Majalah TIME Edisi 27 Oktober mendatang mengetengahkan suatu tantangan kepada rakyat Indonesia dengan memasang foto close-up Jokowi, sebagai sampul edisi internasional yang berjudul “A New Hope”.
Sebuah pertanyaan seketika menggugat kita di tengah euforia pasca
pelantikan presiden ketujuh Republik Indonesia ini: Mampukah Jokowi
menjadi pembawa harapan baru?
Untuk mengukur seberapa besar potensi Jokowi membawa pembaharuan pada
masa mendatang, kita dapat meminjam teori politik dari dua pemikir
Yunani Kuno yakni Plato dan Aristoteles.
Plato dan Aristoteles
Dalam mendefinisikan politik, Plato menekankan perspektif ekonomi,
sedangkan Aristoteles menegaskan suatu deliberasi di ranah publik.
Meskipun berbeda, keduanya saling melengkapi satu sama lain.
Menurut Plato, negara adalah sekelompok orang yang ingin hidup
bersama demi pemenuhan kebutuhan makan-minum satu sama lain. Kehadiran
perangkat negara dipandang sebagai jawaban terhadap peningkatan
kebutuhan yang timbul dari hidup bersama demi tujuan dasar tersebut.
Mereduksi tujuan berdirinya negara pada keterjaminan sektor ekonomi
adalah kritikan terhadap Plato. Asalkan demi ketahanan ekonomi bersama,
ia memperbolehkan adanya suatu kediktatoran sedemikian sehingga
larangan-larangan semisal kebebasan berkumpul dan berpendapat dapat
dilakukan.
Aristoteles sebaliknya menegaskan bahwa politik tidak mengurus soal
makan dan minum. Politik adalah bagian dari aktivitas khas manusia
sebagai makhluk rasional. Sebab tujuan hidup bersama bukan saja demi
bertahan hidup sehingga harus merasa cukup dengan terpenuhnya kebutuhan
material, melainkan mencapai kebahagiaan. Diskusi bersama terkait
nilai-nilai moral dalam ruang publik adalah jalan untuk mencapai
kebahagiaan itu.
Syarat utama partisipasi dalam dikursus itu adalah setiap warga
negara dipandang setara dalam urusan politik. Atas dasar itu, urusan
ekonomi yang biasanya ditandai dengan relasi asimetris antara pelakunya
tidak boleh masuk ke dalam ranah publik.Urusan ekonomi adalah urusan
privat dalam rumah tangga masing-masing.
Akan tetapi ketika urusan ekonomi terbebas dari intervensi politik,
hal itu secara tak langsung memberikan pengaruh bagi relasi tidak setara
dalam ruang politik. Jika datang dari keadaan ekonomi yang berbeda
secara ekstrem seperti miskin dan kaya, diskusi dalam ruang politik
terdistorsi. Pendapat orang kaya bisa lebih didengarkan daripada orang
miskin.
Mempertimbangkan dua tantangan dalam pandangan kedua filsuf tersebut,
politik perlu menggiring kedua hal itu secara bersamaan. Di satu pihak,
politik sebisa mungkin membuka kanal-kanal komunikasi dalam ruang
publik. Di lain pihak, politik adalah ranah pengambilan keputusan
terpenting dalam sektor ekonomi agar terjadi distribusi kesejahteraan
yang merata.
Jokowi Menjanjikan
Bertolak dari rekam jejaknya, Jokowi adalah pemimpin yang paling
potensial menjawab dua tantangan tersebut. Berasal dari kalangan sipil,
terbukti mampu bekerja dengan etnis dan agama lain dalam pemerintahan
sebelumnya, reformasi birokrasi, pengetatan anggaran, dukungan usaha
kecil dan menengah adalah sejumlah kapasitas yang dimiliki presiden
“blusukan” ini.
Hal itulah yang membedakan ia dari presiden-presiden sebelumnya.
Soekarno mampu mendorong suatu iklim politik yang diskursif, namun pada
masanya terjadi banyak peristiwa kematian karena kemiskinan dan
kelaparan. Soeharto menekankan ketahanan pangan. Pada saat bersamaan ia
membungkam kebebasan berpendapat dan berkumpul.
Habibie, Gusdur, dan Megawati tidak mampu menunjukkan suatu perubahan
politik yang signifikan. Korupsi masih menggurita dan melilit
birokrasi. Kepentingan oligarkhis mendominasi pemerintahan. Sedangkan 10
tahun masa pemerintahan SBY lebih berperan sebagai pemimpin adminstrasi
tertinggi negara daripada seorang pemimpin ala Carl Schmitt yang mampu
mengambil keputusan-keputusan yang menentukan dalam keadaan darurat.
Dengan demikian, seandainya Jokowi mampu mendorong kemajuan ekonomi
sembari membuka partisipasi politik seluas-luasnya, Indonesia berpotensi
menjadi negara contoh demokrasi yang paling menjanjikan di dunia. Hal
itu berbeda dari Cina dimana perkembangan ekonomi yang pesat dibayar
mahal melalui pengekangan kebebasan berpolitik.
Masalah Serius
Meskipun demikian, kesangsian terhadap kapasitas Jokowi dalam
memimpin negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia ini
tidak bisa dielakkan. Sebagaimana diungkapkan Michael Schuman dalam
majalah Time edisi 14 April 2014, kita tidak bisa mengasumsi bahwa
Jokowi dapat membangkitkan bangsa Indonesia. Harapan tidak boleh terlalu
tinggi kepadanya.
Di samping menghadapi masalah-masalah yang ada seperti kemiskinan,
konflik horisontal, korupsi, pelanggaran HAM, keruwetan birokrasi,
menurutnya sistem politik multi-partai adalah tantangan besar dalam
mendorong kemajuan yang pesat. Sistem demikian membuat lembaga
legislatif menjadi tempat kotor yang diisi dengan pertarungan
kepentingan-kepentingan politis.
Salah satu contoh nyata yang bisa kita lihat baru-baru ini adalah
pengesahan UU Pilkada tak langsung. Perubahan itu menunjukkan bahwa
sirkulasi kekuasaan bakalan terjadi hanya dalam lingkaran oligarkhi
kekuasaan. Padahal pilkada langsung selama sepuluh tahun terakhir adalah
salah satu bentuk kebebasan dalam partisipasi politik dan berhasil
mempromosikan pemimpin sepopuler Jokowi.
Inilah tantangan Jokowi di awal masa pemerintahnya. Mampukah ia
memberikan harapan bahwa politik adalah partisipasi aktif semua warga
negara terutama secara nyata dalam keikutsertaan saat Pemilu?
Rahmat
-
Dua malaikat sedang melakukan perjalanan. Ketika malam tiba, mereka
berhenti dan bermaksud menginap di sebuah rumah milik keluarga kaya. Keluarga
itu s...
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar