Sepasang kekasih duduk
bersampingan di bawah terang bulan yang
pucat pada malam itu. Pria barwajah oval, dengan rambut ombak yang dibiarkan
acak-acakan itu duduk laksana patung di samping gadis bermata bulat kecoklatan
dengan rambut berderai yang seolah-olah menyandar pada bahu kirinya.
“Kamu
tidak boleh menuruti ayahmu! Sebaiknya kita jujur saja sebelum bulan purnama bulan ini” ujar lelaki
itu. Sorotan matanya tajam. Bola matanya mengintai setiap gerak-gerik gadis
yang tertunduk lesuh itu. Nada suaranya merajuk. Disentuhnya bahu gadis itu. Diusapnya
dengan lembut berkali-berkali. Gadis itu pun membalas dengan menyandarkan
kepalanya pada bahu pria itu.
“Tidak.
Aku tidak bisa. Aku tidak mau ayahku dipermalukan di depan orang-orang kampung.
Dan kalau sampai ayah tahu aku begini, ia akan marah besar. Semuanya bakalan
berantakan. Lagi pula aku tak ingin semua orang di kampung akan kecewa.” Kegetiran
tak dapat disembunyikan dari suara itu. Air mata segera membasahi pipinya yang
tembem. Sejenak keduanya terdiam. Yang terdengar hanya suara gemersik dedaunan
yang ditiup angin malam itu.
“Aku
minta maaf! Sebenarnya kita tidak boleh melakukan ini sebelum waktunya. Tapi ini
sudah terjadi. Sejujurnya aku sayang padamu.
Dan aku tidak mau, hanya karena kesalahan kita bersama, sesuatu yang
buruk hanya menimpa kamu. Kalau pun ini terjadi, kita akan menghadapinya
bersama.” Suara pria itu lagi terdengar lagi. Diejanya setiap kalimat dengan
pelan. Volume suaranya makin lama, makin mengecil.
“Sudahlah!
Aku tak ingin membahas itu lagi. Ingat! kamu tidak mempunyai saudara yang lain,
kasian dengan orang tua kamu. Aku hanya ingin kita menghabiskan waktu bersama
selama tujuh hari ini, sebelum bulan
purnama nanti”
Lelaki
itu kehabisan kata lagi. Ia kembali diam. Kepalanya menunduk.
Malam
semakin larut. Tak ada yang menyaksikan kegetiran sepasang kekasih itu pada malam
itu. Tidak ada. Kecuali beberapa pohon kapuk yang meranggas karena musim
kemarau yang berkepanjangan, tanaman liar yang berebutan lahan di sekitar situ,
serta kelelawar yang terbang kesana- kemari mencari makan pada malam itu.
******
Sepuluh hari lagi.
Tarian Shinzui (*bukan nama yang sebenarnya) akan segera dipentaskan. Ini waktu
yang dinanti-nantikan warga di kampung itu.
Menurut mitos yang mereka
percaya, tarian Shinzui akan mendatangkan hujan. Ini sebuah pesta besar. Namun
syaratnya tidak mudah. Tarian ini harus dilakukan oleh gadis perawan pada siang
hari, setelah malam bulan purnama. Harus gadis perawan yang berjumlah 12 orang.
Hujan akan turun setelah tarian itu berlangsung.
“Bagaimana kalau tidak
perawan?” kebanyakan anak-anak di kampung itu ketika kecil bertanya demikian
kepada orangtuanya karena orang tualah yang menjadi agen sosialisasi tarian ini
sejak kecil kepada anak-anaknya.
“Kalau tidak perawan,
gadis itu akan sakit atau ditimpa bencana setelah tarian itu berlangsung
ataupun selama tarian berlangsung. Maka gadis itu segera diungsikan ke tempat
lain. Ia dibiarkan tinggal sendirian. Itu artinya, dewa mengutuknya.” Kebanyakan
orang tua menjelaskan demikian.
“Apakah hujan turun
setelah ia dikucilkan?” Pertanyaan itu masih menjadi misteri bagi sebagian besar
warga kampung itu. Menurut cerita yang berlangsung turun-temurun, hujan akan
turun jika gadis yang diketahui tidak perawan dikucilkan dari kampung. Tidak
ada yang tahu pasti tentang itu.
Kejadian itu belum
pernah terjadi selama generasi yang sekarang hidup. Selama ini tarian ini berlangsung
baik. Setelah para perawan menari, hujan segera turun dengan sangat lebat.
Bahkan berlangsung berhari-hari. Butiran hujan laksana prajurit menerjang bumi,
menerobos di antara sela-sela tanah yang kering dan keras yang disebabkan kemarau
yang berkepanjangan. Jika demikian, musim bertani pun segera dimulai. Perkebunan
mulai dibuka. Orang tua dan anak-anak mulai menghabiskan waktu di kebun. Mereka
menanam jagung, padi, ubi, sayur-sayuran, dan lain sebagainya.
Namun Tarian Shinzui
bukan sekadar tarian pendatang hujan. Prestise keluarga ikut meroket saat anak
gadis mereka ikut ambil bagian dalam tarian itu. Dikenal memiliki anak perawan,
akan menjadi incaran. Sebab tak jarang setelah tarian berlangsung pinangan mulai
berdatangan dari keluarga-keluarga mapan dari kampung itu atau pun warga dari
kampung lain.
Mungkin itulah
alasannya tarian ini terus dipertahankan. Bukan hanya didorong oleh motivasi
kultural, tetapi juga sosial.
*******
Beberapa Minggu sebelum
kedua pasangan kekasih itu bertemu pada malam itu.
Seorang ayah, ibu, dan
dua orang anak perempuan duduk melingkar dalam sebuah rumah panggung. Di atas
tikar yang dibentangkan, mereka duduk bersila, bercerita, dan sesekali
terdengar gemuruh tertawa dari rumah itu.
“ Sinta!” Pria itu
menyebut nama anaknya perempuannya paling tua. Kumisnya tebal dan lebat,
kerutan dahinya kentara, kedua alisnya seperti mengait satu sama lain, dan
dadanya kekar dan lebar.
Anak itu menoleh dan
memusatkan pandangannnya pada ayahnya. Wajahnya terlihat tenang. Adiknya yang
duduk di sampingnya ikut menatap ayahnya. Hanya ibunya yang sibuk mengunyah daun
sirih, yang diambilnya dari sebuah kota berwarna keemasan. Mulutnya komat kamit
menggilas ruas-ruas daun-daun itu menjadi halus.
“Ayah mau kamu ikut
tarian ‘Shinzui’ tahun ini.”
“Horee.................”
adiknya berteriak sambil tersenyum menyusuli ucapan ayahnya. Matanya
dikedip-kedipkannya berulang-ulang kepada kakaknya.
“Mama setuju. Saatnya
giliran kita. Sudah lama mama menabung untuk membeli perhiasan kamu untuk
tarian itu nanti.”
Gadis itu terlihat
kebingungan, namun cepat menyadari situasi. Ia diam sejenak dan membiaskan
senyuman.
“Jangan-jangan umurku
belum cukup untuk mengikuti tarian itu.”
“Mama dulu ikut tarian
pada umur yang lebih muda dari kamu.” sergap mamanya kemudian.
“Ayah harap, kamu
menjaga kesehatan dan penampilan kamu dalam beberapa waktu ke depan!”
Setelah itu pria itu
berdiri dan berjalan menuju kamar. Tidak lama setelah itu, ibunya menyusul.
Lalu ia sendirian dengan adiknya berada di ruang itu. Keduanya bercakap-cakap
sebentar. Lalu akhirnya adiknya mengantuk. Ia beranjak juga dari tempat itu.
Tinggalah ia seorang diri.
Inilah situasi sulit
yang sudah ia prediksi. Malam-malam selanjutnya berlalu dalam kegelisahan.
Malam itu ia ingin
membagikan kegelisahan itu dengan kekasihnya itu.
******
Tibalah saat yang
dinanti-nanti. Dua belas gadis perawan itu sudah dikarantina selama tiga hari. Mereka
tidak berhubungan dengan keluarga atau orang lain selama tiga hari. Kecuali
beberapa orang yang dipercayakan untuk merawat mereka.
Dalam sebuah rumah
adat, mereka dirawat layaknya seorang permaisuri. Sekujur tubuh mereka dioleskan
dedaunan yang membuat kulit mulus, cantik, dan terlihat menawan. Serangkaian ritual
adat harus mereka lewati sebelum pementasan.
Hari
itu tanah lapang di tengah kampung yang berdebu dipadati manusia. Kombinasi
bunyi alat-alat musik tradisional seperti gong, gendang, seruling, dan lain
sebagainya menghasilkan irama yang enak didengar. Panas yang menyengat seakan
tak dihiraukan. Para pemuda kampung itu bahkan dari kampung lain datang dengan
stelan yang neces. Rambut ditata
rapi, pakaiannya bersih mengkilap, dan wajah keliatan cerah dari hari-hari
biasanya.
Nada
yang semakin lama, semakin cepat dan volumenya makin membesar itulah yang
dinanti-nanti. Dalam kemeriahan musik itu, berdua belas gadis muncul dari
sebuah rumah adat. Kecantikan mereka terlihat begitu alami. Mereka tidak
memakai kosmetik ala dunia modern.
Mereka mulai memancarkan senyum, sambil
memamerkan gerakan-gerakan berirama, dengan tangan yang meliuk-liuk, melambai,
dan bergoyang dengan lincahnya. Kaki mereka berlangkah ke depan, lalu sesekali
ke belakang, memutar, menyerong ke samping kiri-kanan. Semuanya dilakukan
dengan cepat dan kompak.
Tatapan
penonton mulai melongo terpikat dengan senyum yang membias dari gadis berhidung
macung yang ada di barisan paling depan. Alis matanya tebal, sesekali
digoyangkannya membuat ia terlihat manis dan manja. Bibir tipisnya yang melebar
berwarna merah cerah dan terlihat mengkilat di bawah terik siang itu. Hidungnya
mancung memanjang diapit oleh pipi tembem yang kemerah-merahan. Bola matanya
yang kecoklatan seakan-akan menerjang setiap mata lelaki yang hadir di situ dan
memenjarakan mereka dalam cengkraman hatinya.
“Siapa
gadis itu?” seorang pria mulai berbisik dengan dua orang temannya yang menonton
acara itu di bawah sebuah tiang yang terpancung di tengah kampung itu, tak jauh
dari tempat pementasan itu.
“ Itu
Sinta. Ayahnya salah satu tokoh adat di sini.” Yang lain menerangkan.
“
Ia selalu melihat ke arahku sejak tadi. Sepertinya dia.....”
“Aku
juga merasakan hal yang sama. Ia melihat ke arahku.” temannya yang lain menyela
pembicarannya.
Ketiganya
tertawa.
“Dia
pacarku.”
Ketiganya
menoleh. Seorang pria berbadan tegap dan tinggi menyipitkan matanya memandang
para penari itu dan berdiri tepat di samping mereka.
“Setahuku,
tak ada gadis yang berani berpacaran sebelum mereka mengikuti tarian ini. Kau
tak bisa menipu kami,hahahaha......” ucap salah seorang di antara ketiganya. Kedua
temannya ikutan tertawa menyindir.
Tak
ada perdebatan lebih lama. Amarah pria itu menyala saat mendengar ketiganya tertawa.Ia
berbalik dan melayangkan tinju ke arah
ketiganya dan mendarat di pelipis kiri pria yang menyindirnya tadi yang
membuatnya jatuh terpelanting ke tanah. Kedua temannya membalas. Mereka melompat
dan menyergap dengan pukulan dan tendangan.
Perkelahian
berlangsung sengit. Konsentrasi massa menjadi buyar. Para penari berlari
kembali ke rumah adat. Anak-anak dan para ibu-ibu berhamburan kesana-kesana
kemari. Sementara beberapa lelaki dewasa coba melerai dan menenangkan situasi. Agak
lama kemudian, situasi aman terkendali.
Tarian
kembali berlangsung. Setelah tarian, kedua belas gadis itu kembali ke rumah
adat.
*******
Dua jam setelah tarian
berlangsung.
Warga
kampung masih memadati tanah lapang itu menanti turunnya hujan. Biasanya hanya
sejam atau dua jam setelah tarian hujan akan segera turun. Kini mereka
berharap-harap cemas.
Tiga
jam berlangsung hujan tak kunjung turun. Beberapa tetua adat mulai berjalan kesana-kemari.
Pertemuan dadakan berlangsung di antara mereka di salah satu sudut lapangan
itu. Semua mata tertuju kepada mereka.
Salah
seorang dari tetua adat itu berpaling dari kumpulan itu dan berjalan menuju
rumah adat. Ia berjalan menunduk di tengah kerumunan itu. Semua mata mengawasi
langkahnya. Ia masuk ke dalam rumah adat itu dan semua orang memandang pintu
itu. Mereka menanti kapan ia keluar dari sana. Cukup lama ia di sana sebelum
wajahnya kembali terlihat dari arah pintu itu.
“Sintaa hilang......” teriaknya mengagetkan semua
orang yang ada di situ. Semua tampak terperanjat memandang satu sama lain.
“Ayo
kita cari dia!”
Massa
kembali berhamburan di tengah lapangan itu. Debu kembali berterbangan mengaburkan
pandangan. Nama sinta menjadi buah biri siang itu. Ia dicari kemana-mana, tapi
tak ditemukan. Hingga malam mereka mencarinya dan hujan tak turun-turun.
*********
Dari hari ke hari,
bulan ke bulan, tahun ke tahun Sinta dicari. Ia tak ditemukan. Ia hilang bak
ditelan ombak yang ganas tanpa meninggalkan jejak sedikitpun
Sementara hujan belum
juga turun selama waktu itu. Kekeringan melanda. Kelaparan mulai menyerang
warga kampung. Penyakit yang bermacam-macam tumbuh bak jambur. Kematian demi
kematian terjadi.
Konon, tak ada yang
tersisa dari kampung itu kecuali “tarian perawan” yang menjadi buah bibir
orang-orang yang berada di kampung lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar