Pages

Ads 468x60px

Selasa, 25 November 2014

Tes keperawanan?

Jika didengar teman-teman diskusi saya di Saint Louis University berita tentang tes keperawanan polwan di Indonesia yang hangat akhir-akhir ini, sudah pasti mereka akan kaget dan terperangah.
Dalam sebuah diskusi yang cukup hangat tentang wanita, mereka sudah mendefinisikan keperawanan dalam cara pandang yang baru.



"Keperawanan bukanlah tentang apa yang bisa hilang dari seorang perempuan, tetapi apa yang selalu awet, dan bertahan dalam diri perempuan." Demikian secara singkat uraian mereka.

Perawan berarti "sesuatu" yang tak terjamah, tak terdistorsi, tak berkurang entah apapun dan bagaimanapun sesuatu itu diuji, diganggu, dan dilecehkan.

Tentu ciri-ciri itu berkenan dengan karakter pribadi dlm diri seseorang yang tak terpengaruh oleh perubahan unsur fisik. Karakter itu selalu ada di "sana", di dalam dirinya, sekalipun seseorang sudah semakin tua, berada dalam lingkungan yang berbeda, dan status sosialnya yang berubah.

Karakter pekerja keras dan pejuang dari menteri Susi adalah salah satu contoh. Karakter demikian darinya yang tak mudah dirampas dan hilang meskipun usianya bertambah, wajahnya kian keriput, tekanan lingkungan yang berbeda-beda, ataupun status sosial yg berubah-ubah.

Sedangkan mengaitkan dan mengukur kualitas kepribadian seseorang dari ukuran "objektifitas" fisik yang terbentuk secara sosial dan kultural adalah ilusi sosial. Hal itu tak akan bertahan di depan ujian penalaran akal sehat.

Apakah seorang yang perawan--dalam pengertian biologis-- adalah seorang yang jujur, bertanggung jawab, dan pekerja keras? Atau apakah seorang yg tak berperawan adalah tak jujur, tak setia, dan tak baik? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Sangat cair. Tak jelas.

Maka mengukur karakter seseorang yang nyata-nyata haruslah konstan melalui "ukuran" fisik tidaklah logis. Sebab kondisi fisik pada hakikatnya selalu berubah-ubah dan terdistorsi bahkan secara alamiah. Bukankah aneh bahwa mengukur sesuatu yang perlu "stabil" diperlukan alat ukur yang "labil"?

Hal serupa pernah terjadi dalam sejarah dan diskusi filsafat ketika para filsuf bertanya tentang, "darimanakah asal-usul dunia yang kita tinggali ini?

Awal-awal para filsuf menjawab bahwa dunia ini terbentuk dari unsur-unsur fisik. Ada yang mengatakan terbentuk dari Api. Air. tanah. Namun dikritisi kemudian bahwa tidak mungkin dunia yang berubah-ubah dan selalu berkembang ini ditopang oleh dasar yang berciri sama: berubah-ubah, tercerap indera, bergerak, dan tak stabil spt api, air, dan tanah.

Lalu pencarian itu membawa para filsuf kepada sesuatu pikiran yang lebih abstrak ttg asal-usul dunia ini. Pytagoras kemudian memperkenalkan konsep-konsep matematika yang berciri abstrak, bukan fisikal lagi. Namun konsep matematika tetap tak cukup menjelaskan itu. Dan kemudian lahirlah ide tentang Allah yang abstrak, kekal, dan tak berubah-ubah sebagai dasar dan asal-usul di dunia ini.
Maka ironi mengukur kualitas kpribadian seseorang dari apakah masih perawan atau tidak, sama dengan, misalanya, seseorang yang mengatakan "Allah tidak baik" hanya karena kakinya terantuk pada batu kecil.

Karena kedua-duanya sama-sama berusaha menyederhanakan atau menyempitkan sesuatu yang "besar" dengan alat ukur yang "kecil" dan partikular. Keperawanan dlm ujian para polwan hanya menyangkut salah satu aspek atau suatu partikularitas dari kekayaan dan keluasan seseorang manusia.Tak boleh memutlakkannya.

Akhirnya, barangkali karena saking tak masuk akalnya tes keperawanan itu, ketika beritanya dimuat di CNN, seorang barat malah berkomentar menyalahkan media. Ia menulis,: "Media berbohong. Mana ada yang begituan."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

simple text

Gregorius Afioma

Sample Text

Sample Text