakikat manusia adalah makluk rasional. Cepat
atau lambat, ia akan bertanya, “kemanakah arah hidupku?” dan
“darimanakah saya berasal?”. Entah para ateis, kaum beragama, ilmuwan,
maupun penduduk di suku-suku terpencil akan berhadapan dengan tantangan
dasar yang sama.
Berhadapan dengan pertanyaan
tersebut, umat beragama dan suku-suku primitif cukup dimanja. Tak perlu
harus mencari-cari, pertanyaan demikian sudah terjawab dalam Kitab Suci
agama masing-masing atau dalam mitos-mitos. Agama-agama samawi percaya
bahwa Allah adalah asal dan tujuan hidup manusia.
Tentang keberadaan Allah itu, kitab suci bukanlah sumber satu-satunya.
Melalui beberapa langkah penalaran logis, filsafat sudah coba memberikan
definisi rasional tentang Allah. Allah, misalnya dianggap sebagai prima causa,
penggerak akhir yang tak digerakkan oleh penggerak yang lain.
Keberadaan Allah dapat diketahui dari ilustrasi sederet gerbong kereta
yang menarik satu oleh yang lain. Pada titik ujung dari rangkaian itu
ada lokomotif yang bergerak karena kemampuannya sendiri.
Begitupun hubungan kausalitas dalam duniawi ini. Jika terus ditelusuri
ke belakang, kita harus menerima bahwa ada suatu realitas yang tak
diciptakan oleh sesuatu yang lain kecuali oleh dirinya sendiri. Tanpa
harus dibuktikan secara empiris, penalaran demikian harus diterima.
Kalau tidak, kita tidak akan berhenti bertanya. Selain itu, tuntutan
dari sudut epistemologis, kita juga harus mampu membangun suatu landasan
bagi pengetahuan. Tidak bisa jatuh dalam sikap skeptis yang
terus-menerus.
Berhubung kepercayaan akan Allah
itu adalah rasional, kaum ateis dan kaum evolusionis menemukan
kesulitan. Di satu pihak, mereka tidak menerima Allah dan tidak mengakui
realitas transenden, di lain pihak mereka akan terus terdesak oleh
pertanyaan akan makna hidup.
Franz Magnis-Suseno dalam buku menalar tuhan
mengatakan bahwa kritikan para filsuf ateis pada zaman modern
sebetulnya tidak tepat sasaran. Sartre, Feuerbach, Nietzsche, Marx tidak
begitu dalam membahas apakah Allah ada atau tidak ada. Mereka justru
jatuh pada kritikan terhadap citra Allah yang digambarkan melalui
sikap-sikap gereja yang mengatasnamakan Allah saat itu.
Ambil contoh adalah Sartre. Ia mengatakan bahwa adanya Allah membuat
manusia tidak bebas. Ia menempatkan Allah pada level setara dengan
manusia sehingga membuat keduanya bersaing dan menjadikan manusia tidak
bebas. Allah adalah pribadi yang sempurna dan transenden, sementara
manusia masih berada kehendak untuk menjadi sempurna dan masih
berubah-ubah. Tentu Allah tidak punya kepentingan untuk menjadi
sempurna, sehingga harus mau bersaing dengan manusia. Namun kritikannya
tersebut dapat dipahami ketika melihat situasi gereja yang saat itu yang
terlampau menekan hidup umat beriman.
Sementara
itu, kaum evolusionis lebih menunjukkan pemikiran-pemikiran yang
menggelikan berhadapan dengan pertanyaan dasariah tersebut. Kita tidak
punya basis etika yang kuat ketika manusia hanya dianggap sebagai
makhluk “antara” yang mengantar kepada bentuk evolutif manusia
berikutnya melalui mekanisme persaingan. Kaya dan miskin, misalnya
adalah realitas yang harus diterima sebagai bagian dari persaingan.
Seolah kemiskinan tak seharusnya diretaskan. Pengemis tak seharusnya
ditolong sebab perasaan belaskasihan hanyalah hasil interaksi zat-zat
kimiawi dalam tubuh.
Kaum evolusionis mereduksi
semua perasaan dan pikiran pada pandangan materialisme. Padahal perasaan
dan pikiran merupakan sesuatu yang immaterial. Menolong orang
miskin adalah suatu dorongan untuk mencapai pengetahuan tertinggi yakni
keadilan sebagai kebutuhan dasar dari manusia yang haus akan
nilai-nilai. Atau otak, misalnya tidak sama dengan pikiran. Otak
hanyalah kondisi yang memungkin terjadinya proses berpikir.
Sebetulnya tendensi yang terlampau ilmiah
itu disebabkan oleh ambisi sains untuk melihat realitas dari kaca mata
sains semata-mata. Pada dunia keseluruhan hanya dapat dijelaskan
melalui kerja sama lintas disiplin ilmu seperti sains, agama, filsafat,
budaya, seni, dll.
Bertahan dalam Iman
Dengan
demikian, iman adalah kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk rasional.
Beriman tidak sekadar warisan orangtua atau nenek moyang.
Institusi keagamaan adalah suatu struktur yang mengakomodasi hasrat
kita berhadapan dengan pertanyaan bagaimana seharusnya menanggapi
pemahyuan Allah dalam kehidupan kita. Lagu, gambar, ritus, simbol dalam
liturgi keagamaan adalah instrumen mempertemukan hasrat hati kita dengan
realitas transenden. Dan melalui Kitab Suci kita belajar bagaimana
orang-orang dalam sejarah menanggapi pewahyuan realitas transenden
tersebut.
Namun institusi keagamaan masih
berada dalam ruang duniawi. Institusi agama tidak sempurna. Ia
berubah-ubah dan berkembang seturut dinamika sejarah manusia. Maka
kritikan adalah sesuatu yang perlu dan lumrah agar baju agama tetap
layak untuk dikenakan oleh makhluk beriman.
Persoalannya adalah acapkali kita tidak bisa membedakan beriman dan
beragama. Kelemahan dalam institusi keagamaan akhirnya membuat kita
menampik keterarahan dasar kita untuk beriman. Bahwa kita kecewa
terhadap berbagai skandal para imam, para uskup, dan lain sebagainya,
satu hal yang pasti adalah tidak boleh mengkianati diri kita sebagai
makhluk beriman.
Kita harus membedakan iman
sebagai sebuah kebutuhan dasar manusia dan penghayatan iman dalam baju
institusi agama yang disertai kelemahan-kelemahan manusiawi. Inilah yang
membuat kita harus semakin kritis dalam menanggapi isu-isu negatif
seputaran dinamika keagamaan.
Rahmat
-
Dua malaikat sedang melakukan perjalanan. Ketika malam tiba, mereka
berhenti dan bermaksud menginap di sebuah rumah milik keluarga kaya. Keluarga
itu s...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar