Pages

Ads 468x60px

Minggu, 02 November 2014

Catatan Perjalanan bersama Guru

Delapan hari menjelang usia 60 tahun pada tahun lalu, pria tersebut tersenyum lebar dan hatinya seolah disesaki kebahagiaan yang tak terkira. Saya menjadi cemburu ketika untuk kesekian kalinya ia terlampau sederhana melukiskan kebahagiaannya.

Sebagai seorang pegawai yang memasuki usia pensiun, bukan tunjangan pensiunan yang berlipat-lipat dari gaji pokok yang ia banggakan tapi ketika bapak ini melihat cucu pertamanya menjelang hari ulang tahunnya yang ke-60 itu. Ia mengatakan, “ini hadiah terbesar dari Tuhan untuk saya menjelang usia pensiun ini.” Kehadiran anak pertama dari kakak sulung pada 2 oktober 2013 itu dilukiskannya sebagai suatu kegembiraan yang melampaui perasaan senang setiap mendengar berita tentang kenaikan gaji yang tersiar lewat radio setiap perayaan 17 Agustus.



Dari perjalanan karirnya sebagai seorang guru di daerah terpencil, saya langsung paham mengapa ia begitu mengapresiasi sebuah pengalaman "kehadiran", melampaui apapun.

Digaji pas-pasan, bahkan pada era 1970-an, pernah terjadi gaji diterima setiap tiga bulan, kemudian jam mengajar yang padat karena harus mengajar enam kelas hanya oleh tiga guru, dan tinggal di sebuah rumah yang dilapisi papan yang lapuk dimakan rayap dan diterangi lampu petromax di daerah yang tak terjangkau kendaraan, ia  hanya berujar demikian, “ada kepuasan tersendiri melihat perkembangan anak-anak dari tahun ke tahun.”

Anak-anak yang ia maksud adalah teman-teman saya yang kebanyakan anak petani datang dari kampung yang terletak di balik beberapa bukit. Mereka datang pagi-pagi, melewati jalan setapak yang menanjak dengan kaki telanjang sejauh berkilo-kilo, dan setiba di sekolah, sambil menunggu giliran diajarkan, mereka bermain bola kaki di tanah miring yang dipaksakan menjadi lapangan sepak bola.  Dan beberapa di antara mereka, tinggal bersama kami di sebuah rumah karena alasan jarak yang cukup jauh.

Dari situlah saya memahami bahwa menjadi guru bukanlah terutama soal uang atau gaji. Bukan soal janji sertifikasi yang harus didapat melalui uji kompetensi sehingga seolah-olah harus diraih dengan susah payah. Menjadi guru, sebagaimana kata mother Theresa, cukup melakukan hal-hal sederhana dengan cinta yang besar,pengorbanan tanpa menuntut imbalan yang sepadan.

Bertahun-tahun ia dituntut untuk menjadi sabar dalam mengajarkan anak-anak yang masih segan melihat huruf-huruf alfabet seolah disuruh memegang mutiara yang tak seharusnya digenggam oleh seorang yang terbiasa bekerja di kebun dan di sawah. Ia harus setia mendampingi mereka untuk bisa membaca yang setahun saja rasanya tak cukup bagi anak-anak yang sehari-harinya hanya membuka buku saat di sekolah. Sepulang sekolah mereka sudah berada di kebun memegang parang dan cangkul.

Barangkali karena selalu ditantang untuk bersabar padahal manusia selalu punya batas kesabaran, suatu kali ia mencurahkan isi hatinya.  Katanya, “jangan menjadi guru. Kamu harus lebih dari saya. Guru adalah orang yang paling berdosa di dunia.” Diusut-usut, ternyata ia mengisahkan seorang anak di kelasnya. Sudah bertahun-tahun diajarkan membaca, teman saya itu tetap menganggap huruf-huruf  seperti burung elang yang tak pernah dijangkau oleh tembakan ketapelnya. Sudah dua kali ia duduk di kelas satu alias tahan kelas. Padahal ia jarang absen. Suatu ketika ia datang dan penuh ketulusan ia berujar, “Pak, tolong naikkan saya ke kelas dua. Saya hanya mau menerima komuni pertama. Setelah itu saya tidak akan sekolah lagi. Saya mau jadi petani.” Dengan berat hati dan harus merasa menanggung dosa, ia akhirnya menuliskan naik kelas di sebuah rapor berwarna merah.

Kekurangan finansial adalah juga bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan seorang guru di pedalaman. Tak harus menjaga gengsi dan segan, dia membuka kebun. Sepulang mengajar, setelah istirahat makan siang, kami menggarap tanah di belakang sekolah. Pisang, mangga, nangka ditanam. Sedangkan jagung dan padi menanti musim yang sesuai. Mencabut rumput, menggali lubang, membuat pagar adalah hal yang biasa dilakukan sepulang sekolah.  Malahan ketika bertani, pertukaran peran di kelas terjadi. Anak-anak itu mengajarkan banyak hal tentang pertanian. Saya dan dia hanya mengangguk dan terheran-heran melihat kegesitan dan jiwa kerja mereka.

Berhadapan dengan kondisi demikian, sekali waktu saya mengeluh, “kenapa kita tidak pindah saja?”  Kala itu kami tengah mendaki sebuah lereng bukit menuju kampung itu setelah melintasi sebuah sungai besar dengan sampan. Tiap kali memasuki tanjakan yang terjal itu, kuda-kuda saya yang belum kuat membuat saya harus dipikul. Kedua selangkangan saya mengapit tengkuknya sambil kedua tangan melingkari dahinya. Ditambah berat beras untuk makan satu minggu, kami berjalan perlahan-lahan sambil bercerita tentang Pondik, Timung Tee, Lanur, dan cerita rakyat lainnya. Sebelum SD, saya selalu menemaninya ke tempat tugas yang terletak di atas bukit. Letaknya jauh dari rumah dan ditempuh dengan jalan kaki setelah menyebrangi Wae Pesi dengan sampan.

Setengah menarik nafas lega ia menjawab, “mereka masih membutuhkan saya. Tak ada lagi  guru muda yang mau ditempatkan di sana. Nanti kekurangan guru.”  Seketika juga saya langsung mengkritisi diri. Tak jarang saya lebih suka mengkritisi kekurangan daripada merasa berharga karena dibutuhkan.  Barangkali tepat apa yang diungkapan Christoph Schonborn. “jangan mengutuki kekurangan karena kekurangan itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita.”  Dan dalam bahasa Santa theresa:” Mengadili atau menghakimi membuat kita kehilangan kesempatan berbuat kasih.”

Benar saja. Ia menikmati tinggal di sana di antara orang-orang yang membutuhkannya dan mengharapkan kehadirannya. Tak ada hiburan seperti TV tak berarti kami tak bahagia dan senang saat itu. Tiap sore kami kadang  berburu. Monyet, tikus, babi hutan, burung, ular, dan ulat gemuk yang bersembunyi di balik kayu-kayu tua, kami sudah pernah makan.  Bermodalkan gitar dan sebuah tape untuk kaset pita, musim selepas panen menjadi lebih ramai. Semua orang sering berkumpul di rumah. Moke diteguk hingga larut malam. Bernyanyi dan bergoyang bersama sering dilakukan.

Sering pula terjadi, pada waktu sore anak-anak kecil datang ke rumah. “tuang guru, bapa-mama undang makan malam di rumah?” kata mereka. Malamnya kami bertamu. Disuguhkan makanan dan minuman. Seringkali harus berakhir dengan mabuk berat. Ini sudah menjadi bagian dari dinamika kehidupan sosial. Hampir bergiliran penduduk di kampung mengundang kami. Akhirnya kami kenal mereka secara lebih dekat. Tentu saja kedekatan itu dikarenakan ia juga merangkap sebagai ketua dewan lingkungan. Tiap ada doa bersama atau ibadat hari minggu, ia seringkali menjadi pemimpin, termasuk ibadat kematian yang membuat saya ketakutan dan berjalan terbirit-birit seusai doa sewaktu pulang ke rumah yang jauhnya 3 km dari kampung, sendiri di tengah hutan.

Yang paling menyenangkan adalah apa yang terjadi beberapa tahun kemudian. Beberapa dari antara murid itu sudah menjadi pegawai dan berpendidikan tinggi. Dengan rasa hormat yang tak pernah berkurang, mereka mengunjungi kami sekeluarga. Kebaikan hati mereka seringkali menjadi penolong yang tiba-tiba hadir di setiap membutuhkan. Barangkali itulah kebahagiaan yang selalu terselip dari kisah seorang guru yang berada di kampung.

*****

Setahun lalu ia mulai pensiun. Setamat SPG (setara SMA), ia mulai mengajar di Wancang, kecamatan Cibal. Lalu berpindah ke Nempong dimana ia mengajar selama dua puluh satu tahun. Selama sepuluh tahun terakhir dari kurun waktu tersebut ia harus berangkat mengajar dari Nggorang, ketika keluarga sudah berpindah di Nggorang. Akibatnya, ia harus berangkat hari senin pagi-pagi dan pulang hari sabtu atau minggu pagi ke rumah. Selalu begitu. Sebelum masuk SD, saya selalu menemaninya, tinggal seminggu di sana. Nempong adalah sebuah kampung yang berada di atas puncak bukit. Sisanya sampai pesiun, ia berpindah mengajar di Nggorang, daerah dataran rendah. Faktor usia dan munculnya guru-guru baru, mantan murid-muridnya sendiri adalah alasan kepindahan itu.


Beberapa tahun lalu,  ketika berbicara tentang usia pensiunnya dan melihat bahwa ia dan mama terancam hidup sendirian lantaran anak-anak sudah tinggal terpisah-pisah, ia pernah berkata, "saya merindukan seorang anak kecil di rumah ini." Meski dalam nada canda, saya tetap menangkap maksud serius dari ucapannya. Menjelang usia pensiun dan tanpa dikarunia seorang cucu adalah kegelisahan tersendiri baginya. Ternyata, kerinduannya itu terpenuhi pada tahun lalu, tepat 8 hari sebelum ia merayakan ultah ke-60 dan harus pensiun. Ia sangat gembira, meskipun cucu pertama tidak tinggal dengan mereka.

Kini ia tinggal berdua dengan mama di rumah. Menghabiskan waktu berdua adalah semacam mengulang masa pacaran. Keduanya coba mengapresiasi kehadiran satu sama lain seintim pengalaman pacaran dan awal-awal pernikahan dulu. Tanpa gangguan anak-anak lagi. hehehe. Barangkali keduanya berkilas balik tentang pernikahan yang hanya dikenang lewat kata daripada potret. Maklum mereka tak punya peninggalan foto pernikahan, lantaran rol foto dari pesta nikah, terselip dalam saku celana dan terendam tak sengaja dalam air. Akhirnya yang tertinggal hanyalah cerita.

Pada hari ini, ia merayakan ultah ke-61 tanpa kehadiran anak-anak termasuk saya yang sudah setahun tak bersua lewat telepon sekalipun. Semoga selalu umur panjang dan sehat selalu. Pengorbananmu sudah merupakan bahasa yang sempurna mengatakan kepada saya yang sedang meraih masa depan bahwa bahagia adalah sederhana. Hadir di saat orang membutuhkan.

Happy Birthday to my beloved father, Alexander Domon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text