Puluhan tahun kemudian.
Pria berambut
pirang yang bernama Eman dihantui rasa ingin tahu yang tinggi. Kerutan
dahinya bertambah saat ia melewati hutan yang dipenuhi pepohonan tinggi
dan semak belukar. Jalannya menanjak dan licin akibat tanah yang
dibasahi embun semalaman. Tetesan embun yang menyelimuti dedaunan semak
belukar di tempat itu membasahi jaket, celana panjang jeans, sepatu, dan
kaus tangannya, kecuali tas ranselnya yang dilapisi mantel kecil.
Meskipun pagi itu rasa dingin semakin menyergap tubuhnya yang pendek dan
gempal, ia tak terlihat mengeluh. Matanya tetap konsentrasi pada jalan
setapak yang tak terawat itu.
Lalu suatu saat ia terjatuh. Seorang pria yang berjalan di depannya menoleh.
“Hati-hati Mas. Sebentar lagi kita sampai!”
Pria itu tampak berbeda. Hanya mengenakan baju kaus dan celana pendek
dengan warna yang sudah mulai memudar dan bercak hitam terlihat di
sana-sini. Ia lebih tinggi, berkumis, berjanggut panjang, dan bagian
atas kepala yang kelihatan lebih mengkilap tanpa rambut. Salah satu
kakinya disandarkannya di atas sebatang pohon kering yang melintang di
jalan sambil menancapkan parangnya pada pohon itu.
“Kami sudah terbiasa jalan di sini mas.” katanya lirih. ” Mas udah berapa tahun jadi wartawan?”
“Mau lima tahunan.”
“Oh..sengaja mau meliput tentang tarian ini?”
Eman tersenyum lirih. Ia mengambil nafas panjang. Dihembusnya perlahan, lalu menatap bola mata pria itu.
“Sebenarnya tidak sengaja pak. Kemarin ketika pulang mengambil beberapa
gambar di danau Kelimutu, mobil yang saya tumpangi melewati Moni. Di
sana ramai sekali. Ternyata lagi ada tarian....”
“Tarian Moru.” sergap pria itu sambil tersenyum lebar hingga matanya menyempit.
“Betul. Saya agak lupa.” Balas eman sambil menepuk jidatnya. “Lalu saya
minta turun dan ambil gambar beberapa kali. Tapi saya merasa aneh
dengan tarian itu.”
Ia berhenti sejenak
ketika Pak tua itu menertawakannya sambil mengambil rokok dari saku
celananya. Dibakarnya dan dihembusnya asap pertama dari mulut dan hidung
secara serempak dan kuat-kuat.
“Lanjut saja ceritanya mas.” katanya lirih.
“Katanya itu tarian para perawan, tapi kok yang menarinya tidak apa-apa
kalau bukan perawan. Cerita tentang tarian itu pun belum ada yang tahu
pasti. Katanya salah satu keluarga di gunung ini saja yang tahu
semuanya. Pak siapa namanya? ”
“Pak Klemens.” sergapnya pak tua itu lagi.
“Dia yang bilang kemarin.”
“Ya,kemarin sore Pak Klemens menemui saya. Katanya Mas mau ke sini.
Kebetulan saya sering ke sini Mas, jadi sekalian minta diantarin pagi ini. Katanya mas mati-matian mau ke tempat ini”
“hahahhaa..iya. terus bapak ada urusan apa datang di sini terus?”
“Aku dagang sayur-sayuran. Tiap pagi aku selalu ngambil dari sini. Tanahnya subur, cocok untuk usaha sayur-sayuran.”
“Bapak tahu cerita tentang tarian ini?”
“Tidak juga mas.” katanya sambil menguraikan senyum serempak
mengeleng-gelengkan kepala. “Kami hanya senang dengan tarian ini.
Gerakannya bagus dan menarik untuk ditonton, apalagi amat serasi dengan
irama musiknya yang berubah-ubah tiap saat ”
“Bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanannya mas?”
Eman menelan air ludahnya sambil menaikan kembali kaca matanya yang melorot. Rupanya ia ingin bertanya lagi, namun keburu dipotong pak tua itu.
“Oke.”
Ia kembali menancapkan kakinya tanjakan demi tanjakan. Lalu tak berapa
lama mereka memasuki area perkebunan. Di sebuah area yang cukup luas
yang terlihat hanya pohon kopi dan cengkeh. Tempat itu kelihatan lembab
dan gelap.
Setelah berlangkah lebih jauh,
tampaklah pemandangan yang lebih terang dan indah. Mentari pagi seperti
menyapa bedeng-bedeng yang berbaris rapi sepanjang tanah datar beberapa
hektare setelah tanjakan tadi. Di atas bedeng-bedeng itu, ada pelbagai
jenis sayur-sayuran. Tomat dan lombok memamerkan warna merah darah dari
kejauhan.
“Rumahnya di sana” kata Pak tua itu
sambil menunjuk sebuah rumah papan yang kelihatan kecil dari kejauhan.
Eman hanya mengulum senyum puas.
*********
Ukuran ruangan itu lumayan luas namun keadaannya amat gelap. Dinding
yang terbuat dari papan-papan kayu itu dipasang amat rapat. Tak ada
celah yang membiarkan sinar pagi itu masuk. Jendelanya hanya ada satu,
namun masih tertutup. Suasana begitu hening. Pak tua tadi menyuruhnya
menunggu di ruangan itu. Tatapannya mengawasi pintu sempit yang
menghubungkan ruang tamu itu dengan ruang di belakangnya yang hanya
ditutupi sebuah tirai lusuh.
Tidak berapa lama
seorang pria muncul dari arah pintu itu. Jalannya agak membungkuk dan
pelan bak kura-kura yang mau bertelur. Sedari jauh ia memipihkan matanya
ketika memandang Eman seolah-olah ingin memastikan apakah ia mengenal
atau tidak pria itu sebelumnya. Kerutan dahinya berlipat-lipat dangan
kulit pipi yang mulai menggantung. Rambutnya sudah beruban, namun pagi
itu ditutupinya dengan kupluk. Dia duduk di sebuah kursi rotan yang sadarannya cukup panjang tepat di berhadapan dengan eman.
“Maaf Mas, udah menunggu lama.” Katanya sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
“Gak apa-apa Kek.”
“Tidak merasa dingin jalan pagi-pagi ke sini mas?”
“Sedikit kek. Tapi di sini lebih hangat daripada di hutan tadi.”
“Ya, kakek betah bertahun-tahun di sini karena ada kehangatannya hehehe...”
Eman tiba-tiba merengut. Salah satu alis matanya diangat sebentar. Perkataan kakek itu seperti membutuhkan tafsiran.
“Pikir apa mas? Tentang tarian moru... Hehehe” sergap kakek tua itu.
“Oh..iya.” balas Eman dengan senyum yang dibuat-buat sambil mengubah posisi duduknya agar terlihat lebih rileks.
“Bagaimana cerita asal-usulnya kek?” tanya Eman untuk mengakhiri
tatapan mata orang tua itu yang memperhatikan gerak-geriknya yang
tegang.
“hahaha....ceritanya lumayan panjang
mas.” ujarnya sambil mengusap mukanya dengan kedua tangannya. Lalu
mengelap kedua sudut mata bagian dalamnya dengan jari telunjuk tangan
kanan.
“Tarian Moru, disebut juga tarian para
perawan di salah satu kampung dekat pantai selatan. Disebut begitu
karena dulu yang ikut dalam tarian itu hanya dua belas gadis perawan
untuk mohon turun hujan kepada dewa. Harus perawan dan kalau sudah
tarian otomatis hujan akan turun.”
“Bagaimana kalau tidak perawan?”
Eman tidak mengendalikan rasa ingin tahunya. Kakek itu mengusap
mulutnya, terutama kedua sudut bibirnya yang sudah mulai muncul busa
berwarna putih ketika dia sudah berbicara agak lama.
“Ya, kisah tragis seperti itu kemudian terjadi. Ada sepasang kekasih
yang sudah......” Kakek itu tidak terlihat bingung sebentar.
“Pokoknya saya mengertilah Kek hahaha....” sambar Eman sambil tertawa.
“Mereka berpacaran cukup lama tanpa sepengetahuan orang tuanya. Orang
tua dari wanita itu adalah seorang tetua adat di kampung. Lalu suatu
saat ayahnya meminta dia untuk ikut tarian itu. Dia tidak bisa jujur dan
menolak keinginan ayahnya. Akhirnya ia ikut dalam tarian itu. Tapi
sampai saat itu dia belum tahu, apakah memang ia benar dikutuk kalau ia
tidak perawan. Ia bermodalkan nekat saja.
“Selanjutnya bagaimana?”
Pembicaraan terhenti sejenak ketika seorang wanita tua datang dari arah
pintu tadi. Ia berjalan menunduk sambil memperhatikan langkahnya.
Barangkali ia takut kalau dua gelas kopi dan sepiring ubi rebus yang
dibawanya di atas sebuah nampan akan jatuh. Lalu ia menaruh kedua gelas
kopi dan ubi itu di atas meja. Kemudian duduk di samping kakek tua itu.
“Ini Isteri saya.” Wanita itu berdiri membungkukkan badan sambil
mengulurkan tangannya bersalaman. Eman pun demikian.
“Mari minum mas.” Kakek itu mengambil gelas dan menyeruput kopi sejenak.
“Tibalah pada hari tarian berlangsung.” lanjut kakek itu. “Wanita itu
menari dengan indah. Banyak laki-laki yang terpesona dengan
kecantikannya. Pacarnya juga hadir di situ. Ketika banyak laki-laki
mulai mengagumi gadis itu, sang pacar tidak bisa menahan marah.
Dipukulnya laki-laki yang memuji-muji kecantikan wanita itu.Terjadilah
kekacauan besar. Tapi setelah itu tarian berlangsung hingga selesai”
“Apakah kutukan benar-benar terjadi?”
“Tidak selama tarian itu berlangsung. Tidak terjadi apa-apa.”
“Lalu?”
“Setelah tarian, hujan tidak turun. Lalu beberapa tua adat hendak
menghukum para gadis yang tidak perawan. Dalam aturan, seorang gadis
yang tidak perawan dalam tarian itu harus dikucilkan dan dia bakalan
mendapat kutukan dari dewa. Hanya dengan dikucilkan, hujan tetap turun.
Sebelum tetua ada melaksanakan keputusannya, wanita cantik itu tiba-tiba
hilang.Hebohlah hari itu”
Eman menghembuskan
nafas panjang. Diseruputnya segelas kopi hampir habis. Lalu ia membasahi
bibir bawahnya dengan juluran lidahnya.
“Apa yang terjadi setelah itu kek?”
“Kutukan menimpa kampung itu. Kekeringan terjadi bertahun-tahun.
Penyakit bermunculan. Kematian demi kematian terjadi. Katanya, tak ada
yang tersisa dari kampung itu.”
“aduh tragis sekali. Lalu bagaimana nasib wanita itu?”
Keadaan hening sebentar. Raut wajah kakek itu tiba-tiba berubah. Ia
kelihatan serius. Matanya dibuka lebar. Ia mengigit bibir bawahnya. Eman
seperti kehilangan akal. Ia merasa ada yang berlebihan dengan ucapannya
tadi. Lalu ia pura-pura menunduk.
Suara
mendehem membuat ia kembali mengangkat wajahnya. Ia kaget saat
menyaksikan nenek itu. Matanya sembab dan sesekali ia mengusap air
matanya dengan sebuah serbet di tangannya.
Kali ini baru eman memperhatikannya dengan teliti. Hidung wanita itu
mancung, sedangkan kedua pipinya sudah mengempes di makan waktu. Dahinya
lumayan lebar dengan alis mata yang tebal dan berbentuk cekungan yang
hampir menyerupai garis lurus.
Eman hanya bisa
melongo dengan apa yang disaksikannya. Kini kakek itu tertunduk lesuh,
lalu berpaling melihat istrinya. Ia membantu wanita tua itu menyeka air
matanya, dan mengelus-elusnya pundaknya.
“Inilah wanita yang lari puluhan tahun silam itu. Aku sangat
menyayanginya sekarang di tempat ini.” ucap pria tua itu dengan suara
yang mulai kedengaran serak-serak.
“Kapan kembali ke Jakarta?” kakek itu mengalihkan pembicaraan.
“Sebentar sore kek. Usahakan siang ini saya langsung ke Ende.”
Eman sudah tidak mau menyinggung soal tarian itu lagi ketika nenek
tua itu bangkit berdiri dari tempat itu dan masuk ke dalam. Apalagi
ketika kakek itu mulai mengalihkan topik pembicaraan. Kini topik yang
dibicarakan adalah kehidupan pribadi Eman.
Setelah matahari menghampiri posisi tegak lurus, Eman mau berpamitan pulang.
“Tunggu sebentar.” Kakek tua itu beranjak pergi ke ruangan belakang. Tidak berapa lama ia keluar dengan istrinya.
“Kami ingin mas menyimpan ini. Ini amplop terakhir” pesan kakek itu.
Wanita itu lalu memberikan sebuah amplop putih. Ia tersenyum dan tak
mengeluarkan sepatah kata pun. Eman menyambutnya dengan rasa penasaran,
namun didiamkannya begitu saja. Lalu ia bersalaman, dan pergi
meninggalkan tempat itu.
*********
Kini ia berlangkah lebih cepat menuruni lereng bukit itu. Pak tua yang menjadi guide-nya
berjalan mengikutinya dari belakang dengan memikul sebuah karung yang
berisi sayur-sayuran. Namun rasa penasaran masih menghinggapinya.
“Sudah tau ceritanya mas?” Pak tua itu membuka pembicaraan.
“Sudah.”
“Tahu gak mas, kalau nenek itu bisu?”
Eman berbalik ke belakang. Matanya dibuka lebar dan ia kelihatan tidak percaya.
“Bisu?”
“Iya. Itu kutukan yang ia dapat.”
“Terus kakek tadi pacarnya yang dulu?”
“Bukan.”
“Terus bagaimana ceritanya?”
“Kami tidak berani menceritakannya walaupun sudah sebagian besar orang
sebenarnya sudah mengetahuinya. Sebab selalu ada kejadian aneh yang
menimpa setiap orang yang bercerita tentang mereka.”
“Kejadian aneh apa?”
“Kalau ada yang menceritakan mereka, keesokan paginya selalu ada amplop putih depan pintu rumah”
“Lalu....?”
Mata Eman kian membelalak. Nadanya kasar. Volume suaranya meningkat. Pak tua itu tidak mau menatapnya.
“Mas aku takut menceritakannya. Aku takut, esok pagi amplop putih itu ada di depan rumahku.”
Lalu pak tua itu segera menyalip Eman, dan meninggalkan dia dalam
kebingungan. Ia berjalan begitu cepat menuruni bukit.
"Ini amplop terakhir pak.!" teriak Eman sambil mengejar Pak tua itu.
Tiba-tiba kaki eman tersandung pada sebuah batang kayu yang melintang di
jalan, lalu ia jatuh terguling-guling menuruni bukit itu. Sekujur
tubuhnya terluka. Darah merah cair menyemprot begitu deras dari
luka-luka itu. Eman tewas dalam seketika.
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar