Pages

Ads 468x60px

Minggu, 09 Maret 2014

Di Balik Jeruji Besi


Kuperhatikan seluruhruangan itu. Dindingnya dipenuhi coretan. Rasa asing menyergapku. Bau tengikmenyengat hidung. Tak ada AC, bahkan kipas angin sekalipun. Rasa gerah bukanmain. Keringat mengucur deras.

Di salah satu pojokruangan itu aku duduk merenung. Kusandarkan punggungku pada tembok Kaki kutekuk.Sesekali kuusap keringat di dahi dengan tangan. Kutatap hampa deretan besi yangmembatasi gerakku dalam ruang ini saja.


Aku semakin larut dalamgelora permenungan di bawah sinar lampu yang pucat dari koridor. Meski malamsemakin larut aku belum benar-benar mengantuk. Kenapa tidak kuturuti sajakemauan istriku, pikirku dalam hati. Aku memang sadar, percuma sebenarnyamemikirkan hal itu lagi. Namun, entah kenapa pikiranku hendak ingin mengulanglagi semua kejadian ini.

“Mas, pulang, aja. Kita menikmati kehidupan di siniapa adanya saja” ujar istriku seminggu yang lalu.

“Aku masih malu. Apakata-kata orang di kampung nanti.”

“Apanya yang malu, Mas?Kita terima kenyataan aja.” Ia merasaiba dengan nasibku. Secepat itu ia mengubah amarahnya dengan kata-kata manispenyejuk hati. Hampir tiga tahun ini, kami tidak pernah bertemu. Pahadal usiapernikahan kami sudah menghampiri lima tahun.

“Oke nanti aku pulangsayang. Tapi aku menunggu rejeki selama sebulan ke depan. Siapa tahu nasibmujur berpihak kepada kita.”

Ada rasa lega setelahbeban yang teramat berat ini kusampaikan kepadanya. Benar kata istriku, akuharus pulang. Tapi kini semuanya itu terlambat.

***
Semua kenyataan burukini bermula dari perjumpaan dengan Anton. Ia adalah sahabatku sejak SD hinggaSMP. Namun setamat SMP ia merantau ke Jakarta. Nasibnya mujur. Sekarang ia terbilangsukses dalam berbisnis. Tiap kali pulang libur, ia mengenakan sepatu kulit,ribet gelap, celana jeans bermerek, dan kemeja lengan panjang berwarna cerah. Dikampung ia telah membangunkan rumah berkelas elite untuk kedua orang tuanya.

Tiga tahun lalu iapulang kampung. Aku berjumpa dengannya di suatu sore karena ia sengaja datangmenemuiku di warung. Dia telah mengetahui kalau aku sudah menikah dan membukausaha warung. Semenjak nikah dengan Jane, aku coba merambah dunia dagang. Diwarungku tersedia barang-barang keperluan sehari-hari untuk warga kampung.

“Bagaimana usahamu dikampung?”

“Cukuplah untukmempertahankan hidup”

“Jangan merendah kamu.Bilang aja untungnya banyak!” Iamemancingku untuk bercerita panjang lebar. Sudah lama aku berniat menutup usahaitu. Aliran uangnya tidak lancar. Warga di kampung rata-rata mengambil sajadulu barang keperluan sehari-hari tanpa pembayaran cash. Namun, baru setelah hasil pertanian dijual, utang-utangnyadibayar. Aku dan Jane tidak melihat adanya keuntungan dari usaha itu.

“Susah berkembang usahamacam itu. Kamu di Jakarta aja! Di sana kita benar-benar profesional dalamberbisnis. Bisnis sekecil apapun!”

Itulah awal kisahkumengapa aku berada di Jakarta. Namun ada alasan lain juga yang menguatkan akuuntuk meninggalkan kampung. Aku dan Jane kerap kesal dengan warga kampung. Tiapbulan selalu dimintai kolekte untuk persembahan kepada leluhur. Konon,diceritakan kampung kami dijaga oleh para leluhur. Mereka mendiami ke empatpohon yang berada di empat sudut kampung. Para leluhur harus selalu disuapitiap bulan, jika tidak malapetaka akan menghampiri desa.

“Tidak usah sumbang.Semua ini takhayul!” kataku kepada Jane ketika ia mengambil uang dari lemari.Ia mau memberikannya kepada petugas penagih yang tiap bulan berjalan dari rumahke rumah.

“Sudahlah Mas!”

Jane selalumemperingatkanku. Katanya, meskipun itu tidak rasional, namun kita wajibmemberikan uang sumbangan itu. Jane takut, kami akan dikucilkan warga kampungkalau tidak menaati kewajiban itu.

Ajakan Anton sangat menarikdi tengah situasi kegalauanku itu. Aku berdiskusi dengan Jane. Ia sepakat.Beberapa malam setelah itu acara adat digelar di rumahku. Seekor ayam jantanberwarna putih disembelih. Itu pertanda sekali merantau, aku baru boleh pulangke rumah setelah membawa kesuksesan bagi keluarga.

Setelah sebulan diJakarta, aku mulai membuka warung. Aku menjual rokok dan barang-barangkeperluan sehari-hari di tepi sebuah jalan protokol.  Sebuah rak berukuran kecil kupakai untukmemamerkan barang-barang itu. Beberapa termos kusiapkan. Banyak pelanggansinggah meminum kopi.

Namun kini kusadari,membuka warung di kota besar tidak semudah yang dibicarakan Anton.

***

“Bangun!”

Aku tersentak kaget.Bunyi pukulan tongkat besi bersentuhan dengan deretan besi yang memagariruangan ini terdengar begitu nyaring dan memekakkan telinga. Kulihat seorangpetugas berseragam membukakan pintu. Baru aku sadar, semalam aku tertidur lelapsetelah mengelamun cukup lama.

“Anda ikut ke kantor!”ucap pegawai itu. Ia menyilakanku keluar dari ruang itu. Ia berjalan di depan.Kubuntuti dia sampai di sebuah ruangan. Beberapa pegawai berpakaian dinas sudahmenunggu di sana.

“Anda dipenjarakan disini selama dua bulan. Anda tidak punya KTP dan mendirikan usaha di kawasanterlarang. Kecuali kalau Anda dapat membayar denda.” ucap salah seorang diantara mereka.

Dadaku berdegup kencang.Mukaku seketika pucat pasi. Badan terasa dingin. Kucuran keringat mengalir dipunggungku. Tak sepatah katapun yang dapat kuucapkan. Lalu, salah seorangmenarik lenganku. Aku kembali berjalan di koridor itu. Kami melewati beberapakamar para tahanan.

Tidak kusangka, ruanganini menjadi tempat tinggalku selama dua bulan. Semalam saja sudah memuakkan.Tapi bukan soal ruang itu yang mendominasi isi kepalaku. Aku menyesal, mengapaaku tidak menuruti perkataan Jane. Kalau saja aku percaya pada perkataannya,aku tidak mungkin berada di sini.

***

Di balik jeruji besi ini aku baru menyadari bahwa substansidunia ini sama. Desa dan Kota tidak ada bedanya. Tagihan bulanan demi leluhuritu kini hanya berubah bentuk di kota metropolitan ini.

“Bang, mana uang keamanannya?” ujar pria bertatosuatu ketika yang menjadi awal dari peristiwa nas ini.
Nadanya membentak.Postur tubuhnya besar. Otot lengannya kekar.

“Keamanan apa?”

 “Abang barudi sini ya?”

Dia tertawa menyindir.

“Ini daerah kekuasaan aku. Abang  mau di rampok sama orang lain?”

 Aku hanyamengeleng-gelengkan kepala.

“Justru itu, Aku dan beberapa teman  menjaga daerah di sini. Biar Abang bisaberdagang dengan aman dan lancar.”

Aku tidak mau berdebat. Kuserahkan uang sepuluhribuan. Namun, itu hanya sebuah awal. Kemudian ia datang tiap seminggu sekali.Belakangan ini ia datang tak menentu. Permintaannya pun macam-macam. Tidakhanya uang, rokok diambil begitu saja,bahkan ia kerap minum kopi tanpa bayar.

Semenjak itu usahaku semakin tidak menentu. Penghasilantidak cukup untuk ditabung. Semuanya lenyap untuk membayar kos dan keamanan.  Janelah yang selalu menjadi korban. Aku kerapmenipunya. Hampir tiap bulan Jane menanyakan perkembangan usahaku. Aku selalumengelak. Minggu lalu Jane marah.

“Mas, aku bosan dengar jawabanmu!”

“Sabarlah Jane. Jadi orang kaya perlu sabar.”

“Tapi, ini aneh Mas. Jangan-jangan kamu  sudah punya isteri baru di sana dan melupakanaku!”
Aku mengalah. Lalu aku lalu jujur padanya.Kuceritakan semua persoalan. Usahaku gagal. Tapi aku tidak mungkin pulang.Kujelaskan padanya, aku malu pulang hanya menceritakan kegagalan. Namun Janetetap memaksaku pulang. Aku meminta kesempatan sebulan lagi.

***

Semenjak itu, akuberpikir keras. Barangkali ada sedikit laba yang dapat kuperoleh selama sebulanke depan. Dengan laba itu setidaknya ada sesuatu yang ingin kuberikan kepada Jane.Dua hari lalu aku mengutarakan kegundahan hatiku itu kepada Benny. Ia adalahpelanggan daganganku. Setiap kali melewati jalan itu, ia berhenti sejenak,membeli rokok, dan meminum kopi. Aku tak tahu persis tentang dia. Yang jelas,letak kosnya tidak terlalu jauh dari tempat aku berdagang.

Ia geram mendengarceritaku. Menurutnya, pemerasan tidak akan ada lagi. Dia bersedia membantuku.Aku menemukan titik cerah. Badannya kekar. Tinggi badannya hampir dua meter. Iakelihatan atletis.

“Kita akan menunggu diadi sini.” katanya sambil mengepalkan tangan. Aku senang. Akhirnya, aku dapatberdagang dengan lancar, pikirku. Jika sebulan ini usahaku lancar, aku mengirimkansesuatu untuk Jane. Lalu aku meminta untuk bertahan lagi selama dua bulan, tigabulan, dan seterusnya.

Matahari berada tegaklurus ketika “preman” itu datang menghampiri tempatku berdagang. Dia tersenyum kepadaku.Diambilnya sebatang rokok. Ia dicegat Benny. Keduanya beradu mulut. Benny inginmelayangkan pukulan, tapi kutahan. Preman itu beranjak pergi.

“Kalian pikir akubohong jadi keamanan di sini?” katanya sambil melangkahkan kaki menjauhi kami. Ternyataitulah tanda-tanda petaka yang menimpaku.

***

Malam kemarin tidakseperti malam-malam sebelumnya. Langit begitu cerah. Bintang bertaburanmematulkan cahaya klap-klip secara berganti-gantian. Udara malam menyapalembut. Padahal sepekan terakhir hujan mengguyur. Aku sibuk melayani pembelidengan wajah sumringah. Sesekali bayangan Jane menyinggahi benakku.

Sirine mobil polisiterdengar dari kejauhan. Lama-lama makin dekat. Mula-mula kuanggap itu halbiasa. Tapi mobil itu berhenti tepat di depan warungku. Beberapa orang polisiturun. Mereka menghampiri diriku.

“Anda ditangkap!” seseorangmenunjukkan surat penangkapan. Aku tidak paham. Dia menerangkan bahwa akuberdagang di kawasan terlarang. Katanya, itu bukan tempat berjualan. Laluditanyanya KTP-ku. Aku juga tidak punya. Aku pasrah, lalu aku dibawa ke mobilpolisi itu

“Rasain loe!”

Suara itumengagetkanku. Aku menoleh. Ternyata preman itu lagi. Kulihat ia melototiku.Dia bercakap-cakap dengan para polisi itu. Dia menawarkan sebungkus rokok.Kulihat mereka membakar rokok berganti-gantian. Sesekali gelak tawa menyelapercakapan mereka.

“Apakah arti semua ini?”tanyaku dalam hati. Namun, aku tidak berani mencari jawaban atas pertanyaan itudi kota metropolitan ini. Aku hanya mulai paham,  “para leluhur” di kota ini benar-benar nyata.Mereka juga membutuhkan persembahan.

***

Lima belas hari telah berlalu.Bau tengik mulai tidak terasa. Namun hari-hari kesepian ini belum pernahmenguap dari kehidupanku. Aku bagaikan pulau yang sendirian di lautan. Hanyabayangan Jane yang selalu menemaniku. Namun, Jane belum tahu apa-apa soalkejadian ini. Sulit kubayangkan, bagaimana perasaan seorang isteri ketikamengetahui suaminya berada dalam penjara.

Aku kaget darilamunanku ketika pintu dibuka oleh sipir. Dia tersenyum kepadaku. Diamengajakku ke ruang kepala sipir. Dalam ruangan itu, hanya  ada kami bertiga.

“Hari ini kamubebas!”

“Maksud Bapak?”

“Kamu boleh pergi hariini. Seseorang sudah membayar denda untuk pelanggaranmu.”

Aku hanya diam. Akusegera keluar dari ruangan itu. Aku kaget. Di luar ruangan itu, Jane berdiri menatapku.Air mata tak tertahankan lagi. Kami berpelukan.

“Kamu dapatkan uangdari mana?”

“Orang-orang di kampungmengumpulkan dana untuk kamu”

Aku hanya bisatersenyum. Kami berdua bergegas keluar dari rutan terbesar di kota ini. Janemembawaku kembali ke kampung. ****

14 April 2013 : cerpen ini memenangkan juara II perlombaan tulisan cerpen dalam rangka Dies Natalis STF Driyarkara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text