Lima orang teman berjanji akan bertemu di stasiun Lempuyangan,
Yogyakarta tiga puluh menit sebelum pukul 16.30. Kreta progo, kelas
ekonomi yang tiketnya seharga 50 ribu akan berangkat pada pukul itu.
Ketiga orang sudah tiba di sana, tepat lima belas menit sebelum itu.
Dua orangnya belum. Ketiganya mulai cemas. Mata ketiganya mulai
berkeliaran memandang sekitar, apakah dua orang teman itu mulai tampak
di antara kerumunan itu.
Kegusaran semakin
tidak dapat disembunyikan dari wajah ketiganya saat bunyi pluit dari
arah kreta sudah terdengar beberapa kali. Apalagi ruangan pengecekan
tiket masuk mulai sepi pertanda semua penumpang hampir semuanya sudah
masuk ke dalam kereta.
“Aduh.... bagaimana ini?” ujar salah seorang di antara ketiganya mulai membuka perdebatan.
“Kita tunggu saja mereka.”
“Tidak bisa. Ini semua gara-gara kamu. Ngapain ikut-ikut 5 cm segala, bahkan lebih ekstrem. Tidak bawa hp, uang belanja hanya 100 ribu, dan jalan masing-masing di kota ini.”
“Tapi kita tetap tunggu mereka. Mereka teman kita.”
“Pokoknya tidak bisa. Esok kita ujian di kampus, aku tidak mau tiket
kita hangus. Apalagi uangku tinggal 20 ribu. Mana cukup beli tiket baru.
Uangmu sisa berapa?”
“ tiga puluh ribu”
“Kamu?”
“sepuluh ribu”
“Itu kan, kita berangkat aja duluan. Nanti kalau esok mereka tidak sampai, kita bilang aja sama dosen mereka sakit, daripada kita berenam gak ikut ujian. Gimana?”
“Oke.”
Ketiganya lekas berlari ke tempat pengecekan tiket. Dengan tergesa-gesa
mereka naik ke gerbong kreta. Kreta pun mulai berjalan perlahan-lahan.
*****
Lima menit berlalu. Salah satunya yang berbadan kurus, tinggi, dengan
wajah oval baru tiba di stasiun. Ia menunduk, kedua tangannya berpangku
di lutut, dan nafasnya masih tersengal-sengal. Ia memandang tempat
pengecekan tiket cukup lama.
“hey bro!”
ia berbalik, seseorang menempuk bahunya. Temannya si gendut ternyata
baru datang juga. Bibirnya berminyak seperti telah memakai liptik, bola
matanya berbinar-binar, senyumannya mengembang dari bibirnya yang
melebar.
“Kita sudah terlambat, teman” kata Tony, si kurus itu dengan wajah yang mulai pucat.
“hahahahhaha....aku terlambat karena singgah makan dulu tadi bro. Kamu kenapa terlambat?”
“Aku jalan kaki dari daerah Babarsari. Temanku lagi kuliah tadi, gak bisa diantar. Lagian aku mau jalan kaki. Ternyata jauh sekali teman. Aku hanya terlambat sedikit saja tadi.”
“Udahlah tenang aja. Kita beli tiket baru lagi saja.”
“Uang kamu masih cukup?”
“hahahhaha....kemarin aku bawa kartu ATM. Kamu kan tahu, aku laparnya
berapa kali sehari, mana cukup uang 100 ribu tinggal di sini. Aku bawa
diam-diam saja. Jangan lapor mereka ya. Habis memang duit bro. Sekarang
yang tersisa cuman ini!” Ia tertawa sambil mengipas-ngipaskan
selembar uang 50 ribu sambil menunjuk tasnya yang sudah padat dengan
barang-barang belanjaan selama di Jogja.
“Ayo kita beli tiket lagi !” lanjutnya
“Aku tak punya uang lagi teman. Dua puluh ribu aja sisanya sekarang.”
ujar Tony sambil mengambil koran dibentangkan di atas lantai di luar
stasiun itu. Ia lantas duduk di situ.
“Kok bisa? Emang kamu belanja apa?”
“Aku gak belanja. Cuman pas ke sini, temanku lagi kekurangan uang.
Kiriman bulanannya belum ada. Jadi uangku, kami pakai bersama untuk
makan.”
“Aduh teman, rencananya bagaimana ini? Esok ‘kan kita ujian. Aku belum belajar apa-apa nih.”
“Kamu mau membiarkan aku sendiri di sini!” Nada suara Tony mulai
meninggi. Matanya membelalak. Beberapa orang di sekitar itu mulai
memandang mereka. Tony kembali menundukkan kepala.
“hehehhe...” Si gendut masih tampak rileks. “ Begini saja, kartu ATM-ku
kamu pegang. kalau esok aku tiba di Jakarta, aku transfer lagi. Soal
ujian, nanti aku bilang sama dosennya. Alasannya aku yang pikir.
Bagaimana?”
“Oke.”
Keduanya
lalu mengambil ballpoint dalam tas, lalu menulis password ATM itu. Lalu
si gendut berjalan menuju loket penjualan tiket. Dia berangkat pukul
18.00 sore itu. Keduanya menunggu di sana. Tepat, pukul 06.00, si gendut
pamitan. Dia berangkat ke Jakarta.
****
Sekarang yang tersisa hanya Tony. Dia duduk saja di salah satu burjo di luar stasiun sambil menikmati segelas kopi.
“Boleh tanya, Mas?” seorang gadis tiba-tiba berada tepat di depannya.
Berwajah bulat, kulitnya putih bening, berhidung mancung. Rambutnya di
sisir dari batas depan rambut di tarik ke belakang menjulur bebas hingga
bahu. Stelannya berkelas. Balutan kemeja putih dan rok hitam, ditambah
sepatu tumit tinggii berwarna merah.
“Boleh.”
“Tadi, mas yang ketinggalan kreta dan gak cukup uang untuk kembali ke Jakarta?” tanyanya dengan senyuman manja.
“Iya. Tapi tahu darimana, mbak?”
“heheheh panggil Rani aja. Soal itu gak usah bahas aja. Kamu bisa bantu aku?”
“Bantu apa, mbak, eh maksudnya Rani?” Tony terlihat gugup.
“Kamu bisa gak kamu antarin barang titipan aku ke Jakarta. Nanti aku yang belikan tiket buat kamu. Ini diperlukan cepat dan aku gak bisa ke sana sekarang. Please?” Rani semakin kelihatan manja. Alis mata kanannya bergerak naik.
“Oke.” Tony tersenyum, raut wajahnya cerah.
“Ayo kita ke tempat penjualan tiket. Sebentar lagi kreta eksekutif
berangkat. Kamu naik kreta eksekutif aja. Kita sekarang ke stasiun
tugu.”
Keduanya mendekati sebuah mobil CR-V yang
diparkirkan dekat situ. Lalu meninggalkan tempat itu, segera menuju ke
stasiun Tugu.
*****
“Ton, kalau kamu udah nyampe di stasiun Senen, kamu gak usah turun dulu ya. Nanti temanku yang cari kamu di gerbong. Soalnya kamu gak bawa hp jadi susah nanti carinya kalau kamu udah
turun dari kreta. Ini buat kamu?” ujar wanita itu sambil menyerahkan
beberapa lembar uang berwarna merah. Dipastikan itu lembaran uang
seratus ribu.
Tony melongo sejenak. Ia seperti tak percaya. Diterimanya setumpuk uang itu.
“Terima kasih Ran.”
“Oke sama-sama. Hati-hati ya.”
Kereta pun berangkat dari stasiun tunggu tepat pada pukul 07.00. Tony
memandang ke jendela. Cahaya lampu dari rumah-rumah semakin lama semakin
sedikit. Hamparan sawah tidak tidak terlihat begitu jelas saat malam
begini.
Ia mulai merenung. Pikirannya kembali
disinggahi wajah Rani. Tak disangkanya gadis itu begitu baik padanya.
Tak diketahui apa alasannya. Sakit hatinya karena ketinggalan kreta
telah terobati. Sebentar lagi ia sampai di Jakarta. Dia sudah
bersiap-siap cerita dengan temannya.
*****
Masih subuh, kreta itu sudah tiba di stasiun Senen. Setelah beberapa
hari akhirnya ia kembali ke kota metropolitan ini. Gedung pencakar
langit kembali menghiasi pandangannya.
“Ayo turun de?” ajak salah seorang penumpang di sampingnya.
“Duluan pak. Aku masih menunggu seseorang.”
Dia masih duduk di situ. Lorong masih padat dengan manusia. Tidak
berapa lama gerbong itu sudah mulai sepi. Lalu hanya dia yang tersisa di
gerbong itu.
“Hy! Kamu Tony ya?”
Dia menoleh dan mengangguk-anggukan kepala saat melihat seorang lelaki
yang berumur sekitar 50-an itu berjalan mendekatinya. Dahinya mulai
meluas karena rambutnya mulai menipis bagian depannya. Kumisnya tipis,
hanya seperti garis spidol hitam kecil. Hidungannya mancung, bermata
bulat, dan berpipi lesung. Jaket kulit hitamnya tidak dapat
menyembunyikan ukuran perutnya yang condong ke depan.
“Kirimannya ada?”
“Iya pak. Hanya sebuah koper kecil.” Tony mengambil koper itu dari
bagasi di atas tempat duduknya. Lalu ia menyerahkannya ke bapak itu.
“ Stoppp!!! Jangan bergerak. Diam di tempat”
Beberapa orang masuk ke dalam kereta. tiga orang diantaranya
mengacungkan pistol ke arah keduanya. Ada yang menggunakan topi ninja.
Dengan cekatan mereka memborgol kedunya.
Tony bingung. Wajahnya pucat. Sementara bapak yang ia temui itu masih memamerkan senyum yang dibuat-buat.
Salah seorang membuka koper itu. Kepala Tony menengok, ingin mengetahui
isinya. Dilihatnya kumpulan bungkusan menumpuk padat dalam koper itu.
kebanyakan berisi butir-butir pil kecil. Sedangkan yang lain berisi
bubuk berwarna putih.
Tony melihat lagi orang-orang itu. ditatapinya cermat. Dibaju salah seorang di antaranya tertulis BNN.
Mengenang kejadian nyaris ketinggalan Kreta di stasiun Lempuyangan, Jumat, 05 Oktober 2010..
Membeli Cinta
-
Di sebuah daerah tinggalah seorang saudagar yang kaya raya. Dia mempunyai
seorang hamba yang sangat lugu. Begitu lugunya, hingga orang memanggilnya
“si bo...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar