Pages

Ads 468x60px

Minggu, 09 Maret 2014

Stasiun Lempuyangan

Lima orang teman berjanji akan bertemu di stasiun Lempuyangan, Yogyakarta tiga puluh menit sebelum pukul 16.30. Kreta progo, kelas ekonomi yang tiketnya seharga 50 ribu akan berangkat pada pukul itu.

             Ketiga orang sudah tiba di sana, tepat lima belas menit sebelum itu. Dua orangnya belum. Ketiganya mulai cemas. Mata ketiganya mulai berkeliaran memandang sekitar, apakah dua orang teman itu mulai tampak di antara kerumunan itu.


              Kegusaran semakin tidak dapat disembunyikan dari wajah ketiganya saat bunyi pluit dari arah kreta sudah terdengar beberapa kali. Apalagi ruangan pengecekan tiket masuk mulai sepi pertanda semua penumpang hampir semuanya sudah masuk ke dalam kereta.

              “Aduh.... bagaimana ini?” ujar salah seorang di antara ketiganya mulai membuka perdebatan.

             “Kita tunggu saja mereka.”

             “Tidak bisa. Ini semua gara-gara kamu. Ngapain ikut-ikut 5 cm segala, bahkan lebih ekstrem. Tidak bawa hp, uang belanja hanya 100 ribu, dan jalan masing-masing di kota ini.”

             “Tapi kita tetap tunggu mereka. Mereka teman kita.”

             “Pokoknya tidak bisa. Esok kita ujian di kampus, aku tidak mau tiket kita hangus. Apalagi uangku tinggal 20 ribu. Mana cukup beli tiket baru. Uangmu sisa berapa?”

            “ tiga puluh ribu”

            “Kamu?”

           “sepuluh ribu”

           “Itu kan, kita berangkat aja duluan. Nanti kalau esok mereka tidak sampai, kita bilang aja sama dosen mereka sakit, daripada kita berenam gak ikut ujian. Gimana?”

          “Oke.”

          Ketiganya lekas berlari ke tempat pengecekan tiket. Dengan tergesa-gesa mereka naik ke gerbong kreta. Kreta pun mulai berjalan perlahan-lahan.

                                                                                      *****

          Lima menit berlalu. Salah satunya yang berbadan kurus, tinggi, dengan wajah oval baru tiba di stasiun. Ia menunduk, kedua tangannya berpangku di lutut, dan nafasnya masih tersengal-sengal. Ia memandang tempat pengecekan tiket cukup lama.

         “hey bro!” ia berbalik, seseorang menempuk bahunya. Temannya si gendut ternyata baru datang juga. Bibirnya berminyak seperti telah memakai liptik, bola matanya berbinar-binar, senyumannya mengembang dari bibirnya yang melebar.

         “Kita sudah terlambat, teman” kata Tony, si kurus itu dengan wajah yang mulai pucat.

         “hahahahhaha....aku terlambat karena singgah makan dulu tadi bro. Kamu kenapa terlambat?”

        “Aku jalan kaki dari daerah Babarsari. Temanku lagi kuliah tadi, gak bisa diantar. Lagian aku mau jalan kaki. Ternyata jauh sekali teman. Aku hanya terlambat sedikit saja tadi.”

        “Udahlah tenang aja. Kita beli tiket baru lagi saja.”

        “Uang kamu masih cukup?”

        “hahahhaha....kemarin aku bawa kartu ATM. Kamu kan tahu, aku laparnya berapa kali sehari, mana cukup uang 100 ribu tinggal di sini. Aku bawa diam-diam saja. Jangan lapor mereka ya. Habis memang duit bro. Sekarang yang tersisa cuman ini!” Ia tertawa sambil mengipas-ngipaskan selembar uang 50 ribu sambil menunjuk tasnya yang sudah padat dengan barang-barang belanjaan selama di Jogja.

        “Ayo kita beli tiket lagi !” lanjutnya

        “Aku tak punya uang lagi teman. Dua puluh ribu aja sisanya sekarang.”  ujar Tony sambil mengambil koran dibentangkan di atas lantai di luar stasiun itu. Ia lantas duduk di situ.

        “Kok bisa? Emang kamu belanja apa?”

        “Aku gak belanja. Cuman pas ke sini, temanku lagi kekurangan uang. Kiriman bulanannya belum ada.  Jadi uangku, kami pakai bersama untuk makan.”

       “Aduh teman, rencananya bagaimana ini? Esok ‘kan kita ujian. Aku belum belajar apa-apa nih.”

       “Kamu mau membiarkan aku sendiri di sini!” Nada suara Tony mulai meninggi. Matanya membelalak.  Beberapa orang di sekitar itu mulai memandang mereka. Tony kembali menundukkan kepala.

       “hehehhe...” Si gendut masih tampak rileks. “ Begini saja, kartu ATM-ku kamu pegang. kalau esok aku tiba di Jakarta, aku transfer lagi. Soal ujian, nanti aku bilang sama dosennya. Alasannya aku yang pikir. Bagaimana?”

       “Oke.”

       Keduanya lalu mengambil ballpoint dalam tas, lalu menulis password ATM itu. Lalu si gendut berjalan menuju loket penjualan tiket. Dia berangkat pukul 18.00 sore itu. Keduanya menunggu di sana. Tepat, pukul 06.00, si gendut pamitan. Dia berangkat ke Jakarta.

                                                                          ****

        Sekarang yang tersisa hanya Tony. Dia duduk saja di salah satu burjo di luar stasiun sambil menikmati segelas kopi.

       “Boleh tanya, Mas?” seorang gadis tiba-tiba berada tepat di depannya. Berwajah bulat, kulitnya putih bening, berhidung mancung. Rambutnya di sisir dari batas depan rambut di tarik ke belakang menjulur bebas hingga bahu. Stelannya berkelas. Balutan kemeja putih dan rok hitam, ditambah sepatu tumit  tinggii berwarna merah.

      “Boleh.”

      “Tadi, mas yang ketinggalan kreta dan gak cukup uang untuk kembali ke Jakarta?” tanyanya dengan senyuman manja.

      “Iya. Tapi tahu darimana, mbak?”

      “heheheh panggil Rani aja. Soal itu gak usah bahas aja. Kamu bisa bantu aku?”

      “Bantu apa, mbak, eh maksudnya Rani?”  Tony terlihat gugup.

      “Kamu bisa gak kamu antarin barang titipan aku ke Jakarta. Nanti aku yang belikan tiket buat kamu. Ini diperlukan cepat dan aku gak bisa ke sana sekarang. Please?” Rani semakin kelihatan manja. Alis mata kanannya bergerak naik.

     “Oke.” Tony tersenyum, raut wajahnya cerah.

     “Ayo kita ke tempat penjualan tiket. Sebentar lagi kreta eksekutif berangkat. Kamu naik kreta eksekutif aja. Kita sekarang ke stasiun tugu.”

      Keduanya mendekati sebuah mobil CR-V yang diparkirkan dekat situ. Lalu meninggalkan tempat itu, segera menuju ke stasiun Tugu.

                                                                              *****

      “Ton, kalau kamu udah nyampe di stasiun Senen, kamu gak usah turun dulu ya. Nanti temanku yang cari kamu di gerbong. Soalnya kamu gak bawa hp jadi susah nanti carinya kalau kamu udah turun dari kreta. Ini buat kamu?” ujar wanita itu sambil menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah. Dipastikan itu lembaran uang seratus ribu.

     Tony melongo sejenak. Ia seperti tak percaya. Diterimanya setumpuk uang itu.

      “Terima kasih Ran.”

      “Oke sama-sama. Hati-hati ya.”

       Kereta pun berangkat dari stasiun tunggu tepat pada pukul 07.00.  Tony memandang ke jendela. Cahaya lampu dari rumah-rumah semakin lama semakin sedikit. Hamparan sawah tidak tidak terlihat begitu jelas saat malam begini.

      Ia mulai merenung. Pikirannya kembali  disinggahi wajah Rani. Tak disangkanya gadis itu begitu baik padanya. Tak diketahui apa alasannya.  Sakit hatinya karena ketinggalan kreta telah terobati. Sebentar lagi ia sampai di Jakarta. Dia sudah bersiap-siap cerita dengan temannya.

                                                                            *****

        Masih subuh, kreta itu sudah tiba di stasiun Senen. Setelah beberapa hari akhirnya ia kembali ke kota metropolitan ini. Gedung pencakar langit kembali menghiasi pandangannya.

        “Ayo turun de?” ajak salah seorang penumpang di sampingnya.

        “Duluan pak. Aku masih menunggu seseorang.”

        Dia masih duduk di situ. Lorong masih padat dengan manusia. Tidak berapa lama gerbong itu sudah mulai sepi. Lalu hanya dia yang tersisa di gerbong itu.

        “Hy! Kamu Tony ya?”

        Dia menoleh dan mengangguk-anggukan kepala saat melihat seorang lelaki yang berumur sekitar 50-an itu berjalan mendekatinya. Dahinya mulai meluas karena rambutnya mulai menipis bagian depannya. Kumisnya tipis, hanya seperti garis spidol hitam kecil. Hidungannya mancung, bermata bulat, dan berpipi lesung. Jaket kulit hitamnya tidak dapat menyembunyikan ukuran perutnya yang condong ke depan.

        “Kirimannya ada?”

        “Iya pak. Hanya sebuah koper kecil.” Tony mengambil koper itu dari bagasi di atas tempat duduknya. Lalu ia menyerahkannya ke bapak itu.

        “ Stoppp!!! Jangan bergerak. Diam di tempat”

        Beberapa orang masuk ke dalam kereta. tiga orang diantaranya mengacungkan pistol ke arah keduanya. Ada yang menggunakan topi ninja. Dengan cekatan mereka memborgol kedunya.

       Tony bingung. Wajahnya pucat. Sementara bapak yang ia temui itu masih memamerkan senyum yang dibuat-buat.

       Salah seorang membuka koper itu. Kepala Tony menengok, ingin mengetahui isinya. Dilihatnya kumpulan bungkusan menumpuk padat dalam koper itu. kebanyakan berisi butir-butir pil kecil. Sedangkan yang lain berisi bubuk berwarna putih.

       Tony melihat lagi orang-orang itu. ditatapinya cermat. Dibaju salah seorang di antaranya tertulis BNN.



Mengenang kejadian nyaris ketinggalan Kreta di stasiun Lempuyangan, Jumat, 05 Oktober 2010..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text