Pukul 04.45 pagi di Reo. Gelap masih menyelimut kota pelabuhan di
bagian utara flores Barat itu. Dingin di musim kemarau menusuk hingga
sumsum tulang. Aku terjaga dari tidurku. Kuperhatikan sekeliling.
Teman-teman masih tidur lelap. Suara ngorok bersahut-sahutan dalam
ruangan aula yang terletak di samping gereja St. Maria Ratu Rosari Reo.
Di ruangan aula itulah kami ber-tujuh puluh lima tinggal untuk dua hari
ini.
Kuperhatikan Feliks yang tidur di sebelah kiriku.
Meskipun beralaskan tikar yang dibentangkan di atas lantai aula itu dan
diselimuti kain tipis, ia tidur nyenyak. Sepertinya ia tak peduli dengan
nyamuk yang menyerbu kuping dengan dengungannya dan rasa dingin yang
menyengat tulang.
Aku memakluminya. Kemarin ia datang dari
Rego, sebuah wilayah yang terletak di Manggarai Barat. Karena tidak ada
kendaraan yang datang dari sana, ia dan temannya terpaksa berjalan kaki
sepanjang puluhan kilometer. Tak bisa kubayangkan seberapa besar niat
dan keinginannya mau masuk seminari. Ia rela berjalan kaki sejauh itu.
Sementara aku melipatkan selimutku, aku dikejutkan oleh Gusti.
“kamu
sudah bangun?” katanya menegurku dengan suara setengah berbisik. Aku
hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Sulit kuperhatikan wajahnya
dengan jelas dalam ruangan yang masih gelap itu.
Gusti
tidur di sebelah kananku. Ia berasal dari Reo. Rumahnya terletak di
kompleks bagian belakang Gereja Reo. Kemarin kami baru berkenalan,
langsung akrab dan ingin tidur berdekatan di tempat itu.
“Sudah jam berapa?” tanyanya kemudian.
“Hampir jam lima. Kenapa kamu sudah bangun?”
“Aku
ingat papa-mama.” Akunya dengan nada merendah. Dia bangun dari
tidurnya. Duduk sambil melilitkan badannya dengan selimut. Aku ingin
tertawa saat mendengarnya, tapi aku tak ingin menyinggung perasaannya.
Pasalnya, rumahnya hanya jarak beberapa meter dari tempat kami menginap.
“Kenapa kamu bangun cepat?” Dia melemparkan lagi pertanyaan itu kepadaku.
“Aku
cemas dengan soal testing sebentar.” Dia tertawa meledekku. Dalam hati
aku menyesal, kenapa tadi aku terlalu menjaga perasaannya. “Aku tidak
peduli. Mau lulus atau tidak, terserahh...” katanya dengan suara yang
berat.
Bunyi lonceng Gereja tiba-tiba mengagetkan kami berdua.
Lampu-lampu serempak menyala dalam ruangan itu. Anak-anak mulai bangun.
Mereka menggosok-gosok matanya karena silau dengan cahaya lampu yang
begitu terang.
“Ayo kita pergi timba air” ajak Gusti. Kami
berdua segera mengambil ember, gayung dan perlengkapan mandi. Gusti
mengingatkanku bahwa di situ airnya disediakan terbatas sehingga
kemungkinan besar akan berebutan. Kami yang paling pertama keluar dari
ruangan itu dengan terburu-buru sambil menenteng ember.
***
Aku
tercengang dengan jawaban Gusti tadi. Dia tak begitu berambisi masuk
seminari. Padahal aku dan Feliks sangat berantusias dengan tes masuk
seminari. Feliks rela berjalan hingga puluhan kilometer. Sementara aku
hampir tak dapat tidur semalaman, cemas dengan soal ujian itu.
Bagiku,
seminari adalah sekolah idaman sejak kecil. Saat aku belum masuk SD,
ayahku sudah menceritakan tentang seminari. Sebelum tidur malam, ayahku
selalu menceritakan cerita-cerita rakyat Manggarai terutama tentang
Timung Tee dan Lanur, dan Pondik—si Raja licik. Di antara cerita-cerita
itu, ayah menyelipkan kisah pengalamannya waktu di seminari.
Itu
karena sewaktu kecil aku banyak menghabiskan waktu bersama ayah. Ayahku
adalah seorang Guru Sekolah Dasar. Kala itu ia mengajar di SD Nempong,
sebuah wilayah yang terletak di atas gunung. Kampung itu amat
terisolasi. Tak ada listrik. Demikian pun untuk akses kendaraan.
Sementara rumah yang kami tinggali terletak di Nggorang, sebuah kampung
yang terletak di pinggiran kota Reo.
Aku selalu menemani
ayah. Setiap hari senin pagi kami berjalan kaki mendaki gunung.
Sebelumnya kami menyeberangi sungai Wae Pesi dengan sampan. Setiap sabtu
kami baru pulang ke rumah. Maka selama seminggu kami berdua tinggal di
Nempong, di sebuah rumah “dinas”. Papan dinding sekeliling rumah itu
sudah bolong, seng atapnya banyak yang bocor dan karatan, dan lantainya
berlubang sana-sini. Letaknya pun terasing dari kampung nempong, sekitar
dua kiloan meter. Tiap malam kami hanya diterangi lampu minyak.
Setelah
makan malam, barulah ayah mulai bercerita. Baginya, pengalaman di
seminari Kisol tak terlupakan. Teman-teman yang pintar, hebat dalam
bermain sepak bola, semangat belajar yang begitu tinggi, dan
kenakalan-kenakalan yang cerdik. Tak lupa juga ia menceritakan
berlimpahnya jenis buah-buahan di Kisol. Ada sawo, sirsak, pisang,
alpukat, rambutan, mangga, dan masih banyak lagi. Tiap kali mendengar
kisahnya, aku selalu membayangkan suatu saat diriku akan berada di
tempat seperti itu.
Bahkan ketika suatu saat ada anak
seminari datang ke kampung kami aku terhipnotis olehnya. Kuperhatikan
gaya berpakaiannya, ayunan langkah kakinya,dan tutur katanya. Ia
kelihatan rapi, berwibawa, dan santun. Hasratku untuk masuk seminari
semakin mengebu-gebu saat itu. Ketika aku masuk SD, seminari Kisol
semakin familiar dalam pendengaranku. Hampir tiap tahun, ada saja
anak-anak dari SD yang mendaftar testing seminari. Namun tak satu pun
dari mereka yang lulus.
Tergambar dalam bayanganku bahwa
seminari Kisol itu terdiri dari orang-orang yang cerdas. Diasramakan dan
dididik secara disiplin. Di sana diajarkan untuk hidup mandiri, digali
potensi, dan berolahraga secara teratur. Amatlah bangga jika bisa lulus,
kataku dalam hati saat itu. Dari tahun ke tahun aku coba memupuk ambisi
itu.
Sayangnya ambisi itu nyaris hilang lenyap. Pada
suatu sore ketika aku sedang bermain bola kaki bersama teman-teman,
tiba-tiba seorang teman memanggilku. Dia menyuruhku bertemu Pak Mateus
Nebu, guru kelasku di kelas enam SD Nggorang. Rumahnya berdekatan dengan
rumah kami.
“Cepat bawa rapormu dan uang pendaftaran
masuk seminari. Kita sudah terlambat. Romo sebentar bawa pendaftaran ke
Kisol. Dia sudah di jalan dari Reo.” ujarnya sambil mengisi lembaran
formulir pendaftaran testing seminari. Rupanya ketika ke Reo Pak Mateus
bertemu Romo pastor paroki. Dia bertanya soal testing seminari dan
ketika itu Romo menerangkan bahwa pendaftaran akan dibawa ke Kisol hari
itu. Hari itu romo akan ke Kisol membawa formulir pendaftaran tersebut.
Tak mau berpikir panjang lagi, ia lantas meminta formulir pendaftaran
yang tersisa.
Untunglah kampung kami harus dilewati dulu sebelum
ke Ruteng yang harus dilewati kalau hendak ke Kisol. Kisol terletak di
Manggarai Timur. Kalau datang dari Reo yang terletak di Manggarai utara,
kami harus melewati kota kabupaten, Ruteng yang terletak di Manggarai
tengah. Dari situlah baru ke Kisol.
Ketika Romo melewati
kampung kami, Pak Mateus memberhentikan kendaraan yang ditumpanginya.
Lalu memberikan formulir pendaftaran itu.
***
“Pakaian
seragam harus dikenakan dulu sebelum misa.” kata fr. John yang menjadi
pendamping peserta testing seminari kemarin ketika pertama kali datang.
Maka setelah membasuh muka pagi ini, aku kembali ke aula tempat
penginapan. Aku mengenakan pakaian seragam merah putih yang kelihatan
licin dan bersih karena disetrika oleh mamaku. Tak lupa aku mengenakan
kaus dan sepatu.
“Afi kamu lihat satu sepatuku?” tanya
Gusti yang berada dibelakangku. Aku menoleh. Kulihat raut wajahnya
kebingungan. Matanya berkeliaran menyelidiki sekeliling tempat itu.
“Kenapa?”
“Aku
kehilangan sepatu kaki kanan.” Aku mulai bersimpati. Kulihat ia sudah
mengenakan sepatu kaki kiri. Kami berdua mencari bersama-sama. Bertanya
pada teman-teman di situ, tapi mereka tidak mengetahuinya.
“Ayo
ke Gereja!” perintah frater yang berdiri di pintu masuk Aula. Peserta
tes satu per satu meninggalkan ruangan itu. Sementara kami masih coba
mencari sepatunya Gusti.
“Kamu pakai sendal saja dulu.
Setelah misa, kita cari lagi” usulku. Lalu ia mengenakan sendal. Agar
tidak diketahui frater, kami dan feliks mengapitinya sehingga terkesan
ditutupi. Usaha kami berhasil. Gusti satu-satunya yang tidak mengenakan
sepatu saat misa pagi itu. Namun persoalan belum selesai.
****
Dalam
aturan, tepat pukul 07.00 kami harus masuk ruangan kelas. Kala itu
ujiannya di SDK Reo III, yang terletak di bagian Utara lapangan sepak
bola Reo. Jaraknya lumayan dekat dengan area pertokoan dan pasar. Untuk
sampai ke sana, kami harus berjalan kaki selama 30 menit dari Aula
tempat kami menginap.
Setelah misa usai, kami bertiga
tergesa-gesa kembali ke aula. Kami lewatkan saja makan pagi itu.
Membongkar semua isi tasnya, satu per satu kami mengeluarkan
barang-baranngnya. Ada beberapa toples kue, coklat, dan obat-obatan.
Tasnya sesak dipenuhi toples makanan tersebut. Konsentrasiku dan Feliks
terganggu, antara mencari sepatu dan melihat makanan-makanan yang ada
dalam toples itu. Rupanya Gusti tahu apa yang ada dalam pikiran kami.
Dibukanya sebuah toples, ditawarinya kami makan, sekaligus diperingati.
“Satu-satu
ya.” Tanpa senyum yang terlintas di wajahnya. Entah karena ia masih
memikirkan sepatunya yang hilang atau takut kehabisan kuenya.
“Kita
harus lapor ke Pater saja.” kata feliks yang idenya mulai bermunculan
ketika mengunyah kue. Rupanya ide harus diransang dengan kue.
“Setuju”
kataku. “jangan-jangan ada yang mengambilnya tadi malam.” Kebetulan
pada malam harinya, kami bermain kejar-kejaran dalam aula itu. Ada yang
saling lempar, bahkan hendak berkelahi. Dalam pikirannku, barangkali ada
yang tidak sengaja mengambilnya.
Lalu kami berlari keluar
dari ruangan itu. Dengan tergesa-gesa kami melewati lorong kota itu.
Setelah melewati lapangan bola kaki, kami menyuruh Gusti bertemu pastor
yang akan mengawasi kami ujian. Sementara kami langsung menuju ruang
kelas dan segera mengambil tempat duduk.
***
Peserta
ujian tiba-tiba diam ketika pastor masuk ruang kelas. Padahal suara
gaduh diskusi tadi memekakan telinga. Raut pastor tidak seperti
biasanya. Kemarin ia tersenyum melihat kami, bahkan sesekali bercanda.
Kali ini ia menatap tajam seolah-olah menyelidiki bola mata kami. Satu
per satu kami dilihatnya.
“Siapa yang menyembunyikan
sepatunya Gusti?” tanyanya dengan nada marah. Kulihat Gusti menyusuli
pastor masuk ruang kelas. Kami semua melihatnya. Ia tertunduk lesu,
pipinya basah, dan hanya mengenakan sendal. Ia menangis.
Semua
anak-anak diam. Tak seorang pun mengeluarkan suara, kecuali suara
batuknya Tommy yang muncul sesekali. Tidak terbiasa mandi di sungai,
Tommy yang berasal dari Cibal itu berenang di (Sungai) Wae Pesi cukup
lama kemarin. Alhasil dia harus berhubungan dengan batuk.
“Kalau
jadi anak seminari itu harus jujur. Ini tes paling utama. Kalau tidak
ada yang jujur, hari ini tidak akan ada tes lagi” terang pastor. Sontak
kami terperanjat, memandang satu sama lain, sementara suara batuk Tommy
semakin tak karuan, malah menjadi-jadi.
“Tommy, jangan-jangan kamu yang mengambilnya.”
“Tidak pastor.” jawabnya gugup. Batuknya langsung lenyap.
Pastor
menyuruh Gusti duduk. Ia persis duduk di depanku. Aku memperhatikan
kakinya. Kelihatanya bersih karena tadi ia menggunakan body lotion,namun besar kakinya bukan main.
“Hari
ini kalian tetap ujian. Setelah ujian, nanti saya cek tas satu per
satu.” kata pastor sambil membongkar soal ujian yang masih terbungkus.
Kami semuanya tampak gugup. Kala itu aku takut, barangkali seseorang
dengan iseng menyembunyikan sepatu itu dalam tas orang lain. Ya, seperti
kata pepatah melempar batu sembunyi tangan begitulah. Selama ujian aku
tidak tenang. Rupanya anak-anak yang lain juga berpikiran tentang hal
yang sama.
Aku melahap semua soal itu dengan cepat. Waktu
masih tersisa cukup lama. Aku melihat keluar jendela kaca, memandangi
lapangan Reo yang rumputnya mulai menguning karena musim kemarau
berkepanjangan. Di sana terlihat beberapa ekor kambing sedang berjalan
kesana-kemari.
****
“Waktu habis. Kumpulkan jawaban.” ujar Pastor. Anak-anak berhamburan ke
depan ruang kelas. Aku pun tampak tergesa-gesa mengumpulkan jawaban
ujian. Aku ingin cepat-cepat pulang ke aula tempat penginapan ingin
memeriksa tas. Hanya Gusti yang terlihat cukup tenang. Ia masih duduk
membereskan kertas-kertas yang tercecer di atas mejanya.
Di koridor yang terletak bagian depan ruang kelas kami
berdesak-desakkan karena sempit. Seketika konsentrasi kami buyar dan
terbius oleh suara sepeda motor yang berjalan mendekat ke arah kami.
Sejak pagi tadi, suasana di sekitar kompleks SDK Reo III ini cukup
tenang. Tak ada kendaraan yang melintas. Wajarlah kami kaget dengan
kedatangan sepeda motor itu.
“Papa!” teriak
Gusti mengagetkan kami. Dia berlari mendekat dan merangkul ayahnya. Kami
tercengang melihat relasi anak dan ayahnya yang sedemikian dekat itu.
Ayahnya kumudian datang menghampiri Pastor yang sudah berdiri di antara
kami di koridor depan ruang kelas.
“Pagi Romo! “ sapa ayahnya sambil menyodorkan tangan untuk berjabat tangan dengan pastor.
“Mohon maaf Romo!” ujar ayahnya dengan nada merendah. Pastor memperlihatkan raut wajah yang
bingung.
“Kemarin sepatu kaki kanannya Gusti lupa di rumah. Kami lupa masukkan
ke dalam tas saking konsentrasi pada toples-toples makanannya.” Pastor
hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ia tersenyum menatap Gusti yang
berdiri menggandeng tangan ayahnya.
Kami semua
tertawa saat mendengar pengakuan ayahnya. Aku melihat Feliks menatap ke
arahku. Kami tersenyum, lalu berjalan pulang bersama-sama ke aula
penginapan.
6 September 2013
Membeli Cinta
-
Di sebuah daerah tinggalah seorang saudagar yang kaya raya. Dia mempunyai
seorang hamba yang sangat lugu. Begitu lugunya, hingga orang memanggilnya
“si bo...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar