Pages

Ads 468x60px

Minggu, 09 November 2014

Kenapa Berdoa?

Kurangnya berdoa adalah penyebab dari maraknya peristiwa korupsi, kolusi, pembunuhan,penipuan, pencurian, politik busuk, dan tindakan kejahatan moral lainnya pada akhir-akhir ini.

            Dalam konteks demikian, doa tidak dimengerti hanya karena tuntutan agama, mewarisi kebiasaan keluarga, demi alasan masuk surga, dan semacamnya. Doa juga berciri eksistensial. Kita berdoa karena kita manusia.


           Berciri eksistensial sama dengan melihatnya seperti makanan dan oksigen dari sudut biologis. Sebagaimana kita butuh keduanya untuk tetap hidup, kita juga butuh dan selalu berdoa untuk hidup dari segi spiritual.

           Nah, bagi umat Kristiani, doa yang berciri eksistensial itu diperlihatkan dalam kehidupan Yesus sendiri.

Belajar dari Yesus

          Yesus adalah the great man of prayer.  Dalam keseluruhan injil, ada banyak perikop yang menceritakan Yesus yang berdoa. Sebelum dan sesudah pengajaran ia berdoa.Ia berpuasa di padang gurun. Ia mengucap syukur sebelum mengadakan perjamuan. Ia sering dilukiskan sebagai seseorang yang menarik diri ke tempat yang sunyi untuk berdoa, bahkan semalaman.

            Konsistensi dalam berdoa adalah hal yang patut digarisbawahi dari sikap Yesus. Tidak penting apakah dalam susah atau senang, ia tetap berdoa. Hal itu terlihat nyata pada peristiwa di atas kayu salib. Dalam kesengsaraaan yang luar biasa, ia masih berdoa, terutama bagi para serdadu yang membunuhnya. “Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tau apa yang mereka perbuat”(Luk 23:34).

           Bahkan menjelang momen penghembusan nafas yang menandai selesainya eksistensi sebagai manusia, ia berdoa, "Ya Bapa ke dalam tanganMu KuserahkannyawaKu" (Lukas 23:46)

           Lebih dari itu,peristiwa di taman Getsemani bukan hanya menunjukkan konsistensi tetapi juga intensi dari doa. Yesus diselimuti ketakutan yang luar biasa sebelum memikul salib. Badannya berkeringat. Murid-muridnya tertidur pulas ketika ia berdoa yang bermandikan peluh itu.

           Uniknya, saat itu Yesus tidak berdoa untuk membatalkan peristiwa penyaliban. Sebaliknya Ia hanya mendekatkan diri lagi kepada kehendak Allah. Lebih jujur mengungkapkan segala ketakutannya.Ia melampaui pertimbangan pragmatis: ia bisa saja mengingkari salib. Ia tahu bahwa meski harus melewati salib, jalan yang itulah yang akan membawa kepada kemenangan.

           Berdoa sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada kehendak Allah, terbuka kepada perasaan diri sendiri, dan melampaui pilihan pragmatis itulah yang sebetulnya kita pelajari dari Yesus.

Hati Nurani

            Definisi doa yang saya percayai sejak kecil adalah komunikasi dengan Allah. Tetapi karena itu terlalu abstrak, doa dapat diartikan komunikasi dengan diri sendiri. Dalam doa, kita mengungkapkan segala keluhan, kegelisahan,keinginan, curahan hati, rasa syukur dan lain-lain secara jujur kepada diri sendiri dan Allah.

            Dikatakan jujur karena dalam relasi dengan orang lain, gaya bertutur kata, gestur,pikiran kita kerapkali dimanipulasi dan disesuaikan dengan tuntutan lingkungan, situasi, atau kehendak kita sendiri atas orang lain. Kita dapat saja penuh pencitraan. Sedangkan berdoa menjadi kesempatan untuk menjadi sejujur-jujurnyamengungkapkan apa yang kita pikirkan, rasakan, inginkan, dan sebagainya.

            Dalam kejujuran kita dengan diri sendiri, hadirlah suatu momen dimana kita mengadili diri sendiri. Ada sebuah otoritas dalam diri yang mengadili sedemikian sehingga dalam keadaan tertentu walaupun tak disaksikan orang, kita merasa bersalah atas apa yang kita buat. Itulah tuntutan hati nurani.

            Hati nurani dalam perbincangan filsafat mempunyai dua dorongan dasar yakni mengarahkan kepada kebaikan dan mengelak yang jahat. Jika kita melawannya, kita seringkali dibayangi rasa bersalah. Itulah yang mendorong orang untuk mau bertanggung jawab atas kesalahannya. Dalam kaca mata kaum beragama, ini dipandang sebagai anugerah Allah : hukum yang diberikan Allah dalam hati manusia untuk mengarahkan perilaku manusia. Sebab manusia diperlengkapi kekuatan mahadashyat yakni pikiran. Tanpa pengontrol, kekuatan ini bisa disalahgunakan. Hati nurani adalah pengontrolnya.

            Jadi dalam doa, kita bergumul secara intim dengan diri sendiri. Daripadanya ada kekuatan yang berusaha mengarahkan pikiran kita untuk bekerja terarah kepada kebaikan dan menghindari yang jahat. Itulah yang membawa kepada kebebasan hati.

Kurang Berdoa

            Persoalan muncul pada saat kita kita kurang berdoa. Dalam artian, kita kurang berelasi secara jujur dan intens dengan diri sendiri dan mengingkari panggilan dasar hati nurani.Kekuatan pikiran akhirnya tak punya kekuatan pengendali.

            Bahwa kita sering datang menghadiri ibadat di hari minggu, doa bersama, atau menghadiri rangkaian acara keagamaan lainnya belum menjamin kita sudah “berdoa”. Semua kegiatan doa yang bersifat kolektif bisa saja sangat artifisial. Seorang pejabat dapat terlihat tekun berdoa, duduk di tempat terdepan, dan rajin beramal adalah demi pencitraan. Demikian pun para imam. Bisa saja tampak khusyuk dan mulia saat berdoa hanya karena status yang dikenakannya.

            Terlepas dari diskusi panjang lebar soal itu, kenyataan bahwa pikiran tanpa dikendalikan hati nurani bisa dijumpai secara gamblang dalam keputusan-keputusan pragmatis di bidang politik:apa yang menguntungkan kelompok, keluarga, dan golongan daripada apa yangmendatangkan keadilan, kebaikan, dan kepentingan bersama. Tanpa pengontrol,kecerdasan manusia akhirnya disalahgunakan. Satu orang saja yang bertindak di luar hati nuraninya akan mengganggu keseluruhan tatanan, apalagi kalau banyak.

            Padahal jika mengikuti hati nurani, meskipun melalui jalan yang berliku dan menderita, kita akan berjalan menuju nilai yang tertinggi. Selain Yesus, ada begitu banyak orang yang rela berlawanan dengan pendapat umum, mengingkari kepentingan pribadi dan kelompoknya, bahkan menderita demi memperjuangkan nilai-nilai tertinggi karena secara jujur mendengar hati nuraninya. Di situlah, doa memberi kita hidup yang bermakna.

           Di tengah guncangan yang menerpa negeri ini, marilah kita berdoa: mengecek suara hati kitamasing-masing. Sesering dan sedekat mungkin agar hidup kita lebih bermakna. Barangkali doa demikianlah, Yesus pernah berkata: “Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi .” (Mat 6:6).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text