Pages

Ads 468x60px

Minggu, 09 Maret 2014

Chapter I : Sepatu Penguji Kejujuran

Pukul 04.45 pagi di Reo. Gelap masih menyelimut kota pelabuhan di bagian utara flores Barat itu. Dingin di musim kemarau menusuk hingga sumsum tulang. Aku terjaga dari tidurku. Kuperhatikan sekeliling. Teman-teman masih tidur lelap. Suara ngorok bersahut-sahutan dalam ruangan aula yang terletak di samping gereja St. Maria Ratu Rosari Reo. Di ruangan aula itulah kami ber-tujuh puluh lima tinggal untuk dua hari ini.

Kuperhatikan Feliks yang tidur di sebelah kiriku. Meskipun beralaskan tikar yang dibentangkan di atas lantai aula itu dan diselimuti kain tipis, ia tidur nyenyak. Sepertinya ia tak peduli dengan nyamuk yang menyerbu kuping dengan dengungannya dan rasa dingin yang menyengat tulang.



Aku memakluminya. Kemarin ia datang dari Rego, sebuah wilayah yang terletak di Manggarai Barat. Karena tidak ada kendaraan yang datang dari sana, ia dan temannya terpaksa berjalan kaki sepanjang puluhan kilometer. Tak bisa kubayangkan seberapa besar niat dan keinginannya mau masuk seminari. Ia rela berjalan kaki sejauh itu.

Sementara aku melipatkan selimutku, aku dikejutkan oleh Gusti.

“kamu sudah bangun?” katanya menegurku dengan suara setengah berbisik. Aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Sulit kuperhatikan wajahnya dengan jelas dalam ruangan yang masih gelap itu.

Gusti tidur di sebelah kananku. Ia berasal dari Reo. Rumahnya terletak di kompleks bagian belakang Gereja Reo. Kemarin kami baru berkenalan, langsung akrab dan ingin tidur berdekatan di tempat itu.

“Sudah jam berapa?” tanyanya kemudian.

“Hampir jam lima. Kenapa kamu sudah bangun?”

“Aku ingat papa-mama.” Akunya dengan nada merendah. Dia bangun dari tidurnya. Duduk sambil melilitkan badannya dengan selimut. Aku ingin tertawa saat mendengarnya, tapi aku tak ingin menyinggung perasaannya. Pasalnya, rumahnya hanya jarak beberapa meter dari tempat kami menginap.

“Kenapa kamu bangun cepat?” Dia melemparkan lagi pertanyaan itu kepadaku.

“Aku cemas dengan soal testing sebentar.” Dia tertawa meledekku. Dalam hati aku menyesal, kenapa tadi aku terlalu menjaga perasaannya. “Aku tidak peduli. Mau lulus atau tidak, terserahh...” katanya dengan suara yang berat.
Bunyi lonceng Gereja tiba-tiba mengagetkan kami berdua. Lampu-lampu serempak menyala dalam ruangan itu. Anak-anak mulai bangun. Mereka menggosok-gosok matanya karena silau dengan cahaya lampu yang begitu terang.

“Ayo kita pergi timba air” ajak Gusti. Kami berdua segera mengambil ember, gayung dan perlengkapan mandi. Gusti mengingatkanku bahwa di situ airnya disediakan terbatas sehingga kemungkinan besar akan berebutan. Kami yang paling pertama keluar dari ruangan itu dengan terburu-buru sambil menenteng ember.

***
Aku tercengang dengan jawaban Gusti tadi. Dia tak begitu berambisi masuk seminari. Padahal aku dan Feliks sangat berantusias dengan tes masuk seminari. Feliks rela berjalan hingga puluhan kilometer. Sementara aku hampir tak dapat tidur semalaman, cemas dengan soal ujian itu.

Bagiku, seminari adalah sekolah idaman sejak kecil. Saat aku belum masuk SD, ayahku sudah menceritakan tentang seminari. Sebelum tidur malam, ayahku selalu menceritakan cerita-cerita rakyat Manggarai terutama tentang Timung Tee dan Lanur, dan Pondik—si Raja licik. Di antara cerita-cerita itu, ayah menyelipkan kisah pengalamannya waktu di seminari.

Itu karena sewaktu kecil aku banyak menghabiskan waktu bersama ayah. Ayahku adalah seorang Guru Sekolah Dasar. Kala itu ia mengajar di SD Nempong, sebuah wilayah yang terletak di atas gunung. Kampung itu amat terisolasi. Tak ada listrik. Demikian pun untuk akses kendaraan. Sementara rumah yang kami tinggali terletak di Nggorang, sebuah kampung yang terletak di pinggiran kota Reo.

Aku selalu menemani ayah. Setiap hari senin pagi kami berjalan kaki mendaki gunung. Sebelumnya kami menyeberangi sungai Wae Pesi dengan sampan. Setiap sabtu kami baru pulang ke rumah. Maka selama seminggu kami berdua tinggal di Nempong, di sebuah rumah “dinas”. Papan dinding sekeliling rumah itu sudah bolong, seng atapnya banyak yang bocor dan karatan, dan lantainya berlubang sana-sini. Letaknya pun terasing dari kampung nempong, sekitar dua kiloan meter. Tiap malam kami hanya diterangi lampu minyak.

Setelah makan malam, barulah ayah mulai bercerita. Baginya, pengalaman di seminari Kisol tak terlupakan. Teman-teman yang pintar, hebat dalam bermain sepak bola, semangat belajar yang begitu tinggi, dan kenakalan-kenakalan yang cerdik. Tak lupa juga ia menceritakan berlimpahnya jenis buah-buahan di Kisol. Ada sawo, sirsak, pisang, alpukat, rambutan, mangga, dan masih banyak lagi. Tiap kali mendengar kisahnya, aku selalu membayangkan suatu saat diriku akan berada di tempat seperti itu.

Bahkan ketika suatu saat ada anak seminari datang ke kampung kami aku terhipnotis olehnya. Kuperhatikan gaya berpakaiannya, ayunan langkah kakinya,dan tutur katanya. Ia kelihatan rapi, berwibawa, dan santun. Hasratku untuk masuk seminari semakin mengebu-gebu saat itu. Ketika aku masuk SD, seminari Kisol semakin familiar dalam pendengaranku. Hampir tiap tahun, ada saja anak-anak dari SD yang mendaftar testing seminari. Namun tak satu pun dari mereka yang lulus.

Tergambar dalam bayanganku bahwa seminari Kisol itu terdiri dari orang-orang yang cerdas. Diasramakan dan dididik secara disiplin. Di sana diajarkan untuk hidup mandiri, digali potensi, dan berolahraga secara teratur. Amatlah bangga jika bisa lulus, kataku dalam hati saat itu. Dari tahun ke tahun aku coba memupuk ambisi itu.

Sayangnya  ambisi itu nyaris hilang lenyap. Pada suatu sore ketika aku sedang bermain bola kaki bersama teman-teman, tiba-tiba seorang teman memanggilku. Dia menyuruhku bertemu Pak Mateus Nebu, guru kelasku di kelas enam SD Nggorang. Rumahnya berdekatan dengan rumah kami.

“Cepat bawa rapormu dan uang pendaftaran masuk seminari. Kita sudah terlambat. Romo sebentar bawa pendaftaran ke Kisol. Dia sudah di jalan dari Reo.” ujarnya sambil mengisi lembaran formulir pendaftaran testing seminari. Rupanya ketika ke Reo Pak Mateus bertemu Romo pastor paroki. Dia bertanya soal testing seminari dan ketika itu Romo menerangkan bahwa pendaftaran akan dibawa ke Kisol hari itu. Hari itu romo akan ke Kisol membawa formulir pendaftaran tersebut. Tak mau berpikir panjang lagi, ia lantas meminta formulir pendaftaran yang tersisa.
 Untunglah kampung kami harus dilewati dulu sebelum ke Ruteng yang harus dilewati kalau hendak ke Kisol. Kisol terletak di Manggarai Timur. Kalau datang dari Reo yang terletak di Manggarai utara, kami harus melewati kota kabupaten, Ruteng yang terletak di Manggarai tengah. Dari situlah baru ke Kisol.

 Ketika Romo melewati kampung kami, Pak Mateus memberhentikan kendaraan yang ditumpanginya. Lalu memberikan formulir pendaftaran itu.

***

“Pakaian seragam harus dikenakan dulu sebelum misa.” kata fr. John yang menjadi pendamping peserta testing seminari kemarin ketika pertama kali datang. Maka setelah membasuh muka pagi ini, aku kembali ke aula tempat penginapan. Aku mengenakan pakaian seragam merah putih yang kelihatan licin dan bersih karena disetrika oleh mamaku. Tak lupa aku mengenakan kaus dan sepatu.

“Afi kamu lihat satu sepatuku?” tanya Gusti yang berada dibelakangku. Aku menoleh. Kulihat raut wajahnya kebingungan. Matanya berkeliaran menyelidiki sekeliling tempat itu.

“Kenapa?”

“Aku kehilangan sepatu kaki kanan.” Aku mulai bersimpati. Kulihat ia sudah mengenakan sepatu kaki kiri. Kami berdua mencari bersama-sama. Bertanya pada teman-teman di situ, tapi mereka tidak mengetahuinya.

“Ayo ke Gereja!” perintah frater yang berdiri di pintu masuk Aula. Peserta tes satu per satu meninggalkan ruangan itu. Sementara kami masih coba mencari sepatunya Gusti.

“Kamu pakai sendal saja dulu. Setelah misa, kita cari lagi” usulku. Lalu ia mengenakan sendal. Agar tidak diketahui frater, kami dan feliks mengapitinya sehingga terkesan ditutupi. Usaha kami berhasil. Gusti satu-satunya yang tidak mengenakan sepatu saat misa pagi itu. Namun persoalan belum selesai.

****

Dalam aturan, tepat pukul 07.00 kami harus masuk ruangan kelas. Kala itu ujiannya di SDK Reo III, yang terletak di bagian Utara lapangan sepak bola Reo. Jaraknya lumayan dekat dengan area pertokoan dan pasar. Untuk sampai ke sana, kami harus berjalan kaki selama 30 menit dari Aula tempat kami menginap.

Setelah misa usai, kami bertiga tergesa-gesa kembali ke aula. Kami lewatkan saja makan pagi itu. Membongkar semua isi tasnya, satu per satu kami mengeluarkan barang-baranngnya. Ada beberapa toples kue, coklat, dan obat-obatan. Tasnya sesak dipenuhi toples makanan tersebut. Konsentrasiku dan Feliks terganggu, antara mencari sepatu dan melihat makanan-makanan yang ada dalam toples itu. Rupanya Gusti tahu apa yang  ada dalam pikiran kami. Dibukanya sebuah toples, ditawarinya kami makan, sekaligus diperingati.

“Satu-satu ya.” Tanpa senyum yang terlintas di wajahnya. Entah karena ia masih memikirkan sepatunya yang hilang atau takut kehabisan kuenya.

“Kita harus lapor ke Pater saja.” kata feliks  yang idenya mulai bermunculan ketika mengunyah kue. Rupanya ide harus diransang dengan kue.

“Setuju” kataku. “jangan-jangan ada yang mengambilnya tadi malam.” Kebetulan pada malam harinya, kami bermain kejar-kejaran dalam aula itu. Ada yang saling lempar, bahkan hendak berkelahi. Dalam pikirannku, barangkali ada yang tidak sengaja mengambilnya.

Lalu kami berlari keluar dari ruangan itu. Dengan tergesa-gesa kami melewati lorong kota itu. Setelah melewati lapangan bola kaki, kami menyuruh Gusti bertemu pastor yang akan mengawasi kami ujian. Sementara kami langsung menuju ruang kelas dan segera mengambil tempat duduk.

***

Peserta ujian tiba-tiba diam ketika pastor masuk ruang kelas. Padahal suara gaduh diskusi tadi memekakan telinga. Raut pastor tidak seperti biasanya. Kemarin ia tersenyum melihat kami, bahkan sesekali bercanda. Kali ini ia menatap tajam seolah-olah menyelidiki bola mata kami. Satu per satu kami dilihatnya.

“Siapa yang menyembunyikan sepatunya Gusti?” tanyanya dengan nada marah. Kulihat Gusti menyusuli pastor masuk ruang kelas. Kami semua melihatnya. Ia tertunduk lesu, pipinya basah, dan hanya mengenakan sendal. Ia menangis.

Semua anak-anak diam. Tak seorang pun mengeluarkan suara, kecuali suara batuknya Tommy yang muncul sesekali. Tidak terbiasa mandi di sungai, Tommy yang berasal dari Cibal itu berenang di (Sungai) Wae Pesi cukup lama kemarin. Alhasil dia harus berhubungan dengan batuk.

“Kalau jadi anak seminari itu harus jujur. Ini tes paling utama. Kalau tidak ada yang jujur, hari ini tidak akan ada tes lagi” terang pastor. Sontak kami terperanjat, memandang satu sama lain, sementara suara batuk Tommy semakin tak karuan, malah menjadi-jadi.

“Tommy, jangan-jangan kamu yang mengambilnya.”

“Tidak pastor.” jawabnya gugup. Batuknya langsung lenyap.

Pastor menyuruh Gusti duduk. Ia persis duduk di depanku. Aku memperhatikan kakinya. Kelihatanya bersih karena tadi ia menggunakan body lotion,namun besar kakinya bukan main.

“Hari ini kalian tetap ujian. Setelah ujian, nanti saya cek tas satu per satu.” kata pastor sambil membongkar soal ujian yang masih terbungkus. Kami semuanya tampak gugup. Kala itu aku takut, barangkali seseorang dengan iseng menyembunyikan sepatu itu dalam tas orang lain. Ya, seperti kata pepatah melempar batu sembunyi tangan begitulah. Selama ujian aku tidak tenang. Rupanya anak-anak yang lain juga berpikiran tentang hal yang sama.

 Aku melahap semua soal itu dengan cepat. Waktu masih tersisa cukup lama. Aku melihat keluar jendela kaca, memandangi lapangan Reo yang rumputnya mulai menguning karena musim kemarau berkepanjangan. Di sana terlihat beberapa ekor kambing sedang berjalan kesana-kemari.

            ****

            “Waktu habis. Kumpulkan jawaban.” ujar Pastor. Anak-anak berhamburan ke depan ruang kelas. Aku pun tampak tergesa-gesa mengumpulkan jawaban ujian. Aku ingin cepat-cepat pulang ke aula tempat penginapan ingin memeriksa tas. Hanya Gusti yang terlihat cukup tenang. Ia masih duduk membereskan kertas-kertas yang tercecer di atas mejanya.

            Di koridor yang terletak bagian depan ruang kelas kami berdesak-desakkan karena sempit. Seketika konsentrasi kami buyar dan terbius oleh suara sepeda motor yang berjalan mendekat ke arah kami. Sejak pagi tadi, suasana di sekitar kompleks SDK Reo III ini cukup tenang. Tak ada kendaraan yang melintas. Wajarlah kami kaget dengan kedatangan sepeda motor itu.

            “Papa!” teriak Gusti mengagetkan kami. Dia berlari mendekat dan merangkul ayahnya. Kami tercengang melihat relasi anak dan ayahnya yang sedemikian dekat itu. Ayahnya kumudian datang menghampiri Pastor yang sudah berdiri di antara kami di koridor depan ruang kelas.

            “Pagi Romo! “ sapa ayahnya sambil menyodorkan tangan untuk berjabat tangan dengan pastor.

            “Mohon maaf Romo!” ujar ayahnya dengan nada merendah. Pastor memperlihatkan raut wajah yang
bingung.

            “Kemarin sepatu kaki kanannya Gusti lupa di rumah. Kami lupa masukkan ke dalam tas saking konsentrasi pada toples-toples makanannya.” Pastor hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ia tersenyum menatap Gusti yang berdiri menggandeng tangan ayahnya.

            Kami semua tertawa saat mendengar pengakuan ayahnya. Aku melihat Feliks menatap ke arahku. Kami tersenyum, lalu berjalan pulang bersama-sama ke aula penginapan.

6 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text