Jika kau duduk di pantai itu, waktu terasa berhenti. Kau bisa
menikmati percakapan dengan temanmu hingga melupakan waktu. Dari pagi
kau bisa duduk, matamu tak lepas memandangi laut yang tenang di
hadapanmu, sambil menikmati percakapanmu dengan temanmu. Lalu di sore
hari kau menikmati cahaya kuning keemasan dari matahari di batas
cakrawala. Dimana-mana
sunset memang indah, tapi kau merasakan sesuatu yang berbeda ketika melihat
sunset di pantai itu.
Ketika
malam menjemput, mungkin kau ingin tetap berjaga di sana dan menikmati
kebersamaan dan mengabadikan kematian waktu, tetapi temanmu menolak,
barangkali, dan perlahan-lahan kau akan mengalami dan merasakan waktu.
Kau tahu bahwa semenit setelah berpisah dengan teman-temanmu dari
tempat itu, kau merasakan waktu yang berjalan lamban. Semenit pun kau
rasakan seperti tengah menanti seorang di sebuah bandara dimana tiap
detikpun kau sadari. Dan karenanya wajar saja kau bersedih atas
perpisahan itu dimana kau mulai merasakan kejamnya waktu.
Engkau
bahkan lebih menikmatinya tatkala berjalan dengan kekasihmu. Ketika kau
berbicara, pantai itu seolah paling mengerti melebihi pengertian yang
diberikan teman-teman dan keluargamu sendiri. Pepohonan seakan berhenti
bergerak kecuali menghembuskan keademan yang kamu perlukan. Laut pun
tenang tak mengeluarkan riak-riak kecil. Pasir putih yang memancarkan
cahaya keemasan dan bebatuan di pantai itu seakan melupakan kehadiran
kalian hingga kau bebas mengekpresikan rasa cintamu tanpa malu-malu.
Aku
pernah mengatakan kepada kekasihku, “Aku mencintaimu sayang!” Aku
hampir saja tak percaya aku bisa berbicara demikian. Kau barangkali
tidak tahu bahwa di tempat lain di manapun, setiap kali aku menemui
gadis gebetanku itu, aku sudah seringkali mencoba berkata demikian. Tapi
aku gagal. Kepalaku dikecamuk oleh banyak pemikiran dan strategi, lalu
gagal hanya karena takut. Tidak demikian di pantai ini. Aku nyaman
mengungkapkannya, bahkan tanpa direncanakan sekalipun.
Dan betapa kagetnya aku ketika perempuan itu menatapku. Ia melemparkan senyuman yang paling manis yang pernah kulihat. Tanpa di-
zoom
sebagaimana foto di media sosial, aku masih bisa melihat dan mengingat
tiap guratan senyum di wajahnya. Kecuali guratan di dahinya yang tak
tampak saat itu. Barangkali ia tidak ingin meragukan, apalagi mulai
berpikir-pikir tentang ketulusan ungkapanku itu. Dari mata cengkungnya,
ia menarikku dengan daya magis yang di luar kendaliku. Secepat kilat,
aku mendaratkan sebuah kecupan di keningnya. Ia menjadi tampak
malu-malu dan mulai mengelus-elus ujung rambutnya.
Di
pantai itulah, aku mulai percaya bahwa saat kau jatuh cinta, hanya di
pantai itu aku sepakat bahwa dunia menjadi milik berdua. Aku tidak
perlu merasa tergesa-gesa apalagi takut dengan semua tuntutan di
tempat kerjaku, di lingkungan sekolah atau kampus, dari orang tua dan
teman-temanku. Aku melupakan semuanya untuk beberapa saat dan hanya
menaruh perhatian kepada kekasihku itu, berbicara dari hati ke hati.
Toh
kalaupun kau pergi sendiri ke pantai itu, kau langsung sepakat bahwa
kebahagiaan ialah ketika kau tidak menyadari waktu. Kau menikmati
kesendirianmu di bawah rindangan pepohonan, merasakan tiupan angin yang
sejuk, dan tanpa dialaspun kau tak segan untuk duduk di atas pasir
karena saat kau berdiri, pasir-pasir itu gugur dengan sendirinya seolah
tak ingin menyibukkanmu jika harus mengibas celanamu. Dan tentu yang
paling kau ingat, saat kau duduk di sana sendirian, alam seolah-olah
menghalangi masa lalu dan masa depan menyinggahi pikiranmu hingga kau
benar-benar menikmati keberadaanmu saat itu saja.
Sebetulnya
tak ada yang istimewa dengan pantai itu kalau bukan karena sepasang
suami-istri orang kaya. Betapa tidak, di pantai itu tidak lebih dari
pepohonan, pasir yang tersebar sepanjang pantai, dan laut yang tenang.
Kalaupun pantainya landai, toh ada banyak pantai yang lebih landai dan
indah di beberapa bibir pantai di dunia ini.
Dulu ada
sepasang suami-isteri kaya yang hendak bercerai. Meski telah memiliki
tiga orang anak yang sudah beranjak dewasa, nasib pernikahan suami yang
pebisnis terkenal itu dan isteri yang menjadi dosen ternama berada di
ujung tanduk. Entah mengapa, di setiap perjumpaan di rumah dalam waktu
yang terbatas karena kesibukan pekerjaan masing-masing, keduanya lebih
menghabiskan waktu dengan pertengkaran atas hal-hal kecil. Bosan dan
jenuh seakan tak bisa dibendung lagi.
Lalu pada suatu
siang di masa-masa genting hubungan tersebut, keduanya melintasi jalan
raya di dekat pantai itu. Tak tahu alasannya apa, suaminya tiba-tiba
terpesona dengan pemandangan di pantai itu. Dengan rendah hati, ia
mengajak isterinya singgah sebentar. Keajaiban pun terjadi. Keduanya
seolah melupakan semua persoalan mereka. Rencana perceraian pun
tiba-tiba saja menguap begitu saja. Semacam ada misteri yang menyebabkan
keretakan rumah tangga mereka selama ini, terungkap di tempat itu. Lalu
mereka pulang ke rumah dengan wajah berseri-seri.
Cerita
tentang itu tersebar luas dengan cepat. Lalu mulai pula terdengar sebuah
mitos yang dipercaya semua orang. Konon, pantai di laut itu pernah
terjadi pernikahan anak dewa dari kayangan. Maka di tempat itulah segala
bentuk cinta menjadi kembali murni dan dimurnikan. Seiring tersebarnya
kisah tersebut, semakin banyak pasangan dan keluarga yang mengunjungi
tempat itu, sekadar melupakan kesibukan mereka dan mengeratkan tali
pernikahan dan keluarga masing-masing. Keajaiban dari pantai itu
selanjutnya memikat para banyak orang, anak-anak, remaja, orang tua
entah dengan tujuan apapun. Walaupun sudah ramai, tetapi masing-masing
orang tetap merasakan bahwa pantai itu membuat mereka bisa melupakan
waktu sejenak, menikmati kekinian dengan sangat intim dalam kedalaman
hati.
Saking bertambahnya pengunjung, mulai didirikan
beberapa rumah penginapan. Suami isteri yang kaya tadi membangun sebuah
hotel sederhana di sekitar pantai itu. Beberapa tahun kemudian, banyak
hotel yang dibangun. Karyawan yang bekerja di hotel-hotel tersebut,
setelah melakukan pekerjaannya mendatangi pantai itu untuk melepaskan
penatnya dan seolah menimba semangat baru. Barangkali juga alasan
kerena pantai itu satu-satunya tempat yang tak harus dibayar untuk
dikunjungi.
Akan tetapi, tibalah suatu hari, dimana
seorang pengusaha ingin membeli pantai itu. Tak ada yang tahu alasannya,
apakah ia tertarik karena di tengah kesibukannya ia pernah bepergian ke
sana dan menikmati kedamaian yang ditawarkan hingga ia ingin
memilikinya secara pribadi ataukah ia ingin meraup keuntungan dari
tempat itu dengan insting bisnis yang ia miliki. Yang jelas, ia sudah
menghasut pemerintah setempat untuk memberikannya ijin untuk memiliki
pantai itu.
Engkau mesti tahu, saat ini aku tengah
memprotes usaha tersebut. Bagaimana mungkin, tempat terindah yang pernah
aku kunjungi dimana aku dan mungkin kau bisa melupakan waktu kesibukan
kita di tempat kerja dirampas begitu saja? Bukankah kita harus
bersikeras memprotes para pembunuh kenangan indah di tempat itu?
Bagaimana mungkin kedamaian yang dicuri dari surga di tempat itu menjadi
hanya dimiliki oleh seseorang? Kalau saja demi uang kita memprotes
sudah barang tentu kita sudah disodorkan dengan segelontor uang. Tentu
ini bukan demi uang.
Payahnya, kau tahu, saat
kita--andaikata kau mau-- memprotes, kita berhadapan dengan orang yang
tak memahami momen waktu yang terhenti. Maka jawaban yang mereka buat
bisa kau mengerti, tapi alasanmu untuk protes tak mereka pahami.