Delapan hari menjelang usia 60 tahun pada tahun lalu, pria tersebut
tersenyum lebar dan hatinya seolah disesaki kebahagiaan yang tak
terkira. Saya menjadi cemburu ketika untuk kesekian kalinya ia terlampau
sederhana melukiskan kebahagiaannya.
Sebagai seorang
pegawai yang memasuki usia pensiun, bukan tunjangan pensiunan yang
berlipat-lipat dari gaji pokok yang ia banggakan tapi ketika bapak ini
melihat cucu pertamanya menjelang hari ulang tahunnya yang ke-60 itu. Ia
mengatakan, “ini hadiah terbesar dari Tuhan untuk saya menjelang usia
pensiun ini.” Kehadiran anak pertama dari kakak sulung pada 2 oktober
2013 itu dilukiskannya sebagai suatu kegembiraan yang melampaui perasaan
senang setiap mendengar berita tentang kenaikan gaji yang tersiar lewat
radio setiap perayaan 17 Agustus.
Dari perjalanan
karirnya sebagai seorang guru di daerah terpencil, saya langsung paham
mengapa ia begitu mengapresiasi sebuah pengalaman "kehadiran", melampaui
apapun.
Digaji pas-pasan, bahkan pada era 1970-an, pernah
terjadi gaji diterima setiap tiga bulan, kemudian jam mengajar yang
padat karena harus mengajar enam kelas hanya oleh tiga guru, dan tinggal
di sebuah rumah yang dilapisi papan yang lapuk dimakan rayap dan
diterangi lampu petromax di daerah yang tak terjangkau kendaraan, ia
hanya berujar demikian, “ada kepuasan tersendiri melihat perkembangan
anak-anak dari tahun ke tahun.”
Anak-anak yang ia maksud
adalah teman-teman saya yang kebanyakan anak petani datang dari kampung
yang terletak di balik beberapa bukit. Mereka datang pagi-pagi, melewati
jalan setapak yang menanjak dengan kaki telanjang sejauh berkilo-kilo,
dan setiba di sekolah, sambil menunggu giliran diajarkan, mereka bermain
bola kaki di tanah miring yang dipaksakan menjadi lapangan sepak bola.
Dan beberapa di antara mereka, tinggal bersama kami di sebuah rumah
karena alasan jarak yang cukup jauh.
Dari situlah saya
memahami bahwa menjadi guru bukanlah terutama soal uang atau gaji. Bukan
soal janji sertifikasi yang harus didapat melalui uji kompetensi
sehingga seolah-olah harus diraih dengan susah payah. Menjadi guru,
sebagaimana kata mother Theresa, cukup melakukan hal-hal sederhana
dengan cinta yang besar,pengorbanan tanpa menuntut imbalan yang sepadan.
Bertahun-tahun
ia dituntut untuk menjadi sabar dalam mengajarkan anak-anak yang masih
segan melihat huruf-huruf alfabet seolah disuruh memegang mutiara yang
tak seharusnya digenggam oleh seorang yang terbiasa bekerja di kebun dan
di sawah. Ia harus setia mendampingi mereka untuk bisa membaca yang
setahun saja rasanya tak cukup bagi anak-anak yang sehari-harinya hanya
membuka buku saat di sekolah. Sepulang sekolah mereka sudah berada di
kebun memegang parang dan cangkul.
Barangkali karena
selalu ditantang untuk bersabar padahal manusia selalu punya batas
kesabaran, suatu kali ia mencurahkan isi hatinya. Katanya, “jangan
menjadi guru. Kamu harus lebih dari saya. Guru adalah orang yang paling
berdosa di dunia.” Diusut-usut, ternyata ia mengisahkan seorang anak di
kelasnya. Sudah bertahun-tahun diajarkan membaca, teman saya itu tetap
menganggap huruf-huruf seperti burung elang yang tak pernah dijangkau
oleh tembakan ketapelnya. Sudah dua kali ia duduk di kelas satu alias
tahan kelas. Padahal ia jarang absen. Suatu ketika ia datang dan penuh
ketulusan ia berujar, “Pak, tolong naikkan saya ke kelas dua. Saya hanya
mau menerima komuni pertama. Setelah itu saya tidak akan sekolah lagi.
Saya mau jadi petani.” Dengan berat hati dan harus merasa menanggung
dosa, ia akhirnya menuliskan naik kelas di sebuah rapor berwarna merah.
Kekurangan
finansial adalah juga bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
seorang guru di pedalaman. Tak harus menjaga gengsi dan segan, dia
membuka kebun. Sepulang mengajar, setelah istirahat makan siang, kami
menggarap tanah di belakang sekolah. Pisang, mangga, nangka ditanam.
Sedangkan jagung dan padi menanti musim yang sesuai. Mencabut rumput,
menggali lubang, membuat pagar adalah hal yang biasa dilakukan sepulang
sekolah. Malahan ketika bertani, pertukaran peran di kelas terjadi.
Anak-anak itu mengajarkan banyak hal tentang pertanian. Saya dan dia
hanya mengangguk dan terheran-heran melihat kegesitan dan jiwa kerja
mereka.
Berhadapan dengan kondisi demikian, sekali waktu
saya mengeluh, “kenapa kita tidak pindah saja?” Kala itu kami tengah
mendaki sebuah lereng bukit menuju kampung itu setelah melintasi sebuah
sungai besar dengan sampan. Tiap kali memasuki tanjakan yang terjal itu,
kuda-kuda saya yang belum kuat membuat saya harus dipikul. Kedua
selangkangan saya mengapit tengkuknya sambil kedua tangan melingkari
dahinya. Ditambah berat beras untuk makan satu minggu, kami berjalan
perlahan-lahan sambil bercerita tentang Pondik, Timung Tee, Lanur, dan
cerita rakyat lainnya. Sebelum SD, saya selalu menemaninya ke tempat
tugas yang terletak di atas bukit. Letaknya jauh dari rumah dan ditempuh
dengan jalan kaki setelah menyebrangi Wae Pesi dengan sampan.
Setengah
menarik nafas lega ia menjawab, “mereka masih membutuhkan saya. Tak ada
lagi guru muda yang mau ditempatkan di sana. Nanti kekurangan guru.”
Seketika juga saya langsung mengkritisi diri. Tak jarang saya lebih suka
mengkritisi kekurangan daripada merasa berharga karena dibutuhkan.
Barangkali tepat apa yang diungkapan Christoph Schonborn. “jangan
mengutuki kekurangan karena kekurangan itu adalah bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan kita.” Dan dalam bahasa Santa theresa:”
Mengadili atau menghakimi membuat kita kehilangan kesempatan berbuat
kasih.”
Benar saja. Ia menikmati tinggal di sana di antara
orang-orang yang membutuhkannya dan mengharapkan kehadirannya. Tak ada
hiburan seperti TV tak berarti kami tak bahagia dan senang saat itu.
Tiap sore kami kadang berburu. Monyet, tikus, babi hutan, burung, ular,
dan ulat gemuk yang bersembunyi di balik kayu-kayu tua, kami sudah
pernah makan. Bermodalkan gitar dan sebuah tape untuk kaset pita, musim
selepas panen menjadi lebih ramai. Semua orang sering berkumpul di
rumah. Moke diteguk hingga larut malam. Bernyanyi dan bergoyang bersama
sering dilakukan.
Sering pula terjadi, pada waktu sore anak-anak kecil datang ke rumah. “tuang
guru, bapa-mama undang makan malam di rumah?” kata mereka. Malamnya
kami bertamu. Disuguhkan makanan dan minuman. Seringkali harus berakhir
dengan mabuk berat. Ini sudah menjadi bagian dari dinamika kehidupan
sosial. Hampir bergiliran penduduk di kampung mengundang kami. Akhirnya
kami kenal mereka secara lebih dekat. Tentu saja kedekatan itu
dikarenakan ia juga merangkap sebagai ketua dewan lingkungan. Tiap ada
doa bersama atau ibadat hari minggu, ia seringkali menjadi pemimpin,
termasuk ibadat kematian yang membuat saya ketakutan dan berjalan
terbirit-birit seusai doa sewaktu pulang ke rumah yang jauhnya 3 km dari
kampung, sendiri di tengah hutan.
Yang paling
menyenangkan adalah apa yang terjadi beberapa tahun kemudian. Beberapa
dari antara murid itu sudah menjadi pegawai dan berpendidikan tinggi.
Dengan rasa hormat yang tak pernah berkurang, mereka mengunjungi kami
sekeluarga. Kebaikan hati mereka seringkali menjadi penolong yang
tiba-tiba hadir di setiap membutuhkan. Barangkali itulah kebahagiaan
yang selalu terselip dari kisah seorang guru yang berada di kampung.
*****
Setahun
lalu ia mulai pensiun. Setamat SPG (setara SMA), ia mulai mengajar di
Wancang, kecamatan Cibal. Lalu berpindah ke Nempong dimana ia mengajar
selama dua puluh satu tahun. Selama sepuluh tahun terakhir dari kurun
waktu tersebut ia harus berangkat mengajar dari Nggorang, ketika
keluarga sudah berpindah di Nggorang. Akibatnya, ia harus berangkat hari
senin pagi-pagi dan pulang hari sabtu atau minggu pagi ke rumah. Selalu
begitu. Sebelum masuk SD, saya selalu menemaninya, tinggal seminggu di
sana. Nempong adalah sebuah kampung yang berada di atas puncak bukit.
Sisanya sampai pesiun, ia berpindah mengajar di Nggorang, daerah dataran
rendah. Faktor usia dan munculnya guru-guru baru, mantan murid-muridnya
sendiri adalah alasan kepindahan itu.
Beberapa tahun
lalu, ketika berbicara tentang usia pensiunnya dan melihat bahwa ia dan
mama terancam hidup sendirian lantaran anak-anak sudah tinggal
terpisah-pisah, ia pernah berkata, "saya merindukan seorang anak kecil
di rumah ini." Meski dalam nada canda, saya tetap menangkap maksud
serius dari ucapannya. Menjelang usia pensiun dan tanpa dikarunia
seorang cucu adalah kegelisahan tersendiri baginya. Ternyata,
kerinduannya itu terpenuhi pada tahun lalu, tepat 8 hari sebelum ia
merayakan ultah ke-60 dan harus pensiun. Ia sangat gembira, meskipun
cucu pertama tidak tinggal dengan mereka.
Kini ia tinggal
berdua dengan mama di rumah. Menghabiskan waktu berdua adalah semacam
mengulang masa pacaran. Keduanya coba mengapresiasi kehadiran satu sama
lain seintim pengalaman pacaran dan awal-awal pernikahan dulu. Tanpa
gangguan anak-anak lagi. hehehe. Barangkali keduanya berkilas balik
tentang pernikahan yang hanya dikenang lewat kata daripada potret.
Maklum mereka tak punya peninggalan foto pernikahan, lantaran rol foto
dari pesta nikah, terselip dalam saku celana dan terendam tak sengaja
dalam air. Akhirnya yang tertinggal hanyalah cerita.
Pada
hari ini, ia merayakan ultah ke-61 tanpa kehadiran anak-anak termasuk
saya yang sudah setahun tak bersua lewat telepon sekalipun. Semoga
selalu umur panjang dan sehat selalu. Pengorbananmu sudah merupakan
bahasa yang sempurna mengatakan kepada saya yang sedang meraih masa
depan bahwa bahagia adalah sederhana. Hadir di saat orang membutuhkan.
Happy Birthday to my beloved father, Alexander Domon
Rahmat
-
Dua malaikat sedang melakukan perjalanan. Ketika malam tiba, mereka
berhenti dan bermaksud menginap di sebuah rumah milik keluarga kaya. Keluarga
itu s...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar