Jika didengar teman-teman diskusi saya di Saint Louis University
berita tentang tes keperawanan polwan di Indonesia yang hangat
akhir-akhir ini, sudah pasti mereka akan kaget dan terperangah.
Dalam sebuah diskusi yang cukup hangat tentang wanita, mereka sudah mendefinisikan keperawanan dalam cara pandang yang baru.
"Keperawanan bukanlah tentang apa yang bisa hilang dari seorang
perempuan, tetapi apa yang selalu awet, dan bertahan dalam diri
perempuan." Demikian secara singkat uraian mereka.
Perawan
berarti "sesuatu" yang tak terjamah, tak terdistorsi, tak berkurang
entah apapun dan bagaimanapun sesuatu itu diuji, diganggu, dan
dilecehkan.
Tentu ciri-ciri itu berkenan dengan karakter pribadi
dlm diri seseorang yang tak terpengaruh oleh perubahan unsur fisik.
Karakter itu selalu ada di "sana", di dalam dirinya, sekalipun
seseorang sudah semakin tua, berada dalam lingkungan yang berbeda, dan
status sosialnya yang berubah.
Karakter pekerja keras dan
pejuang dari menteri Susi adalah salah satu contoh. Karakter demikian
darinya yang tak mudah dirampas dan hilang meskipun usianya bertambah,
wajahnya kian keriput, tekanan lingkungan yang berbeda-beda, ataupun
status sosial yg berubah-ubah.
Sedangkan mengaitkan dan mengukur
kualitas kepribadian seseorang dari ukuran "objektifitas" fisik yang
terbentuk secara sosial dan kultural adalah ilusi sosial. Hal itu tak
akan bertahan di depan ujian penalaran akal sehat.
Apakah seorang
yang perawan--dalam pengertian biologis-- adalah seorang yang jujur,
bertanggung jawab, dan pekerja keras? Atau apakah seorang yg tak
berperawan adalah tak jujur, tak setia, dan tak baik? Jawabannya bisa
ya, bisa tidak. Sangat cair. Tak jelas.
Maka mengukur karakter
seseorang yang nyata-nyata haruslah konstan melalui "ukuran" fisik
tidaklah logis. Sebab kondisi fisik pada hakikatnya selalu berubah-ubah
dan terdistorsi bahkan secara alamiah. Bukankah aneh bahwa mengukur
sesuatu yang perlu "stabil" diperlukan alat ukur yang "labil"?
Hal serupa pernah terjadi dalam sejarah dan diskusi filsafat ketika
para filsuf bertanya tentang, "darimanakah asal-usul dunia yang kita
tinggali ini?
Awal-awal para filsuf menjawab bahwa dunia ini
terbentuk dari unsur-unsur fisik. Ada yang mengatakan terbentuk dari
Api. Air. tanah. Namun dikritisi kemudian bahwa tidak mungkin dunia
yang berubah-ubah dan selalu berkembang ini ditopang oleh dasar yang
berciri sama: berubah-ubah, tercerap indera, bergerak, dan tak stabil
spt api, air, dan tanah.
Lalu pencarian itu membawa para filsuf
kepada sesuatu pikiran yang lebih abstrak ttg asal-usul dunia ini.
Pytagoras kemudian memperkenalkan konsep-konsep matematika yang berciri
abstrak, bukan fisikal lagi. Namun konsep matematika tetap tak cukup
menjelaskan itu. Dan kemudian lahirlah ide tentang Allah yang abstrak,
kekal, dan tak berubah-ubah sebagai dasar dan asal-usul di dunia ini.
Maka ironi mengukur kualitas kpribadian seseorang dari apakah masih
perawan atau tidak, sama dengan, misalanya, seseorang yang mengatakan
"Allah tidak baik" hanya karena kakinya terantuk pada batu kecil.
Karena kedua-duanya sama-sama berusaha menyederhanakan atau
menyempitkan sesuatu yang "besar" dengan alat ukur yang "kecil" dan
partikular. Keperawanan dlm ujian para polwan hanya menyangkut salah
satu aspek atau suatu partikularitas dari kekayaan dan keluasan
seseorang manusia.Tak boleh memutlakkannya.
Akhirnya, barangkali
karena saking tak masuk akalnya tes keperawanan itu, ketika beritanya
dimuat di CNN, seorang barat malah berkomentar menyalahkan media. Ia
menulis,: "Media berbohong. Mana ada yang begituan."
Rahmat
-
Dua malaikat sedang melakukan perjalanan. Ketika malam tiba, mereka
berhenti dan bermaksud menginap di sebuah rumah milik keluarga kaya. Keluarga
itu s...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar