Kuperhatikan seluruhruangan itu. Dindingnya
dipenuhi coretan. Rasa asing menyergapku. Bau tengikmenyengat hidung.
Tak ada AC, bahkan kipas angin sekalipun. Rasa gerah bukanmain. Keringat
mengucur deras.
Di salah satu pojokruangan
itu aku duduk merenung. Kusandarkan punggungku pada tembok Kaki
kutekuk.Sesekali kuusap keringat di dahi dengan tangan. Kutatap hampa
deretan besi yangmembatasi gerakku dalam ruang ini saja.
Aku
semakin larut dalamgelora permenungan di bawah sinar lampu yang pucat
dari koridor. Meski malamsemakin larut aku belum benar-benar mengantuk.
Kenapa tidak kuturuti sajakemauan istriku, pikirku dalam hati. Aku
memang sadar, percuma sebenarnyamemikirkan hal itu lagi. Namun, entah
kenapa pikiranku hendak ingin mengulanglagi semua kejadian ini.
“Mas, pulang,
aja. Kita menikmati kehidupan di siniapa adanya saja” ujar istriku seminggu yang lalu.
“Aku masih malu. Apakata-kata orang di kampung nanti.”
“Apanya yang malu, Mas?Kita terima kenyataan
aja.”
Ia merasaiba dengan nasibku. Secepat itu ia mengubah amarahnya dengan
kata-kata manispenyejuk hati. Hampir tiga tahun ini, kami tidak pernah
bertemu. Pahadal usiapernikahan kami sudah menghampiri lima tahun.
“Oke nanti aku pulangsayang. Tapi aku menunggu rejeki selama sebulan ke depan. Siapa tahu nasibmujur berpihak kepada kita.”
Ada
rasa lega setelahbeban yang teramat berat ini kusampaikan kepadanya.
Benar kata istriku, akuharus pulang. Tapi kini semuanya itu terlambat.
***
Semua
kenyataan burukini bermula dari perjumpaan dengan Anton. Ia adalah
sahabatku sejak SD hinggaSMP. Namun setamat SMP ia merantau ke Jakarta.
Nasibnya mujur. Sekarang ia terbilangsukses dalam berbisnis. Tiap kali
pulang libur, ia mengenakan sepatu kulit,ribet gelap, celana jeans
bermerek, dan kemeja lengan panjang berwarna cerah. Dikampung ia telah
membangunkan rumah berkelas elite untuk kedua orang tuanya.
Tiga
tahun lalu iapulang kampung. Aku berjumpa dengannya di suatu sore
karena ia sengaja datangmenemuiku di warung. Dia telah mengetahui kalau
aku sudah menikah dan membukausaha warung. Semenjak nikah dengan Jane,
aku coba merambah dunia dagang. Diwarungku tersedia barang-barang
keperluan sehari-hari untuk warga kampung.
“Bagaimana usahamu dikampung?”
“Cukuplah untukmempertahankan hidup”
“Jangan merendah kamu.Bilang
aja untungnya
banyak!” Iamemancingku untuk bercerita panjang lebar. Sudah lama aku
berniat menutup usahaitu. Aliran uangnya tidak lancar. Warga di kampung
rata-rata mengambil sajadulu barang keperluan sehari-hari tanpa
pembayaran
cash. Namun, baru setelah hasil pertanian dijual,
utang-utangnyadibayar. Aku dan Jane tidak melihat adanya keuntungan dari
usaha itu.
“Susah berkembang usahamacam itu. Kamu
di Jakarta aja! Di sana kita benar-benar profesional dalamberbisnis.
Bisnis sekecil apapun!”
Itulah awal kisahkumengapa aku
berada di Jakarta. Namun ada alasan lain juga yang menguatkan akuuntuk
meninggalkan kampung. Aku dan Jane kerap kesal dengan warga kampung.
Tiapbulan selalu dimintai kolekte untuk persembahan kepada leluhur.
Konon,diceritakan kampung kami dijaga oleh para leluhur. Mereka mendiami
ke empatpohon yang berada di empat sudut kampung. Para leluhur harus
selalu disuapitiap bulan, jika tidak malapetaka akan menghampiri desa.
“Tidak
usah sumbang.Semua ini takhayul!” kataku kepada Jane ketika ia
mengambil uang dari lemari.Ia mau memberikannya kepada petugas penagih
yang tiap bulan berjalan dari rumahke rumah.
“Sudahlah Mas!”
Jane
selalumemperingatkanku. Katanya, meskipun itu tidak rasional, namun
kita wajibmemberikan uang sumbangan itu. Jane takut, kami akan
dikucilkan warga kampungkalau tidak menaati kewajiban itu.
Ajakan
Anton sangat menarikdi tengah situasi kegalauanku itu. Aku berdiskusi
dengan Jane. Ia sepakat.Beberapa malam setelah itu acara adat digelar di
rumahku. Seekor ayam jantanberwarna putih disembelih. Itu pertanda
sekali merantau, aku baru boleh pulangke rumah setelah membawa
kesuksesan bagi keluarga.
Setelah sebulan diJakarta, aku
mulai membuka warung. Aku menjual rokok dan barang-barangkeperluan
sehari-hari di tepi sebuah jalan protokol. Sebuah rak berukuran kecil
kupakai untukmemamerkan barang-barang itu. Beberapa termos kusiapkan.
Banyak pelanggansinggah meminum kopi.
Namun kini kusadari,membuka warung di kota besar tidak semudah yang dibicarakan Anton.
***
“Bangun!”
Aku
tersentak kaget.Bunyi pukulan tongkat besi bersentuhan dengan deretan
besi yang memagariruangan ini terdengar begitu nyaring dan memekakkan
telinga. Kulihat seorangpetugas berseragam membukakan pintu. Baru aku
sadar, semalam aku tertidur lelapsetelah mengelamun cukup lama.
“Anda
ikut ke kantor!”ucap pegawai itu. Ia menyilakanku keluar dari ruang
itu. Ia berjalan di depan.Kubuntuti dia sampai di sebuah ruangan.
Beberapa pegawai berpakaian dinas sudahmenunggu di sana.
“Anda
dipenjarakan disini selama dua bulan. Anda tidak punya KTP dan
mendirikan usaha di kawasanterlarang. Kecuali kalau Anda dapat membayar
denda.” ucap salah seorang diantara mereka.
Dadaku
berdegup kencang.Mukaku seketika pucat pasi. Badan terasa dingin.
Kucuran keringat mengalir dipunggungku. Tak sepatah katapun yang dapat
kuucapkan. Lalu, salah seorangmenarik lenganku. Aku kembali berjalan di
koridor itu. Kami melewati beberapakamar para tahanan.
Tidak
kusangka, ruanganini menjadi tempat tinggalku selama dua bulan. Semalam
saja sudah memuakkan.Tapi bukan soal ruang itu yang mendominasi isi
kepalaku. Aku menyesal, mengapaaku tidak menuruti perkataan Jane. Kalau
saja aku percaya pada perkataannya,aku tidak mungkin berada di sini.
***
Di
balik jeruji besi ini aku baru menyadari bahwa substansidunia ini sama.
Desa dan Kota tidak ada bedanya. Tagihan bulanan demi leluhuritu kini
hanya berubah bentuk di kota metropolitan ini.
“Bang, mana uang keamanannya?” ujar pria bertatosuatu ketika yang menjadi awal dari peristiwa nas ini.
Nadanya membentak.Postur tubuhnya besar. Otot lengannya kekar.
“Keamanan apa?”
“Abang barudi sini ya?”
Dia tertawa menyindir.
“Ini daerah kekuasaan aku. Abang mau di rampok sama orang lain?”
Aku hanyamengeleng-gelengkan kepala.
“Justru itu, Aku dan beberapa teman menjaga daerah di sini. Biar Abang bisaberdagang dengan aman dan lancar.”
Aku
tidak mau berdebat. Kuserahkan uang sepuluhribuan. Namun, itu hanya
sebuah awal. Kemudian ia datang tiap seminggu sekali.Belakangan ini ia
datang tak menentu. Permintaannya pun macam-macam. Tidakhanya uang,
rokok diambil begitu saja,bahkan ia kerap minum kopi tanpa bayar.
Semenjak
itu usahaku semakin tidak menentu. Penghasilantidak cukup untuk
ditabung. Semuanya lenyap untuk membayar kos dan keamanan. Janelah yang
selalu menjadi korban. Aku kerapmenipunya. Hampir tiap bulan Jane
menanyakan perkembangan usahaku. Aku selalumengelak. Minggu lalu Jane
marah.
“Mas, aku bosan dengar jawabanmu!”
“Sabarlah Jane. Jadi orang kaya perlu sabar.”
“Tapi, ini aneh Mas. Jangan-jangan kamu sudah punya isteri baru di sana dan melupakanaku!”
Aku
mengalah. Lalu aku lalu jujur padanya.Kuceritakan semua persoalan.
Usahaku gagal. Tapi aku tidak mungkin pulang.Kujelaskan padanya, aku
malu pulang hanya menceritakan kegagalan. Namun Janetetap memaksaku
pulang. Aku meminta kesempatan sebulan lagi.
***
Semenjak
itu, akuberpikir keras. Barangkali ada sedikit laba yang dapat
kuperoleh selama sebulanke depan. Dengan laba itu setidaknya ada sesuatu
yang ingin kuberikan kepada Jane.Dua hari lalu aku mengutarakan
kegundahan hatiku itu kepada Benny. Ia adalahpelanggan daganganku.
Setiap kali melewati jalan itu, ia berhenti sejenak,membeli rokok, dan
meminum kopi. Aku tak tahu persis tentang dia. Yang jelas,letak kosnya
tidak terlalu jauh dari tempat aku berdagang.
Ia geram
mendengarceritaku. Menurutnya, pemerasan tidak akan ada lagi. Dia
bersedia membantuku.Aku menemukan titik cerah. Badannya kekar. Tinggi
badannya hampir dua meter. Iakelihatan atletis.
“Kita akan
menunggu diadi sini.” katanya sambil mengepalkan tangan. Aku senang.
Akhirnya, aku dapatberdagang dengan lancar, pikirku. Jika sebulan ini
usahaku lancar, aku mengirimkansesuatu untuk Jane. Lalu aku meminta
untuk bertahan lagi selama dua bulan, tigabulan, dan seterusnya.
Matahari
berada tegaklurus ketika “preman” itu datang menghampiri tempatku
berdagang. Dia tersenyum kepadaku.Diambilnya sebatang rokok. Ia dicegat
Benny. Keduanya beradu mulut. Benny inginmelayangkan pukulan, tapi
kutahan. Preman itu beranjak pergi.
“Kalian pikir
akubohong jadi keamanan di sini?” katanya sambil melangkahkan kaki
menjauhi kami. Ternyataitulah tanda-tanda petaka yang menimpaku.
***
Malam
kemarin tidakseperti malam-malam sebelumnya. Langit begitu cerah.
Bintang bertaburanmematulkan cahaya klap-klip secara berganti-gantian.
Udara malam menyapalembut. Padahal sepekan terakhir hujan mengguyur. Aku
sibuk melayani pembelidengan wajah sumringah. Sesekali bayangan Jane
menyinggahi benakku.
Sirine mobil polisiterdengar dari
kejauhan. Lama-lama makin dekat. Mula-mula kuanggap itu halbiasa. Tapi
mobil itu berhenti tepat di depan warungku. Beberapa orang polisiturun.
Mereka menghampiri diriku.
“Anda ditangkap!”
seseorangmenunjukkan surat penangkapan. Aku tidak paham. Dia menerangkan
bahwa akuberdagang di kawasan terlarang. Katanya, itu bukan tempat
berjualan. Laluditanyanya KTP-ku. Aku juga tidak punya. Aku pasrah, lalu
aku dibawa ke mobilpolisi itu
“Rasain
loe!”
Suara
itumengagetkanku. Aku menoleh. Ternyata preman itu lagi. Kulihat ia
melototiku.Dia bercakap-cakap dengan para polisi itu. Dia menawarkan
sebungkus rokok.Kulihat mereka membakar rokok berganti-gantian. Sesekali
gelak tawa menyelapercakapan mereka.
“Apakah arti semua
ini?”tanyaku dalam hati. Namun, aku tidak berani mencari jawaban atas
pertanyaan itudi kota metropolitan ini. Aku hanya mulai paham, “para
leluhur” di kota ini benar-benar nyata.Mereka juga membutuhkan
persembahan.
***
Lima belas hari telah
berlalu.Bau tengik mulai tidak terasa. Namun hari-hari kesepian ini
belum pernahmenguap dari kehidupanku. Aku bagaikan pulau yang sendirian
di lautan. Hanyabayangan Jane yang selalu menemaniku. Namun, Jane belum
tahu apa-apa soalkejadian ini. Sulit kubayangkan, bagaimana perasaan
seorang isteri ketikamengetahui suaminya berada dalam penjara.
Aku
kaget darilamunanku ketika pintu dibuka oleh sipir. Dia tersenyum
kepadaku. Diamengajakku ke ruang kepala sipir. Dalam ruangan itu, hanya
ada kami bertiga.
“Hari ini kamubebas!”
“Maksud Bapak?”
“Kamu boleh pergi hariini. Seseorang sudah membayar denda untuk pelanggaranmu.”
Aku
hanya diam. Akusegera keluar dari ruangan itu. Aku kaget. Di luar
ruangan itu, Jane berdiri menatapku.Air mata tak tertahankan lagi. Kami
berpelukan.
“Kamu dapatkan uangdari mana?”
“Orang-orang di kampungmengumpulkan dana untuk kamu”
Aku hanya bisatersenyum. Kami berdua bergegas keluar dari rutan terbesar di kota ini. Janemembawaku kembali ke kampung. ****
14 April 2013 :
cerpen ini memenangkan juara II perlombaan tulisan cerpen dalam rangka Dies Natalis STF Driyarkara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar